Pelajari Perlakuan Akuntansi atas Pembelian Ber-PPN: PKP Vs Non-PKP

Di Indonesia, status Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan Non-PKP berperan penting dalam mengatur kewajiban pajak bagi setiap pelaku usaha. Pemahaman mengenai perbedaan antara PKP dan Non-PKP, khususnya dalam hal Pajak Pertambahan Nilai (PPN), sangat diperlukan agar bisnis dapat dikelola secara efisien dari sisi perpajakan dan keuangan.

 

PPN merupakan salah satu jenis pajak yang dibebankan pada hampir setiap transaksi barang dan jasa di Indonesia. Namun, tidak semua pengusaha diwajibkan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN. Status PKP atau Non-PKP yang dimiliki suatu usaha akan mempengaruhi cara perlakuan akuntansi atas transaksi yang dikenakan PPN, terutama terkait pembelian. Lantas, bagaimana perlakuannya? Mari simak informasi yang dibagikan oleh Denny Arie Wianto selaku Accounting Partner di Artax. 

 

 

Apa Itu PKP dan Non-PKP?

 

PKP adalah status yang diberikan kepada pengusaha yang wajib memungut, menyetorkan, dan melaporkan PPN dari setiap transaksi penjualan barang atau jasa kena pajak. Pengusaha yang memiliki omzet tahunan lebih dari Rp4,8 miliar wajib dikukuhkan sebagai PKP. Namun, bagi pengusaha yang memiliki omzet di bawah batas tersebut, masih terdapat opsi untuk mendaftar sebagai PKP jika merasa ada keuntungan dari segi perpajakan dan operasional.

 

Baca juga: Perlakuan Akuntansi PPN Terhadap Transaksi Penjualan dan Pembelian Barang

 

Sebaliknya, Non-PKP adalah pengusaha yang tidak memiliki kewajiban untuk memungut PPN karena omzet tahunan yang masih di bawah Rp4,8 miliar. Non-PKP tidak perlu mengumpulkan dan melaporkan PPN dari penjualan barang atau jasa. Hal ini sering menjadi pilihan bagi usaha kecil yang tidak ingin terbebani dengan administrasi PPN yang lebih kompleks.

 

 

Perlakuan Akuntansi atas Pembelian Ber-PPN bagi PKP

 

PKP memiliki keuntungan dalam hal PPN Masukan, yaitu PPN yang dibayar atas pembelian barang atau jasa kena pajak. PKP dapat mengkreditkan PPN Masukan ini untuk mengurangi kewajiban PPN Keluaran yang harus mereka bayarkan atas penjualan.

 

Saat mencatat pembelian, PKP akan mencatat harga barang atau jasa sebelum PPN sebagai beban atau aset, sementara PPN yang dibayarkan dicatat secara terpisah sebagai PPN Masukan. Pada akhir periode, PPN Masukan ini akan dikompensasikan dengan PPN Keluaran yang dikumpulkan dari penjualan. Jika PPN Keluaran lebih besar dari PPN Masukan, maka PKP harus membayar selisihnya kepada pemerintah.

 

 

Contoh Jurnal Akuntansi untuk PKP:

 

  • Debit: Pembelian (Beban/Aset) Rp200 juta
  • Debit: PPN Masukan Rp22 juta
  • Kredit: Kas/Bank atau Hutang Usaha Rp222 juta

 

Dalam contoh ini, PKP membeli barang senilai Rp200 juta sebelum PPN. PPN sebesar Rp22 juta yang dibayarkan dapat diklaim sebagai kredit pajak, sehingga tidak menambah beban pada pembelian.

 

 

Perlakuan Akuntansi atas Pembelian Ber-PPN bagi Non-PKP

 

Non-PKP tidak memiliki hak untuk mengkreditkan PPN Masukan. Oleh karena itu, PPN yang dibayarkan saat pembelian akan langsung dicatat sebagai bagian dari harga barang atau jasa yang dibeli, tanpa dipisahkan. Dengan kata lain, Non-PKP harus menanggung beban penuh PPN sebagai bagian dari biaya operasional.

