Guna memenuhi pengeluaran yang digunakan untuk terlaksananya pembangunan negara, pembayaran pajak digunakan untuk memenuhi kebutuhan negara guna mewujudkan pembangunan nasional, maka diperlukannya kesadaran masyarakat Indonesia dan juga memahami tentang perpajakan yang ada di Indonesia.
Peranan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sangat besar per tahunnya, hingga mencapai setengah bagian yang didapatkan negara dari keseluruhan, karena masyarakat Indonesia sangat berperan besar terhadap sistem perpajakan yang ada di Indonesia. Sebagai seorang Wajib Pajak dalam negeri maupun Wajib Pajak dalam negeri yang mempunyai penghasilan diluar negeri yang baik, akan melakukan penyetoran pajak tepat pada waktu dan sesuai peraturan yang sudah ditetapkan. Didalam hal ini tidak hanya saja dalam melakukan pemenuhan pembayaran pajak sesuai dengan ketentuan yang ada, yang sudah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Baca juga Pajak Profesi: Guru dan Dosen
Pada kenyataannya, masyarakat Indonesia masih belum bisa untuk melaksanakan sistem perpajakannya dengan baik, karena Wajib Pajak masih banyak yang melakukan perlawanan aktif atau pasif. Apabila petugas wajib melaksanakan tugasnya untuk menagih hutang perpajakan yang terhutang, menurut (Lumbantoruan, 2002). Secara umum pajak merupakan kontribusi yang wajib untuk negara yang terutang oleh orang pribadi maupun badan yang bersifat memaksa sesuai dengan Undang- Undang yang imbalannya tidak didapatkan secara langsung guna keperluan negara untuk kemakmuran rakyatnya. Sistem pemungutan perpajakan membedakan jadi 3 yaitu: Yang menentukan ialah orang pajak (fiscus), yang menghitung dan yang melaporkan ialah Wajib Pajaknya sendiri, yang menghitung, memotong dan yang menyetorkan ialah melalui pihak ketiga, menurut (Mardiasmo, 2009)
Pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 merupakan peraturan pembayaran perpajakan untuk tahun berjalan, dengan cara memotong pajak penghasilan yang diperoleh atau yang didapatkan Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang berhubungan dengan pekerjaan, jasa maupun kegiatan. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 ialah pungutan pajak penghasilan berupa gaji, upah, honor, tunjangan, dan pendapatan lain atas nama Wajib Pajak dan dalam bentuk apapun yang bersangkut paut dengan pekerjaan, jabatan, jasa dan kegiatan yang sedang dilakukan Orang Pribadi Subjek Pajak dalam negeri.
Baca juga NIK Belum Aktif, Kenaikan Tarif PPh 23 Non-NPWP Tetap Berlaku
Penyetoran Pajak Penghasilan bisa dilakukan dengan cara Online Banking, menyetor lewat Teller Bank atau Kantor Pos, dan bisa juga dibayarkan lewat pajakku. Setelah dilakukan penyetoran pajak oleh Wajib Pajak, Wajib Pajak harus melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21. Pelaporan guna pelunasan Pajak Penghasilan (PPh) dapat dilakukan dengan berbagai pihak, seperti halnya Orang Pribadi, Wajib Pajak, pemungutan pajak, pemotongan pajak, yang menyerahkan barang, dan pegawai atau petugas perpajakan, menurut (Mulyono, 2010). Pelaporan SPT Masa Pph Pasal 21 ini diwajibkan melalukan dengan cara E-Filing Pph Pasal 21.
Dasar Hukum
- Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 hingga Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
- Peraturan Menteri Keuangan No. 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
- Peraturan Kementerian Keuangan (PMK) Nomor 59/PMK.03/2022 Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 231/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, serta Pemotongan dan/atau Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak bagi Instansi Pemerintah
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Baca juga Cek Piutang Pajak Tahun 2021 Di Sini!
Tarif
Merajuk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 mengenai Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang telah diberlakukan sejak 1 Januari 2022, tedapat lapisan tarif terbaru atas PPh 21 wajib pajak orang pribadi yakni UU HPP merevisi lapis pajak mulai dari lapisan 1 hingga 4, serta menambahkan 1 lapisan pajak, sehingga menjadi :
- Lapis I (5%) = PKP ≤ Rp60juta
- Lapis II (15%) = Rp60 juta < PKP ≤ Rp250 juta
- Lapis III (25%) = Rp250 juta < PKP ≤ Rp500 juta
- Lapis IV (30%) = Rp500 juta < PKP ≤ Rp5 miliar
- Lapis V (35%) = PKP > Rp5 miliar.









