Proses Pengembalian Pajak Kembali Disorot, AS Ajukan Keluhan Resmi
Dalam laporan tahunan bertajuk 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers, Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) kembali menyoroti sistem perpajakan Indonesia, khususnya terkait proses restitusi pajak yang dianggap tidak efisien dan terlalu memakan waktu.
USTR menilai bahwa pengusaha asal Amerika mengalami kendala dalam memperoleh kembali kelebihan pembayaran pajak penghasilan dan pajak impor. Menurut laporan tersebut, proses pengembalian pajak bisa berjalan selama bertahun-tahun dan penuh hambatan administratif.
“Pelaku usaha menyampaikan keprihatinan atas lambatnya proses klaim restitusi, terutama dalam kasus pengembalian pajak penghasilan yang dibayarkan di muka saat kegiatan impor,” demikian kutipan laporan USTR yang dipublikasikan awal April 2025 dan dikutip dari Kontan.
Pemerintah: Reformasi Sudah Dijalankan, Proses Kini Lebih Cepat
Menanggapi kritik tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan bahwa Indonesia telah mengubah mekanisme restitusi agar lebih cepat dan efisien. Ia menyatakan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menerapkan kebijakan percepatan pengembalian pajak, terutama melalui implementasi sistem Core Tax Administration System.
“Restitusi sekarang jauh lebih cepat, khususnya bagi wajib pajak orang pribadi dengan jumlah kelebihan bayar di bawah Rp100 juta—itu langsung dikembalikan tanpa pemeriksaan,” ujarnya dalam sebuah konferensi pers. Untuk wajib pajak badan, Sri Mulyani menjelaskan bahwa teknologi baru memungkinkan sistem DJP secara otomatis mengidentifikasi dan memproses pengembalian PPN tanpa keterlibatan manual yang rumit.
Kebijakan ini, menurutnya, tidak hanya memperbaiki sistem, tetapi juga berdampak signifikan pada arus kas perusahaan, yang selama ini terganggu akibat tertahannya dana kelebihan bayar dalam jangka waktu yang panjang.
Baca juga: Mengenal Restitusi Pajak dan Syarat Pengajuannya
Peraturan Baru untuk Restitusi Pajak Super Cepat
Sebagai bentuk komitmen lebih lanjut, pemerintah mengeluarkan PER-5/PJ/2023, yakni Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang menjadi landasan teknis percepatan restitusi. Dalam aturan ini, jangka waktu pengembalian untuk wajib pajak tertentu dipersingkat dari maksimal 12 bulan menjadi hanya 15 hari kerja, asalkan memenuhi kriteria tertentu seperti:
- Status sebagai Pengusaha Kena Pajak Patuh.
- Telah menyampaikan SPT Masa secara lengkap.
- Tidak sedang diperiksa atau dalam proses hukum pajak.
Dengan adanya aturan ini, DJP ingin menciptakan standar baru yang mempercepat pelayanan sekaligus menjaga kualitas pengawasan melalui sistem berbasis data yang terintegrasi.
Kenyataan di Lapangan Masih Menjadi Tantangan
Meskipun peraturan baru telah diberlakukan, laporan dari USTR menunjukkan bahwa persepsi pelaku usaha asing belum sejalan dengan klaim pemerintah. Keluhan tetap muncul, terutama dari sektor perdagangan dan manufaktur, yang merasa bahwa implementasi reformasi belum menyentuh semua lini pelayanan pajak.
Banyak di antara mereka mengungkapkan bahwa proses pengembalian PPN atas transaksi impor masih rumit dan tidak jarang menemui kendala teknis, termasuk verifikasi yang berkepanjangan, kurangnya transparansi status permohonan, serta permintaan dokumen tambahan yang berulang-ulang.
Baca juga: PMK 81/2024, Menyederhanakan Restitusi Pajak dengan Mekanisme Deposit Pajak Langsung
Evaluasi dan Pengawasan Jadi Kunci Perbaikan
Pakar perpajakan menilai bahwa gap antara regulasi dan pelaksanaan merupakan tantangan klasik dalam reformasi birokrasi. Pemerintah dinilai perlu memperkuat sistem monitoring dan evaluasi internal, sekaligus melibatkan pihak eksternal dalam mengawasi kinerja layanan restitusi.
Transparansi informasi, kepastian waktu layanan, dan edukasi yang lebih baik kepada petugas dan wajib pajak dianggap penting untuk memperkecil kesenjangan persepsi ini. Apalagi dalam konteks kerja sama ekonomi internasional, sistem perpajakan menjadi salah satu indikator kepercayaan investor asing terhadap sebuah negara.
Momentum Perbaikan Citra Pajak Indonesia
Kritik yang datang dari Amerika Serikat seharusnya dijadikan momentum evaluasi dan perbaikan berkelanjutan. Meskipun pemerintah telah mencatat sejumlah kemajuan signifikan, Indonesia masih perlu membuktikan bahwa reformasi perpajakan tidak hanya sebatas kebijakan, tetapi juga berjalan efektif di lapangan.
Jika mampu menutup celah antara regulasi dan implementasi, serta memberikan pengalaman positif kepada investor dan pelaku usaha, maka citra sistem perpajakan Indonesia di mata dunia akan semakin membaik—dan pada akhirnya, dapat mendorong arus investasi masuk lebih besar ke dalam negeri.









