Pajak merupakan salah satu sumber utama pendapatan negara yang memiliki peran strategis dalam membiayai berbagai kebutuhan publik, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan pertahanan. Di balik pelaksanaan kebijakan perpajakan, terdapat landasan teori yang mendasari cara pandang terhadap keadilan dan efektivitas pemungutan pajak. Dua pendekatan yang sering dijadikan dasar dalam perumusan kebijakan fiskal adalah Teori Benefit dan Teori Ability to Pay.
Kedua teori ini memiliki pandangan yang berbeda dalam menentukan siapa yang harus membayar pajak dan bagaimana besarannya ditetapkan. Dengan memahami kedua teori ini, kita dapat lebih mengerti prinsip keadilan dalam sistem perpajakan dan tujuan yang ingin dicapai oleh negara dalam mengelola pendapatan dari pajak.
Teori Benefit
Teori Benefit menjelaskan bahwa pajak yang dipungut oleh negara harus sebanding dengan manfaat yang diterima oleh wajib pajak dari pengeluaran pemerintah. Dengan kata lain, warga negara membayar pajak karena mereka mendapatkan manfaat langsung dari layanan dan fasilitas yang disediakan oleh negara, seperti keamanan, infrastruktur, pendidikan, dan pelayanan publik lainnya.
Prinsip utama teori ini adalah “Pajak harus didistribusikan sesuai dengan manfaat yang diterima”. Salah satu contoh nyata dari penerapan teori ini adalah Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). Pemilik kendaraan secara langsung menggunakan infrastruktur jalan yang dibangun dan dirawat oleh negara, sehingga mereka dianggap menerima manfaat. Oleh karena itu, mereka diwajibkan membayar pajak kendaraan, yang kemudian digunakan untuk perawatan dan pembangunan jalan.
Contoh lainnya adalah retribusi daerah, seperti biaya parkir, tiket masuk tempat wisata milik pemerintah, atau pungutan sampah. Pungutan-pungutan ini diterapkan kepada pengguna layanan publik tertentu yang secara langsung merasakan manfaat dari layanan tersebut.
Teori ini juga memiliki peran dalam sistem perpajakan internasional, terutama dalam konteks pemajakan berdasarkan sumber penghasilan. Meski demikian, teori Benefit memiliki sejumlah keterbatasan, seperti kesulitan dalam mengukur secara akurat seberapa besar manfaat yang diterima oleh setiap individu serta kurangnya perhatian terhadap kemampuan ekonomi masing-masing wajib pajak. Kritik lainnya menyebutkan bahwa teori ini bisa bersifat tidak adil bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang tetap dikenakan pajak meski memiliki keterbatasan finansial.
Secara historis, konsep ini berakar pada pemikiran Adam Smith, yang menyatakan bahwa setiap individu harus memberikan kontribusi kepada negara sebanding dengan manfaat yang diterimanya.
Baca Juga: Mengenal Perbedaan Tax Planning, Tax Avoidance, dan Tax Evasion
Teori Ability to Pay
Berbeda dengan teori benefit, teori Ability to Pay menekankan bahwa pajak harus dipungut berdasarkan kemampuan ekonomi wajib pajak. Artinya, individu yang memiliki pendapatan atau kekayaan lebih besar harus membayar pajak lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang memiliki kemampuan ekonomi lebih rendah.
Prinsip ini berlandaskan pada keadilan vertikal dan horizontal:
- Keadilan horizontal: Individu dengan kemampuan ekonomi yang sama harus membayar pajak yang sama.
- Keadilan vertikal: Individu dengan kemampuan ekonomi lebih tinggi harus membayar pajak lebih besar (misalnya melalui tarif progresif).
Salah satu contoh paling jelas dari penerapan teori ini di Indonesia adalah tarif progresif pada Pajak Penghasilan (PPh). Dalam sistem ini, orang yang memiliki penghasilan tinggi akan membayar pajak dengan tarif yang lebih besar dibandingkan mereka yang berpenghasilan rendah. Di Indonesia, tarif PPh orang pribadi diterapkan secara bertingkat, mulai dari 5% hingga 35%, tergantung pada besar penghasilan tahunan. Contoh lainnya dapat dilihat pada pajak kekayaan atau Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), di mana besarnya pajak disesuaikan dengan nilai aset yang dimiliki oleh wajib pajak.
Pengukuran kemampuan membayar dapat dilakukan melalui berbagai indikator ekonomi, seperti jumlah pendapatan, nilai kekayaan, atau pengeluaran. Teori ini tidak hanya menekankan pada pemungutan pajak yang adil, tetapi juga mendasari kebijakan redistribusi pendapatan melalui sistem perpajakan untuk mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi.
Prinsip Ability to Pay juga dianggap sebagai prinsip keadilan dalam pemungutan pajak dan menjadi dasar bagi kebijakan redistribusi pendapatan melalui pajak. Adam Smith turut mengemukakan asas yang sejalan dengan prinsip ini, yakni bahwa pemungutan pajak harus mempertimbangkan kemampuan ekonomi wajib pajak.
Baca Juga: Apa Itu Pajak High Wealth Individual (HWI)?
Perbandingan Teori Benefit dan Teori Ability To Pay
|
Aspek |
Teori Benefit |
Teori Ability To Pay |
|
Dasar Pemungutan Pajak |
Manfaat yang diterima wajib pajak |
Kemampuan ekonomi wajib pajak |
|
Fokus |
Hubungan langsung antara pajak dan manfaat |
Keadilan distribusi beban pajak |
|
Keadilan |
Menekankan keadilan manfaat |
Menekankan keadilan ekonomi dan sosial |
|
Kelebihan |
|
|
|
Kelemahan |
|
|
Kesimpulan
Teori Benefit dan Teori Ability To Pay merupakan dua pilar utama dalam ilmu perpajakan yang menjelaskan dasar dan prinsip pemungutan pajak. Teori Benefit menekankan pajak sebagai imbalan atas manfaat yang diterima wajib pajak dari negara, sedangkan Teori Ability To Pay menekankan pajak harus sesuai dengan kemampuan ekonomi wajib pajak. Kedua Teori ini saling melengkapi dan sering menjadi dasar dalam merancang sistem perpajakan yang adil dan efektif untuk mendukung pembangunan negara serta kesejahteraan masyarakat.
*) Penulis merupakan penerima beasiswa dari Pajakku. Seluruh isi tulisan ini disusun secara mandiri oleh penulis dan sepenuhnya merupakan opini pribadi.









