Konsumsi barang dan/atau jasa tidak akan terlepas dari kehidupan manusia. Segala bentuk keperluan atau kebutuhan wajib dipenuhi agar dapat bertahan hidup. Kebutuhan manusia dibagi menjadi beberapa kelompok diantaranya kebutuhan manusia menurut intensitasnya yakni kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, kebutuhan tersier. Dari ketiga kebutuhan tersebut kebutuhan primer menjadi hal utama yang menjadi prioritas seluruh manusia terdiri dari sandang, papan dan pangan.
Sandang merupakan kebutuhan akan sesuatu yang dapat melindungi tubuh seperti baju dan celana yang layak. Papan merupakan kebutuhan terhadap sesuatu yang melindungi diri dari mahatari ataupun hujan seperti rumah tempat tinggal. Terakhir pangan yang merupakan kebutuhan pokok seluruh manusia seperti beras, pagi, jagung, sagu, sayur mayur dan daging. Untuk memperoleh kebutuhan tersebut manusia akan melakukan transaksi pembelian atau barter dengan sesama manusia lainnya.
Dalam kegiatan transaksi terdapat pihak-pihak yang terlibat diantaranya pihak produsen, distributor, dan kosumen. Hal tersebut dikenal Supply Chain Management (SCM) atau rantai pasokan yang terdiri dari bahan baku dibeli oleh pihak supplier yang kemudian diolah pada industry manufaktur, disalurkan kepada distributor yang akan diperjualbelikan oleh pegadang retail sehingga sampai pada konsumen atau masyarakat. Rantai pasokan telah diatur secara sistematis, sehingga menghubungkan beberapa pihak untuk peningkatan nilai tambah bahan baku dan mendistribusikan kepada konsumen.
Nilai tambah bahan baku ini disebabkan oleh adanya tambahan biaya yang dikeluarkan sehingga dibebankan terhadap nilai barang yang dikonsumsi oleh konsumen. Terdapat beberapa sisi perlakuan transaksi penjualan atau pembelian yang dilakukan. Dalam artikel ini, akan dibahas mengenai perlakuan akuntansi PPN terhadap transaksi penjualan dan pembelian barang. Namun, sebelum beranjak ke tahap selanjutnya, Anda perlu terlebih dahulu memahami pengenaan PPN atas transaksi tersebut.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
PPN merupakan pajak yang dikenakan terhadap konsumsi barang dan/atau jasa. Hal ini diatur dalam Undang-Undang No 42 Tahun 2009 dan perubahannya. Terdapat transaksi penjualan dan pembelian yang dikenakan pajak atau dapat dikatakan tidak seluruh kegiatan konsumsi dikenakan pajak. Update ketentuan terkait objek PPN diatur dalam PP 49 Tahun 2022.
PPN dipungut oleh wajib pajak yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Jadi tidak semua pihak dapat melakukan pemungutan PPN tersebut. Atas PPN yang dipungut wajib disetorkan ke kas negara paling lambat akhir masa berikutnya. Apabila jatuh tempo penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur nasional atau hari libur kerja, maka penyetoran maupun pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Kewajiban Pengusaha Kena Pajak
PKP merupakan pengusaha yang telah dikukuhkan secara pajak melakukan penyerahan barang kena pajak dan/jasa kena pajak. PKP wajib membuat faktur pajak sebagai bukti pemungutan yang dilakukan. Beberapa keuntungan jika menjadi PKP, di antaranya:
- Dapat melakukan pemungutan PPN
- Atas PPN yang dipungut pihak lain dapat dikreditkan atau menjadi pengurang utang pajak
- Dianggap legal secara hukum perpajakan
- Dapat melakukan transaksi dengan pihak bendaharawan pemerintah
- Memperluas jangkauan kerjasama antar perusahaan besar lainnya.
Untuk dapat menikmati keuntungan tersebut terdapat beberapa persyaratan yang wajib dipenuhi sebagai PKP:
- Memiliki omzet atau peredaran bruto selama setahun lebih dari Rp4,8M
- Mengajukan permohonan pengukuhan sebagai PKP ke KPP terdaftar atau terdekat dengan tempat usaha/tempat tinggal/tempat kedudukan
- Melengkapi dokumen administrasi lainnya.
Atas transaksi pemungutan PPN wajib dicatat dan dilaporkan dalam laporan keuangan. Ada 3 perlakuan akuntasi terhadap PPN yakni PPN dapat dikreditkan, PPN dibiayakan, dan PPN dikapitalisasi.
