Kabar terkait kajian pajak kendaraan motor berbahan nonlistrik atau Internal Combustion Engine (ICE) kembali mencuat. Wacana ini pertama kali digaungkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan. Pengkajian ini dilakukan atas dasar niat serius pemerintah dalam mengendalikan tingkat polusi udara di Indonesia.
Di awal tahun 2024, dapat dikatakan kualitas udara di Jakarta sudah membaik bila dibandingkan dengan kondisi di akhir tahun 2023. Dari segi ekonomi, penambahan penerimaan negara melalui pajak tersebut rencananya akan digunakan untuk meningkatkan anggaran dalam subsidi pengembangan fasilitas transportasi umum, seperti Light Rail Transit (LRT) Jabodebek dan Kereta Cepat Jakarta-Bandung Whoosh.
Selain wacana penetapan pajak, pemerintah Indonesia sebelumnya juga perlahan melakukan berbagai upaya serius dalam rangka pengendalian polusi dan peningkatan kualitas udara, mulai dari kebijakan ganjil genap hingga pembangunan infrastruktur transportasi umum secara masif.
Baca juga: Membangun Kebijakan Pajak Berkelanjutan yang Mendukung Lingkungan
Bagaimanapun, pengendalian polusi hampir sama dengan pengendalian Covid-19, dimana pemerintah perlu menjaga keseimbangan antara ekonomi dan Kesehatan masyarakat. Terlebih saat ini industri kendaraan bermotor dalam negeri telah berkontribusi sebesar 4% setiap tahunnya kepada Produk Domestik Bruto (PDB) dan menyerap 1,5 juta tenaga kerja.
Efek Ekonomis Pajak Kendaraan Bermotor Non-Listrik
Akademisi sekaligus pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu berpendapat bahwa kenaikan pajak pada sepeda motor berbahan bakar bensin sejatinya berpotensi menambah motivasi masyarakat untuk beralih ke kendaraan yang lebih ramah lingkungan, seperti sepeda motor listrik yang sudah ramai beredar di pasaran dengan ragam harga dan spesifikasi.
Menurut Yannes, kenaikan pajak langsung berdampak pada tekanan finansial pada kepemilikan dan operasional sepeda motor bensin. Selain itu, kesadaran masyarakat akan pentingnya memilih kendaraan yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan akan meningkat seiring kampanye dari kebijakan penetapan pajak ini kian luas.
Jika pasar motor listrik berkembang, maka bisa menjadi momentum perluasan peluang bagi produsen kendaraan listrik, maupun praktisi dan perusahaan yang mampu melakukan inovasi dan teknologi kendaraan listrik produksi dalam negeri.
Akan tetapi, pemerintah juga perlu mempertimbangkan efek ekonomis dari pemberian pajak ini mengingat pada tahun 2023 saja, pengguna motor di Indonesia mencapai 127,97 juta unit atau 87% dari total kendaraan, berdasarkan data dari GAIKINDO (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia).
Besarnya pangsa motor nonlistrik tentunya sejalan dengan industri otomotif yang sudah cukup kuat saat ini dengan mempekerjakan jutaan pekerja dalam negeri. Penerapan pajak kendaraan nonlistrik yang lebih tinggi dapat membuat harga kendaraan non-listrik menjadi lebih mahal di Indonesia, dibandingkan dengan negara lain. Hal ini dapat menurunkan daya saing industri otomotif Indonesia dan menghambat investasi di sektor tersebut.
Baca juga: Pemerintah Berikan Insentif Bea Masuk Impor 0% Kendaraan Listrik
Kemudian pemerintah juga perlu mempertimbangkan potensi peningkatan peredaran kendaraan bodong, yaitu kendaraan yang tidak memiliki surat-surat resmi. Pasar gelap tersebut bukan hanya merugikan pihak distributor resmi tetapi juga dapat membahayakan keselamatan dan keamanan pengguna jalan serta merugikan negara dari segi pendapatan pajak.
Masuknya motor listrik ke industri transportasi di Indonesia dengan dibekali oleh banyak insentif dari Pemerintah mulai memperlihatkan dampaknya kepada pesaing utama, yaitu motor non listrik. Berdasarkan data dari Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), penjualan sepeda motor domestik pada Januari 2024 mengalami perlambatan sebesar 3,69% bila dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2023 lalu.
Perlambatan ini sebelumnya telah diprediksi PT Isuzu Astra Motor Indonesia (IAMI), bahwa pasar industri otomotif Indonesia secara keseluruhan akan stagnan atau flat pada 2024. Adapun prediksi didasari oleh tiga faktor, mencakup belanja pemerintah (government spending), pertumbuhan komoditas, dan konsumsi rumah tangga.









