Peluang dan Tantangan Wacana Pemisahan DJP dari Kemenkeu

Setelah pernah muncul di tahun 2023, wacana pemisahan badan di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kembali mencuat usai Pemilihan Presiden tahun 2024 ini. Kali ini pasangan calon presiden (capres) dan wakil presiden (wapres) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam satu dari 8 Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) atau dalam kata lain merupakan Visi Misi dan Program menuliskan wacana pemisahan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) dari Kementerian Keuangan lalu diubah menjadi Badan Penerimaan Negara (BPN). 

Secara lebih detail, Anggota Dewan Pakar Tim Kemenangan Nasional (TKN) Capres Prabowo dan Cawapres Gibran, sekaligus ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Drajad Wibowo menjelaskan langkah awal yang ditempuh adalah melakukan persiapan peraturan Undang-Undang (UU) sebagai dasar pembentukan BPN. Waktu yang dibutuhkan dalam implementasi ini diperkirakan membutuhkan waktu setidaknya satu tahun. Dalam kurun waktu itu, DJBC dan DJP akan tetap berada dalam lingkup Kemenkeu. Adapun pemisahan ini dilakukan dengan maksud menciptakan badan yang benar-benar fokus dalam penerimaan negara dan berada langsung di bawah presiden.  

Selain itu, dalam dokumen visi dan misi Prabowo-Gibran juga tertulis bahwa pembentukan BPN bertujuan untuk memperbaiki integritas dan koordinasi antarinstansi, guna menaikkan penerimaan negara, serta menargetkan rasio penerimaan negara terhadap PDB meningkat hingga 23%.

Baca juga: Pemisahan Badan Penerimaan Negara, Apa Dampaknya?

Menanggapi wacana tersebut, pihak ahli ekonomi, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistra memberi respon kritis. Di satu sisi, Bhima menyambut baik goals ekonomi yang berpotensi membantu negara mengejar rasio pajak atau tax ratio. Kemudian proses koordinasi dalam pembentukan aturan antara Presiden, DPR, DJP-Bea Cukai, dipastikan lebih mudah dan fleksibel karena berada langsung di bawah Presiden.  

Namun di sisi lain, Bhima memberi tanggapan kritis terhadap wacana penggabungan DJP dan DJBC. Hal ini karena tugas dan fungsi DJBC sejatinya tidak hanya berfokus pada penerimaan negara, tetapi juga pengawasan barang. Periode waktu proses penggabungan turut dikritik, dimana Bhima memperkirakan waktu ideal penggabungan dua badan adalah 10 tahun, mengingat perhitungan periode perubahan nomenklatur sekaligus reorganisasi. Di internal Kemenkeu, potensi ego sektoral perlu diperhatikan karena penggabungan menimbulkan kekhawatiran Kemenkeu kehilangan fungsi dan tugasnya. Hal terpenting, tentunya pemerintah perlu mempertimbangkan potensi persoalan moral dari pihak pegawai, hingga pihak pelaku usaha dan masyarakat yang akan terdampak langsung dari proses penggabungan.  

Pemisahan kedua lembaga ini merupaka wacana yang pernah digaungkan beberapa kali. Dirjen Pajak periode 2001-2006 Hadi Purnomo mengatakan rencana tersebut sebenarnya telah berumur 20 tahun. Hadi menceritakan saat ia menjabat, ia pernah meminta bantuan dari Universitas Gadjah Mada untuk mengkaji terkait kemungkinan pemisahan DJP dari Kemenkeu. 

Hasil kajian tersebut memberikan rekomendasi untuk adanya pemisahan lembaga penerimaan dan pengeluaran negara. Menurut Hadi, hasil kajian tersebut juga sudah diberikan kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara untuk diserahkan ke presiden. Akan tetapi, usul tersebut ditolak. 

Baca juga: Target Penerimaan Pajak 3 Tahun Terakhir Tercapai, Ini Kata DJP

Patut dinantikan kebijakan pasangan capres-cawapres Prabowo-Gibran terkait pemisahan lembaga penerimaan negara ini. Akan tetapi, jika nanti memag wacana tersebut direalisasi, perlu adanya aturan yang mengatur kedua lembaga agar peran masing-masing tidak tumpang tindih. Selain itu, dengan pemisahan tersebut, target dan realisasi penerimaan negara juga lebih optimal.