 

 

Contoh Jurnal Akuntansi untuk Non-PKP:

 

  • Debit: Pembelian (Beban/Aset) Rp222 juta (termasuk PPN)
  • Kredit: Kas/Bank atau Hutang Usaha Rp222 juta

 

Dalam kasus ini, seluruh nilai pembelian termasuk PPN sebesar Rp222 juta langsung dicatat sebagai beban atau aset, karena Non-PKP tidak dapat memisahkan dan mengklaim PPN Masukan sebagai kredit pajak.

 

 

Perbandingan Dampak Terhadap Laba Usaha: PKP vs Non-PKP

 

Untuk memahami dampak perlakuan PPN terhadap laba usaha, mari kita bandingkan bagaimana pencatatan berbeda antara PKP dan Non-PKP dalam hal penjualan dan pembelian:

 

Penjualan PKP:

  • Debit: Kas Rp330 juta
  • Kredit: Utang PPN Keluaran Rp30 juta
  • Kredit: Penjualan Rp300 juta

 

PKP menjual barang senilai Rp300 juta sebelum PPN. PPN Keluaran sebesar Rp30 juta harus disetorkan kepada pemerintah, tetapi PKP masih dapat mengkreditkan PPN Masukan yang telah dibayar sebelumnya.

 

Penjualan Non-PKP:

  • Debit: Kas Rp300 juta
  • Kredit: Penjualan Rp300 juta

 

Sedangkan pada penjualan oleh Non-PKP, tidak ada PPN Keluaran yang harus disetor, namun mereka juga tidak dapat mengkreditkan PPN yang dibayarkan saat pembelian, sehingga laba bersih akan lebih rendah dibandingkan PKP.

 

Untuk menghitung dampak pada laba usaha:

 

Laba PKP:

  • Penjualan: Rp300 juta
  • Pembelian: Rp200 juta (sebelum PPN)
  • Laba sebelum pajak: Rp100 juta

 

Karena PPN Masukan dapat dikreditkan, laba usaha PKP tidak terpengaruh oleh beban PPN.

 

Laba Non-PKP:

  • Penjualan: Rp300 juta
  • Pembelian: Rp222 juta (termasuk PPN)
  • Laba sebelum pajak: Rp78 juta

 

Dalam hal ini, Non-PKP harus menanggung PPN sebagai bagian dari biaya pembelian, sehingga laba usaha mereka berkurang karena beban PPN tidak bisa dikreditkan.

 

Baca juga: Pengkreditan Pajak Masukan Setelah UU HPP: Panduan Lengkap untuk Pengusaha Kena Pajak (PKP)

 

 

Pentingnya Memahami Perbedaan Ini

 

Pemahaman perbedaan perlakuan PPN antara PKP dan Non-PKP sangat penting dalam strategi pengelolaan pajak dan keuangan perusahaan. Bagi perusahaan yang sering bertransaksi dengan barang atau jasa kena pajak, menjadi PKP memberikan keuntungan berupa pengkreditan PPN Masukan. Hal ini memungkinkan perusahaan mengurangi kewajiban PPN Keluaran, yang pada akhirnya dapat meningkatkan laba bersih.

 

Sebaliknya, jika perusahaan memilih untuk tetap berstatus Non-PKP, mereka harus siap menanggung seluruh beban PPN sebagai biaya operasional. Hal ini akan memengaruhi profitabilitas, terutama jika sebagian besar transaksi melibatkan pembelian yang dikenakan PPN.

 

Dapat disimpulkan bahwa perbedaan perlakuan akuntansi antara PKP dan Non-PKP dalam hal PPN sangat berpengaruh terhadap efisiensi perpajakan dan profitabilitas perusahaan. PKP memiliki keuntungan dengan dapat mengkreditkan PPN Masukan, sementara Non-PKP harus menanggung PPN sebagai bagian dari beban usaha. Oleh karena itu, pengusaha perlu mempertimbangkan status PKP atau Non-PKP berdasarkan volume transaksi dan kebutuhan bisnis, untuk memaksimalkan keuntungan dari sudut pandang pajak dan akuntansi.

 

Baca juga Berita dan Artikel Pajakku lainnya di Google News