Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa kembali mendapati indikasi praktik under invoicing dalam inspeksi mendadak (sidak) di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, pada Selasa (11/11/2025) lalu.
Dalam sidak tersebut, Purbaya mencocokkan dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dengan barang fisik di lapangan. Salah satu kontainer berisi produk bernilai tinggi ditemukan hanya dilaporkan seharga US$ 7. Padahal, harga pasar produk serupa mencapai Rp40 juta hingga Rp45 juta.
Ia pun memerintahkan jajarannya menelusuri asal-usul barang serta mengecek ulang dokumen impor karena selisih harga yang mencolok merupakan indikasi praktik under invoicing, yang notabene bisa menurunkan nilai bea masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) yang seharusnya diterima negara.
Under Invoicing Juga Terjadi pada Ekspor CPO
Tak hanya pada impor, di sektor ekspor pun praktik under invoicing kembali terdeteksi. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) belum lama ini memeriksa 282 Wajib Pajak eksportir minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya yang diduga memanipulasi nilai ekspor.
Sebanyak 25 eksportir terindikasi mendeklarasikan CPO sebagai fatty matter untuk merendahkan nilai transaksi. Nilai dugaan transaksinya mencapai Rp2,08 triliun dengan potensi kerugian negara sekitar Rp140 miliar.
Sementara itu, 257 Wajib Pajak lainnya diduga melakukan manipulasi lain, termasuk mengubah deklarasi menjadi palm oil mill effluent (POME), dengan nilai pemberitahuan ekspor mencapai Rp45,9 triliun dalam periode 2021–2024.
Baca Juga: DJP Periksa Eksportir CPO yang Diduga Lakukan Under-Invoicing
Memahami Praktik Under Invoicing dan Risikonya
Under invoicing merupakan tindakan melaporkan nilai barang lebih rendah dari harga sebenarnya. Dalam perdagangan internasional, praktik ini biasanya dilakukan untuk:
- Menghindari pajak, termasuk bea masuk dan PDRI.
- Mengurangi beban bea dan cukai atas barang yang diimpor atau diekspor.
- Meningkatkan keuntungan, karena biaya yang dibayarkan kepada negara menjadi jauh lebih kecil.
Meski memberikan keuntungan jangka pendek bagi pelaku, under-invoicing merupakan pelanggaran hukum yang dapat berujung:
- denda administrasi,
- penyitaan barang,
- tuntutan pidana,
- hingga rusaknya reputasi perusahaan dan hubungan dagang.
Dasar Hukum dan Penguatan Pengawasan Pemerintah
1. Self Assessment dan Risiko Sanksi Administrasi
Berdasarkan PMK No. 96 Tahun 2023 yang diperbarui dengan PMK No. 4 Tahun 2025, importir diperbolehkan melakukan self assessment atas barang kiriman, yaitu menghitung sendiri bea masuk dan pajak impor. Konsekuensinya, importir dapat dikenakan denda bila salah menyampaikan nilai pabean sehingga terjadi kekurangan pembayaran bea masuk.
Tingginya arus barang kiriman dari e-commerce (mencapai 90% dari total barang masuk menurut data Bea Cukai) meningkatkan risiko terjadinya under invoicing, terutama bila importir atau penyelenggara pos tidak teliti dalam mendeklarasikan nilai barang.
2. Pemeriksaan Pabean Berbasis Risiko
Untuk meminimalkan manipulasi data, Bea Cukai menerapkan pemeriksaan berbasis manajemen risiko melalui:
- Pemeriksaan fisik barang, disaksikan penyelenggara pos, dan
- Penelitian dokumen oleh pejabat Bea Cukai dan Sistem Komputer Pelayanan (SKP).
Jika ditemukan selisih antara deklarasi dan hasil pemeriksaan, Bea Cukai akan menerbitkan penetapan nilai pabean baru. Importir wajib melunasi kekurangannya, namun tetap dapat mengajukan keberatan melalui portal elektronik DJBC.
3. Kolaborasi Data dan Pengembangan AI
Untuk memperkuat pengawasan, pemerintah membangun integrasi data antara PPMSE (platform e-commerce) dan DJBC melalui pertukaran data e-catalog dan e-invoice. Sistem ini memungkinkan rekonsiliasi otomatis antara invoice elektronik dan consignment note (CN).
Selaras dengan arahan Presiden, Purbaya juga memastikan bahwa DJBC akan mengimplementasikan sistem berbasis kecerdasan buatan (AI) dalam tiga bulan mendatang. AI diharapkan mampu mendeteksi pola under invoicing secara real-time, termasuk memantau pergerakan kapal atau alur logistik yang berisiko tinggi manipulasi nilai.
Baca Juga: Pahami Hal Berikut Agar Importir Bebas Sanksi
Cara Menghindari Sanksi: Tips untuk Importir dan Penerima Barang
Agar tidak terjerat sanksi under invoicing, importir harus memperhatikan beberapa hal berikut:
1. Ketelitian dalam Data Transaksi
Pastikan seluruh informasi dari penjual akurat dan lengkap, mulai dari nilai barang, uraian, jumlah, hingga dokumen pendukung lain. Ketidakcocokan data adalah penyebab paling umum terjadinya koreksi dan denda.
2. Proaktif Memantau Status Barang
Importir sebaiknya rutin mengecek posisi barang kiriman setelah tiba di Indonesia. Pemantauan berkala membantu memastikan dokumen tidak salah atau tertahan di proses pemeriksaan.
3. Pengecekan Ulang sebelum Pengiriman Dokumen
Sebelum penyelenggara pos mengirimkan dokumen ke Bea Cukai, importir harus memastikan seluruh data deklarasi sudah benar. Jangan bergantung penuh pada pihak penyelenggara pos.
4. Memahami Tanggung Jawab Hukum
Bea masuk dan pajak impor adalah tanggung jawab importir atau penerima barang. Kesalahan kecil dalam deklarasi nilai pabean dapat berujung denda dan penetapan ulang yang merugikan.
5. Hindari Manipulasi Nilai
Menurunkan nilai barang untuk menghemat bea masuk atau PDRI bukan hanya berisiko sanksi, tetapi juga merusak persaingan usaha. Pemerintah menegakkan sanksi untuk menjaga iklim perdagangan yang adil bagi importir, industri lokal, dan UMKM.









