Produk kecantikan merupakan suatu kebutuhan yang wajib dari segi perawatan diri terutama bagi seorang wanita. Kosmetik atau skincare dapat digolongkan sebagai kebutuhan primer, sekunder, hingga tersier tergantung dari prioritas pribadi masing-masing.
Ada yang berargumen bahwa produk kecantikan menjadi kebutuhan utama guna menunjang penampilan dan karier, ada juga yang hanya menjadikan produk kecantikan sebagai pelengkap saja. Seorang pengusaha kosmetik tentu memiliki kewajiban perpajakan pula. Yuk, simak informasi lebih lanjutnya di sini!
Produk Kecantikan Kosmetik
Sebuah penelitian dilakukan oleh salah satu mahasiswa fakultas bisnis dan manajemen teknologi terhadap penggunaan kosmetik di salah satu daerah di Indonesia dengan pengambilan sampel mayoritas wanita dari usia 21-25 tahun.
Penelitian ini menggunakan metode survei dengan penyebaran kuesioner secara online menunjukkan persentase hingga 85,61% persentase yang cukup tinggi, jika skala mayoritas pada wanita rentang usia 21-25 tahun. Pada umumnya, semakin besar usia seorang wanita kebutuhan akan produk kecantikan menjadi tinggi hal tersebut dikarenakan seorang wanita ingin tetap tampil menarik walaupun sudah berusia di atas 35 tahun.
Akibat dari kebutuhan akan kosmetik yang begitu tinggi, banyak masyarakat memulai usaha di bidang kosmetik. Munculnya merk serta formulasi baru membuat daya beli masyarakat terhadap kosmetik menjadi tinggi, dikarenakan peluang usaha yang menjanjikan, memicu persaingan antar pengusaha produk kecantikan itu sendiri.
Pengusaha Kosmetik
Sebelum menjalankan usaha kosmetik, terdapat beberapa hal yang wajib diperhatikan. Hal tersebut sejalan dengan orientasi pengusaha terhadap laba serta tetap menjalankan kewajiban perpajakan sebagai wajib pajak yang taat dan sadar akan pajak, di antaranya:
-
- Mendaftarkan kegiatan usaha untuk memperoleh izin berusaha
- Mendaftarkan diri memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak
- Mengurus izin BPOM dan Halal jika pengusaha tersebut bergerak di bidang industri produk kecantikan
- Mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak dalam hal peredaran bruto telah melebihi Rp4,8 Miliar sebagaimana dimaksud dalam UU PPh
- Memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) sebagai Angka Pengenal Impor (API) jika wajib pajak melakukan kegiatan impor produk dari luar negeri.
Pembayaran pajak menjadi suatu kewajiban bagi setiap masyarakat Indonesia tak terkecuali pengusaha kosmetik. Terdapat beberapa jenis pajak yang dikenakan terhadap pengusaha kosmetik yang sering ditemui, di antaranya:
- Pajak Penghasilan Final (PPh Pasal 4 ayat (2))
Pajak ini dikenakan apabila pengusaha kosmetik bertransaksi dengan objek pajak final seperti melakukan pembayaran sewa tanah dan bangunan atas tempat usaha, memperoleh bunga tabungan atau deposito atas uang yang disimpan pada lembaga keuangan, atau jika pengusaha kosmetik tersebut memiliki peredaran bruto kurang dari Rp4,8 Miliar setahun dan memilih untuk menggunakan PP No. 23 tahun 2018, dimana tarif pajak yang berlaku sebesar 0,5% bersifat final.
- Pajak Penghasilan PPh 21
Pajak ini terutang jika pengusaha kosmetik tersebut memiliki karyawan, sehingga pengusaha kosmetik wajib memotong PPh 21 terhadap penghasilan yang diterima karyawan apabila pengusaha tersebut telah berbentuk badan usaha. Tetapi, jika pengusaha tersebut yakni orang pribadi, maka karyawan wajib menyetorkan sendiri pajak terutang apabila wajib pajak orang pribadi tersebut tidak ditunjuk sebagai pemotong PPh 21.
- Pajak Penghasilan PPh 23
Pajak ini dikenakan apabila pengusaha kosmetik menerima penghasilan berupa royalti, sewa selain sewa tanah dan/atau bangunan, hadiah, dan lain sebagainya.
- Pajak Penghasilan Badan
Dalam hal ini, pengusaha kosmetik merupakan wajib pajak badan, maka pajak penghasilan dibayarkan didasarkan atas peredaran bruto selama setahun.
- Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Pajak ini dipungut jika pengusaha kosmetik telah dikukuhkan sebagai Pengusah Kena Pajak (PKP) dan melakukan pembelian dan/atau penjualan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP)
- Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Pajak ini dibayarkan oleh pengusaha kosmetik ke pihak daerah tempat usaha dilakukan. Besaran tarif pajak daerah dan retribusi daerah yang dibayarkan masing-masing daerah berbeda-beda sesuai dengan peraturan pemerintah daerah setempat yang berlaku.
