Penerapan Pajak Gula di Inggris Berdampak Positif, Indonesia Perlu Menyusul?

Inggris merupakan salah satu negara yan telah menerapkan pajak gula. Dampak dari penerapan tersebut sudah mulai terlihat. Beberapa tahun setelah pengenalan pajak gula di Inggris, terjadi penurunan konsumsi gula harian pada anak-anak sebesar 4,8 gram, sedangkan pada orang dewasa penurunan mencapai 10,9 gram per hari. Penurunan ini terutama disebabkan oleh berkurangnya kandungan gula dalam minuman ringan, yang berkontribusi sebesar 3 gram pada anak-anak dan 5 gram pada orang dewasa.

 

Hasil Riset Pajak Gula di Inggris

 

Riset terbaru yang dipublikasikan di Jurnal Epidemiologi dan Kesehatan melibatkan analisis data dari tahun 2008 hingga 2019, mencakup 7.999 orang dewasa dan 7.656 anak-anak. Para ahli dari Universitas Cambridge dan University College London menemukan bahwa pajak gula secara signifikan mengurangi konsumsi free sugar pada anak-anak dan orang dewasa.

 

Data menunjukkan bahwa energi yang diperoleh dari free sugar sebagai persentase dari total energi tidak berubah, namun kalori dari free sugar menurun seiring dengan penurunan kalori total. Hal ini menunjukkan bahwa pengurangan gula dalam makanan berkontribusi pada penurunan asupan kalori secara keseluruhan.

 

Juru bicara Departemen Kesehatan dan Pelayanan Sosial Inggris menyatakan bahwa pemerintah berupaya mencegah krisis kesehatan dan menangani tren obesitas. Salah satu langkah yang diambil adalah memberlakukan pembatasan iklan makanan tidak sehat dan melarang penjualan makanan manis serta minuman energi berkafein tinggi kepada anak-anak. Tujuan dari langkah-langkah ini adalah membangun masyarakat yang lebih sehat, yang pada gilirannya akan membantu membangun ekonomi yang lebih sehat.

 

WHO dan pemerintah Inggris menyarankan agar konsumsi free sugar tidak melebihi 5% dari total asupan energi harian. Bagi orang dewasa, ini setara dengan maksimal 30 gram per hari, sementara untuk anak-anak berusia tujuh hingga sepuluh tahun adalah 24 gram per hari, dan untuk anak-anak berusia empat hingga enam tahun adalah 19 gram per hari.

 

Saat ini, lebih dari 50 negara telah menerapkan pajak gula pada produk minuman ringan sebagai upaya untuk mengurangi konsumsi gula dan meningkatkan kesehatan masyarakat.

 

Cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) di Indonesia

 

Setelah melihat dampak positif dari penerapan pajak gula di Inggris, penting untuk mempertimbangkan penerapan serupa di Indonesia. Melansir dari situs resmi Universitas Gajah Mada (UGM), terdapat artikel yang membahas pendapat Ekonom FEB UGM, Artidiatun Adji, M.Ec., Ph.D, bahwa pengenalan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) sangat layak diterapkan di Indonesia.

 

Selama ini, penerimaan cukai pemerintah Indonesia didominasi oleh hasil tembakau, yang menyumbang sekitar 95% dari total penerimaan cukai. Untuk mengurangi ketergantungan ini, ekstensifikasi cukai diperlukan, dan MBDK adalah salah satu komoditas yang tepat untuk dikenakan cukai. Dosen Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM ini menjelaskan bahwa penerapan cukai pada MBDK diharapkan dapat diversifikasi penerimaan negara dan mengurangi ketergantungan pada cukai tembakau. Selain itu, kebijakan ini juga berfungsi sebagai sin tax, yaitu cukai yang diterapkan untuk mengurangi konsumsi barang yang berdampak negatif pada kesehatan.

