Rencana pemerintah Indonesia dalam menerapkan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) semakin di depan mata. Terbaru, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Askolani mengatakan proses koordinasi telah sampai kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Hasil koordinasi tampaknya berjalan positif, sehingga target implementasi di tahun 2024 ini kemungkinan dapat dikejar.
Tentang Cukai MBDK
Wacana penerapan cukai di parlemen santer mencuat pada Februari 2020. Dihadapan Komisi XI DPR RI, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan potensi cukai MBDK bisa mencapai Rp6,25 triliun. Saat itu, Menkeu memberi usulan tarif cukai beberapa produk minuman berpemanis, diantaranya teh kemasan sebesar Rp1.500 per liter dan produk minuman karbonasi sebesar Rp2.500. Baik produk teh maupun minuman berkarbonasi masing-masing menghasilkan jumlah produksi di atas 500 juta liter per tahun.
Saat ini, cukai MBDK akan digolongkan berdasarkan kandungan kadar gula atau pemanis, mengikuti kajian The American Heart Association (AHA). Kategori pertama, MBDK yang terkandung pemanis gula berkadar lebih dari 6 gram per 100 ml. Kategori kedua, MBDK yang mengandung pemanis alami dan kadar berapapun, dan kategori ketiga MBDK yang mengandung pemanis buatan dalam kadar berapapun. Nilai batasan kadar gula dari ketiga kategori tersebut sewaktu-waktu dapat berubah tergantung kesepakatan antara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama kementerian atau lembaga terkait.
Urgensi Penerapan Cukai MBDK
Selama 1 dekade terakhir tidak sedikit pihak yang menyoroti pentingnya penerapan cukai pada minuman berpemanis di Indonesia, baik dari pihak organisasi dalam negeri maupun luar negeri. Salah satunya adalah United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF) yang membuat ringkasan kebijakan mengenai cukai ini pada tahun 2022, bekerja sama dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dan Kementerian Kesehatan.
Kepentingan penerapan cukai berangkat dari aspek kesehatan masyarakat, terutama anak-anak. UNICEF menilai bahwa harga minuman berpemanis di Indonesia saat ini belum mencerminkan biaya eksternal bagi masyarakat. Maka melalui penerapan cukai, pemerintah dapat menutup biaya langsung maupun tidak langsung akibat dari konsumsi minuman berpemanis secara berlebih. Cukai MBDK diidentifikasi sebagai kebijakan pembelian terbaik oleh UNICEF dan World Health Organization (WHO), sekaligus dapat menjadi alat efektif pencegah kelebihan berat badan dan penyakit tidak menular (PTM) terkait pola makan.
Baca juga: Plastik dan MBDK Kembali Masuk Target Penerimaan Cukai 2024
Sebelumnya, lebih dari 40 negara telah terlebih dahulu menerapkan cukai MBDK. Hasilnya, kebijakan cukai tersebut efektif mengurangi pembelian dan konsumsi makanan & minuman berpemanis, mengurangi asupan gula di dalam populasi yang tentunya akan berdampak besar bagi rumah tangga dengan kelas ekonomi menengah kebawah, dimana berdasarkan data merupakan kelas ekonomi paling berpotensi tinggi terpapar minuman manis berkemasan di kehidupan sehari-hari.
Target Cukai MBDK
Pemerintah memasukkan target cukai MBDK senilai Rp4,39 triliun dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 76 tahun 2023, tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024. Jika diimplementasikan di tahun 2024, pemerintah diperkirakan memiliki peluang positif untuk melakukan pemungutan, mengacu pertumbuhan ekonomi 2023 di atas 5% berdasarkan data Badan Pusat Statistika (BPS). Hal ini dipaparkan oleh Kepala Subdirektorat Potensi Cukai dan Kepatuhan Pengusaha Barang Kena Cukai (DJCB) Kemenkeu, Aris Sudirmanto.
Sementara UNICEF dan WHO merekomendasikan tarif cukai MBDK minimal 20% agar lebih berhasil mengubah perilaku konsumen, dengan 2 (dua) opsi dasar pengenaan cukai, yaitu sebagai ad valorem, yakni penerapan disesuaikan oleh nilai produk makanan atau minuman, juga sebagai cukai berjenjang (tiered tax), yakni dikenakan tarif yang spesifik mengaitkan volume gula dalam minuman.









