Perlakuan Pajak atas Sewa menurut PSAK 73 dan Perpajakan

Dalam dunia bisnis, persewaan aset menjadi transaksi umum yang melibatkan baik entitas penyewa (lessee) maupun pemilik aset (lessor). Namun, untuk memastikan pencatatan dan perlakuan perpajakan yang tepat, diperlukan pemahaman mendalam mengenai standar akuntansi dan ketentuan perpajakan yang berlaku di Indonesia. Sejak diberlakukannya Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 73, terjadi perubahan signifikan dalam cara pencatatan sewa. Hal ini pun berdampak langsung terhadap pengakuan penghasilan dan beban dalam aspek perpajakan.

Identifikasi Sewa Menurut PSAK 73

PSAK 73 menyatakan bahwa suatu kontrak dikategorikan sebagai sewa apabila memberikan hak untuk mengendalikan penggunaan suatu aset identifikasian selama jangka waktu tertentu dengan imbalan. Dalam akuntansi penyewa, pada awal kontrak, penyewa mengakui aset hak-guna (right-of-use asset) dan liabilitas sewa. Nilai liabilitas sewa ini diukur berdasarkan nilai kini atas seluruh pembayaran sewa yang belum dilakukan.

Seiring berjalannya waktu, liabilitas sewa akan berkurang seiring pembayaran sewa dan timbulnya beban bunga, sementara aset hak-guna akan mengalami depresiasi. Model akuntansi ini memberikan gambaran lebih realistis atas kewajiban jangka panjang yang timbul dari perjanjian sewa.

Baca juga: Penerapan Standar Akuntansi Keuangan di Indonesia

Pajak Penghasilan atas Persewaan

Terkait perpajakan, terdapat beberapa ketentuan penting tergantung pada jenis aset yang disewakan:

  1. Sewa Tanah dan/atau Bangunan
    Berdasarkan PP 34 Tahun 2017, penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan dikenai PPh Final sebesar 10% dari jumlah bruto pembayaran atau utang yang diakui oleh penyewa. Dasar Pengenaan Pajaknya (DPP) mencakup seluruh biaya, termasuk service charge, pemeliharaan, keamanan, dan fasilitas lainnya — baik yang disebutkan terpisah maupun disatukan dalam kontrak. PPh terutang pada saat pembayaran dilakukan atau saat utang diakui, mana yang lebih dahulu.
  2. Sewa Harta Bergerak (PPh Pasal 23)
    Bila objek sewa adalah harta selain tanah/bangunan, maka berlaku PPh Pasal 23 sebesar 2% atas jumlah bruto sewa. PPh terutang pada akhir bulan ketika penghasilan dibayarkan atau saat jatuh tempo pembayaran.
  3. Sewa Kapal dan Pesawat (PPh Pasal 15)
    Berlaku tarif berbeda:

    • Pelayaran Dalam Negeri: 1,2% (final) dari peredaran bruto.
    • Pelayaran Luar Negeri: 2,64% (final).
    • Penerbangan Dalam Negeri berdasarkan charter: 1,8% (tidak final).
    • Penerbangan Luar Negeri: 2,64% (final).

Baca juga: Ini Keuntungan Menggunakan XBRL dalam Pelaporan Keuangan di Coretax

Sewa Guna Usaha (Leasing)

Pemajakan terhadap sewa guna usaha dibedakan atas dua skema:

  • Financial Lease (dengan hak opsi):
    Bagi lessor, hanya sebagian penghasilan sewa yang dikenai pajak, dan tidak terutang PPN. Penyewa tidak memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran sewa.
  • Operating Lease (tanpa hak opsi):
    Seluruh pembayaran sewa dikenai PPh dan menjadi objek PPN. Bagi penyewa, biaya sewa dapat dikurangkan (deductible), dan menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23.

Perbedaan PSAK 73 dan Ketentuan PPh

Meskipun PSAK 73 mengatur pengakuan liabilitas dan aset secara lebih kompleks (nilai kini, beban bunga, depresiasi), dalam konteks pajak, pengenaan PPh tetap merujuk pada jumlah bruto sewa yang dibayar atau diakui. Ini menimbulkan beberapa perbedaan antara pendekatan akuntansi dan pajak. Misalnya, service charge dalam akuntansi bisa dianggap sebagai biaya operasional, tetapi dalam perpajakan tetap dikategorikan sebagai bagian dari DPP PPh Final atas sewa tanah dan bangunan.

Contoh Ilustratif

PT A menyewa gedung dari PT B selama 2 tahun dengan nilai kontrak Rp240 juta dan service charge Rp500 ribu per bulan. Berdasarkan PSAK 73, PT A mencatat liabilitas sewa dan beban bunga atas nilai kini dari total kewajiban sewa. Dalam pajak, seluruh Rp10 juta pembayaran bulanan ditambah Rp500 ribu service charge menjadi DPP untuk PPh Final 10% setiap bulan, yaitu Rp1.050.000.

Kesimpulan

Meski PSAK 73 dan peraturan perpajakan sama-sama membahas persewaan, pendekatannya berbeda. PSAK 73 lebih fokus pada substansi ekonomi dan mencerminkan dampak jangka panjang terhadap neraca perusahaan, sementara pajak menitikberatkan pada kas keluar dan jumlah bruto transaksi. Untuk itu, pelaku usaha perlu cermat agar pelaporan akuntansi dan perpajakan tidak saling bertentangan.

Baca juga Berita dan Artikel Pajakku lainnya di Google News