 

Baca juga: Penerapan Cukai Minuman Berpemanis Kian di Depan Mata

 

Masyarakat Usia Dewasa Indonesia Darurat Diabetes

 

Pengenalan cukai pada MBDK juga bertujuan untuk mengurangi konsumsi gula yang berlebihan yang pada gilirannya dapat menekan prevalensi diabetes di Indonesia. Data dari International Diabetes Federation (IDF) yang dikutip oleh Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa pada tahun 2021, sekitar 10,6% dari populasi dewasa Indonesia usia 20-79 tahun menderita diabetes. Oleh karena itu, pengenaan cukai pada MBDK dapat menjadi langkah strategis untuk mengurangi prevalensi diabetes di Indonesia.

 

Standar Pengenaan Cukai Internasional

 

Menurut Asia-Pacific Tax Forum, terdapat sejumlah kriteria barang yang layak dikenakan cukai. Kriteria pertama adalah barang mewah yang dikonsumsi untuk menunjukkan status atau kelas ekonomi seseorang, bukan untuk kebutuhan dasar. Kriteria kedua adalah barang yang menimbulkan dampak negatif jika dikonsumsi, seperti rokok dan minuman beralkohol. Kriteria ketiga adalah barang yang membuat kecanduan, yang konsumsi berulangnya menciptakan ketergantungan. Kriteria terakhir adalah barang yang konsumsinya terbatas, tidak ditujukan untuk setiap orang, dan biasanya memiliki elastisitas rendah. Berdasarkan seluruh klasifikasi yang telah dijabarkan tersebut, dalam hal ini maka MBDK juga dapat dikategorikan sebagai komoditas yang perlu dikurangi konsumsinya.

 

Artidiatun menekankan bahwa cukai tidak hanya berfungsi sebagai sin tax untuk mengendalikan dampak negatif konsumsi terhadap kesehatan, tetapi juga sebagai instrumen fiskal yang komprehensif. Misalnya, untuk mengurangi dampak konsumsi berlebihan terhadap kerusakan lingkungan seperti penggunaan plastik atau bahan bakar minyak. Cukai juga dapat diterapkan sebagai user charges atas konsumsi barang dan jasa yang disediakan oleh pemerintah, seperti penggunaan jalan raya dengan menerapkan cukai BBM atau kendaraan bermotor. Selain itu, cukai juga dapat digunakan untuk memperbaiki distribusi pendapatan, seperti pengalokasian dana cukai rokok untuk pembiayaan asuransi kesehatan pemerintah (BPJS Kesehatan). Artidiatun menekankan pentingnya cukai sebagai sumber penerimaan negara yang esensial.

 

Dampak Ekonomi dan Elastisitas Permintaan

 

Penerimaan cukai MBDK akan meningkatkan penerimaan cukai pemerintah, mengurangi ketergantungan pada cukai tembakau. Namun, penting untuk memahami elastisitas permintaan MBDK. Jika permintaan elastis, persentase penurunan permintaan akan lebih besar dibandingkan persentase kenaikan harga akibat cukai. Sebaliknya, jika permintaan inelastis, persentase kenaikan harga akan lebih besar daripada penurunan permintaan. Oleh karena itu, tarif cukai sebaiknya lebih tinggi untuk komoditas dengan elastisitas rendah guna mengurangi biaya kesejahteraan yang hilang.

 

Kebijakan cukai di Indonesia berlandaskan pada empat pilar utama, yakni optimalisasi penerimaan negara, penurunan konsumsi barang berbahaya, pemberantasan produk ilegal, dan perlindungan usaha kecil serta kesempatan kerja. Artidiatun menekankan bahwa dampak penerapan cukai pada MBDK yang diproduksi oleh UMKM perlu diperhatikan. Segmentasi MBDK harus dipetakan untuk penerapan tarif cukai yang sesuai.

 

Dengan mempertimbangkan kondisi di Inggris dan potensi penerapan cukai di Indonesia, penting bagi pemerintah Indonesia untuk merancang kebijakan yang komprehensif dan berdampak positif bagi kesehatan masyarakat serta perekonomian negara.

 

Baca juga Berita dan Artikel Pajakku lainnya di Google News