Hal tersebut sejalan dengan pengaruh tarif pajak terhadap harga jual produk kecantikan itu sendiri. Apabila tarif pajak meningkat dari tahun sebelumnya hal ini menjadi salah satu pertimbangan kenaikan harga jual kosmetik. Pajak ini dikenal dengan PPN, atau Bea Masuk pada saat kegiatan impor dilakukan. Selain pajak tersebut, atas penghasilan yang diperoleh dari penjualan produk kecantikan akan dikenakan pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
Baca juga: Pajak Profesi: Pajak Penghasilan Pemadam Kebakaran
Pajak Pengusaha Kosmetik
Pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pengusaha kosmetik dilihat dari besaran peredaran bruto selama setahun. Ada beberapa pengenaan yakni menggunakan tarif pasal 17 atau pasal 31E. secara umum tarif pajak yang berlaku yakni tarif progresif pasal 17 bagi pengusaha kosmetik wajib pajak orang pribadi atau tarif pajak tunggal bagi pengusaha kosmetik berbentuk badan usaha.
Bagi pengusaha kosmetik yang berbentuk wajib pajak badan terdapat fasilitas pengurangan tarif paling tinggi 50% dari tarif yang berlaku jika peredaran bruto selama setahun tidak lebih dari 50 juta. Hal ini telah diatur dalam pasal 31E Undang-Undang No 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan dan SE-02 tahun 2015 tentang penegasan pasal 31E.
Contoh Kasus 1
Ibu Mika merupakan seorang pengusaha kosmetik yang memiliki toko di daerah bogor. Selama tahun 2022 peredaran bruto dari penjualan produk kosmetik sebesar Rp 500.000.000 dengan rincian:
|
Bulan |
Penjualan |
|
Januari |
Rp 40.000.000 |
|
Februari |
Rp 35.000.000 |
|
Maret |
Rp 44.000.000 |
|
April |
Rp 41.000.000 |
|
Mei |
Rp 38.500.000 |
|
Juni |
Rp 41.500.000 |
|
Juli |
Rp 33.000.000 |
|
Agustus |
Rp 40.000.000 |
|
September |
Rp 45.000.000 |
|
Oktober |
Rp 50.000.000 |
|
November |
Rp 43.000.000 |
|
Desember |
Rp 49.000.000 |
|
Jumlah |
Rp 500.000.000 |
Ibu Mika telah terdaftar sebagai wajib pajak dan memilih untuk menggunakan PP 23 tahun 2018. Berapakah pajak yang terutang atas penghasilan yang diperoleh Ibu Mika di tahun 2022?
Jawab:
|
Bulan |
Penjualan |
PP 23 |
|
Januari |
Rp 40.000.000 |
Rp 200.000 |
|
Februari |
Rp 35.000.000 |
Rp 175.000 |
|
Maret |
Rp 44.000.000 |
Rp 220.000 |
|
April |
Rp 41.000.000 |
Rp 205.000 |
|
Mei |
Rp 38.500.000 |
Rp 192.500 |
|
Juni |
Rp 41.500.000 |
Rp 207.500 |
|
Juli |
Rp 33.000.000 |
Rp 165.000 |
|
Agustus |
Rp 40.000.000 |
Rp 200.000 |
|
September |
Rp 45.000.000 |
Rp 225.000 |
|
Oktober |
Rp 50.000.000 |
Rp 250.000 |
|
November |
Rp 43.000.000 |
Rp 215.000 |
|
Desember |
Rp 49.000.000 |
Rp 245.000 |
|
Jumlah |
Rp 500.000.000 |
Rp 2.500.000 |
Baca juga: Pajak Profesi: Pajak Atas Penghasilan Programmer
Contoh Kasus 2
PT Glow merupakan salah satu perusahaan yang bergerak dibidang perdagangan produk kecantikan. PT Glow telah disahkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sejak tahun 2015. Selama tahun 2022 peredaran bruto PT Glow sebesar Rp 52.000.000.000 setahun. Berapakah pajak terutang PT Glow di tahun 2022?
Jawab:
Dikarenakan peredaran bruto PT Glow diatas 50M setahun maka dikenakan pajak sesuai dengan tarif pasal 17 ayat (1) huruf b yakni sebesar 22%
Pajak terutang = peredaran bruto setahun x tarif pajak
Pajak terutang = Rp 52.000.000.000 x 22%
Pajak terutang = Rp 11.440.000.000.
Secara sederhana, pajak atas penghasilan pengusaha kosmetik dibedakan dari sisi wajib pajak yang menerima apakah wajib pajak orang pribadi atau badan dan besaran peredaran bruto yang diperoleh selama satu tahun pajak. Diharapkan dengan adanya asas keadilan ini dapat meningkatkan kesadaran wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya serta sebagai upaya dalam meningkatkan pemerimaan negara dari sektor pajak.