Baca juga: Bubuhkan e-Meterai Alami Kendala Teknis? Hubungi Kontak Person Ini
Perlakuan Akuntansi PPN Dalam Hal PPN Dapat Dikreditkan
Dalam hal PPN yang dipungut pihak lain dapat dikreditkan, maka akan diberlakukan sebagai PPN Masukan atau VAT In.
Contoh:
PT A merupakan PKP yang telah dikukuhkan sejak tahun 2018. PT A bergerak di bidang perdagangan alat tulis kantor. Bertransaksi dengan PT B yang notabene juga merupakan PKP. PT B membeli alat tulis kantor senilai Rp 40 juta (belum termasuk PPN). Bagaimana pencatatan transaksi oleh PT B?
Jawab:
|
Perlengkapan ATK |
Rp 40 juta |
||
|
PPN Masukan |
Rp 4,4 juta |
||
|
Kas/Utang |
Rp 44 juta |
Diasumsikan PT B telah melakukan penjualan kepada PKP lainnya dengan nilai PPN Keluaran sebesar Rp 5 juta, sehingga atas PPN Masukan yang dapat dikreditkan menjadi pengurang utang pajak.
|
PPN Keluaran |
Rp 5 juta |
||
|
PPN Masukan |
Rp 4,4 juta |
||
|
Utang PPN |
Rp 600 ribu |
Dari jurnal tersebut dapat disimpulkan bahwa PPN yang harus disetor oleh PT B ke kas negara sebesar selisih kurang dari PPN Keluaran dan PPN Masukan.
Perlakuan Akuntansi PPN Dalam Hal PPN Dapat Dibiayakan
Terhadap konsumen yang bukan PKP dan bertransaksi dengan PKP atas faktur yang diperoleh dari PKP dapat dibiayakan pada periode yang bersangkutan dalam hal PPN Masukan tersebut tidak dapat dikreditkan oleh konsumen tersebut.
Contoh:
PT C merupakan PKP yang telah dikukuhkan sejak tahun 2019 dan bergerak di bidang usaha perdagangan ATK. Bertransaksi dengan PT D yang belum PKP. Nilai transaksi PT C dan PT D sebesar Rp 40 juta (belum termasuk PPN). PT C menjalankan kewajiban sebagai PKP dengan menerbitkan faktur pajak.
Jawab:
Karena PT D bukan merupakan PKP sehingga atas faktur masukan yang diterima PPN nya tidak dapat dikreditkan, untuk itu PT D mengakui PPN tersebut sebagai biaya
|
Perlengkapan ATK |
Rp 40 juta |
||
|
Biaya PPN |
Rp 4,4 juta |
||
|
Kas/Utang |
Rp 44 juta |
Pada akhir bulan berikutnya, PT D tidak melakukan pengkreditan pajak masukan atau melakukan penyetoran PPN yang diakibatkan oleh PT D belum dikukuhkan sebagai PKP.
Baca juga: Jenis JKP Ada Yang Dibebaskan PPN? Cari Tahu Di Sini
Perlakuan Akuntansi PPN Dalam Hal PPN Dapat Dikapitalisasi
Dikapitalisasi dalam hal ini yakni diperhitungkan dengan nilai perolehan barang dan/atau jasa, sehingga tidak dikreditkan dengan utang pajak atau dibebankan pada periode bersangkutan.
Contoh:
PT E telah dikukuhkan sebagai PKP sejak tahun 2020 yang bergerak dibidang perdagangan ATK. PT F membeli ATK dari PT E dimana PT F bukan PKP. Nilai transaksi jual beli tersebut sebesar Rp 40 juta (belum termasuk PPN) dan PT F memilih untuk mengkapitalisasi PPN tersebut sebagai harga perolehan dari barang tersebut.
Jawab:
Perhitungan nilai perolehan setelah kapitalisasi:
Harga perolehan ATK = Rp 40 juta
PPN = Rp 4,4 juta
Harga perolehan + PPN = Rp 44 juta
Sehingga jurnal yang dibuat PT F yakni
|
Perlengkapan ATK |
Rp 44 juta |
||
|
Kas/Utang |
Rp 44 juta |
Perlakuan Akuntansi PPN Terhadap Transaksi Penjualan
Dari kasus diatas bagi pihak penjual yang merupakan seorang PKP wajib mencatat PPN yang dipungut, dengan jurnal:
Asumsi perusahaan menggunakan metode fisik
|
Kas/Piutang |
Rp 44 juta |
||
|
Penjualan |
Rp 40 juta |
||
|
PPN Keluaran |
Rp 4,4 juta |
Bagi perusahaan penjual (perusahaan PKP) wajib menyetorkan PPN yang dipungut setelah diselisihkan dengan PPN Masukan yang terjadi selama 1 periode bersangkutan.









