Mutual Agreement Procedure (MAP) atau dalam bahasa Indonesia disebut Prosedur Persetujuan Bersama adalah salah satu mekanisme yang diatur dalam perjanjian pajak internasional untuk menyelesaikan sengketa perpajakan antarnegara. MAP dirancang untuk memastikan bahwa perpajakan antar negara dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam perjanjian pajak, sekaligus mencegah terjadinya pajak berganda yang tidak diinginkan.
Indonesia, melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP), telah mengadopsi prosedur ini sebagai bagian dari komitmennya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelesaian sengketa pajak, serta memberikan perlindungan yang lebih baik bagi wajib pajak. Dengan MAP, Indonesia menunjukkan keseriusannya dalam mendukung standar internasional yang ditetapkan oleh Proyek Base Erosion and Profit Shifting (BEPS), khususnya Action 14: Making Dispute Resolution More Effective.
Apa Itu Mutual Agreement Procedure (MAP)?
MAP adalah prosedur administratif yang diatur dalam perjanjian pajak internasional (tax treaty). Tujuan utama MAP adalah menyelesaikan berbagai masalah yang muncul akibat penerapan perjanjian pajak, seperti perbedaan interpretasi perjanjian, sengketa terkait transfer pricing, atau kasus diskriminasi pajak.
Melalui MAP, wajib pajak yang merasa bahwa pelaksanaan perpajakan di suatu negara mitra tidak sesuai dengan ketentuan perjanjian pajak dapat mengajukan permohonan penyelesaian kepada Otoritas yang Berwenang (Competent Authority/CA) di negaranya. Permohonan ini akan ditindaklanjuti oleh otoritas perpajakan Indonesia dengan melakukan diskusi bilateral bersama otoritas negara mitra untuk mencari solusi terbaik.
Manfaat dan Tujuan MAP
MAP memberikan berbagai manfaat bagi wajib pajak, antara lain:
- Pencegahan Pajak Berganda: MAP membantu wajib pajak yang menghadapi perpajakan berganda akibat perbedaan penafsiran atau penyesuaian transfer pricing oleh negara mitra.
- Perlindungan dari Diskriminasi Pajak: WNI yang mengalami perlakuan diskriminatif dalam perpajakan di negara mitra dapat meminta perlindungan melalui MAP.
- Penyelesaian Sengketa Secara Efektif: Dengan diskusi langsung antara otoritas pajak kedua negara, MAP memastikan penyelesaian yang adil dan sesuai dengan perjanjian pajak.
- Keamanan dalam Bisnis Internasional: MAP memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak yang melakukan aktivitas lintas negara.
Baca Juga: Daftar Lengkap PJAP Tahun 2025
Siapa yang Bisa Mengajukan MAP?
MAP dapat diajukan oleh beberapa pihak, tergantung pada jenis masalah yang dihadapi:
- Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia: Misalnya, perusahaan Indonesia yang mengalami pajak berganda akibat penyesuaian transfer pricing.
- Warga Negara Indonesia (WNI): Untuk kasus diskriminasi pajak di negara mitra.
- Direktorat Jenderal Pajak (DJP): Dalam rangka mencegah pajak berganda atau menindaklanjuti perjanjian harga transfer bilateral (BAPA).
- Otoritas yang Berwenang dari Negara Mitra: Untuk menyelesaikan sengketa pajak yang melibatkan wajib pajak Indonesia.
Masalah yang Dapat Diselesaikan melalui MAP
Beberapa contoh masalah yang dapat diajukan melalui MAP meliputi:
- Penyesuaian Transfer Pricing: Misalnya, jika negara mitra membuat penyesuaian harga transfer yang menyebabkan pajak berganda.
- Diskriminasi Pajak: WNI atau perusahaan Indonesia yang diperlakukan berbeda oleh negara mitra.
- Penafsiran Perjanjian Pajak: Perbedaan interpretasi atas ketentuan tertentu dalam perjanjian pajak.
- Dual Resident Issues: Masalah yang muncul karena status subjek pajak yang diakui oleh dua negara sekaligus.
Proses Pengajuan MAP
Untuk mengajukan MAP, wajib pajak harus memenuhi beberapa persyaratan berikut:
- Permohonan Tertulis dalam Bahasa Indonesia: Permohonan harus menjelaskan tindakan perpajakan yang dianggap tidak sesuai dengan perjanjian pajak.
- Dokumen Pendukung: Meliputi surat keterangan domisili, bukti-bukti perpajakan, dan pernyataan kesediaan untuk memberikan informasi secara lengkap.
- Batas Waktu Pengajuan: Jika tidak diatur secara khusus dalam perjanjian pajak, MAP harus diajukan dalam waktu maksimal 3 tahun sejak kejadian perpajakan terjadi.
Setelah menerima permohonan, DJP akan memeriksa kelengkapan dokumen dan materi yang diajukan. Jika diterima, DJP akan melakukan diskusi bilateral dengan otoritas pajak negara mitra. Proses diskusi ini biasanya memakan waktu hingga 24 bulan.
Baca Juga: Peran Trade Openness dalam Mendorong Tax Buoyancy di Indonesia
Hasil dan Implementasi MAP
Hasil dari diskusi MAP dapat berupa:
- Kesepakatan: Jika kedua pihak mencapai solusi bersama yang dapat diterima.
- Ketidaksepakatan: Jika tidak ada solusi yang disepakati dalam batas waktu yang ditentukan.
Apabila kesepakatan tercapai, DJP akan menindaklanjutinya dengan mengubah penghitungan pajak, pembatalan tagihan pajak, atau pengembalian pajak yang telah dibayarkan. Namun, jika tidak ada kesepakatan, wajib pajak dapat melanjutkan proses penyelesaian melalui mekanisme domestik, seperti keberatan atau banding.
Posisi Indonesia terhadap Arbitrase MAP
Saat ini, Indonesia tidak memiliki mekanisme arbitrase dalam MAP kecuali untuk perjanjian pajak dengan Meksiko. Indonesia juga tidak memasukkan ketentuan arbitrase wajib dalam sebagian besar perjanjian pajak bilateralnya. Kebijakan ini mencerminkan pendekatan Indonesia yang lebih memilih penyelesaian sengketa melalui diskusi bilateral daripada arbitrase.
Mutual Agreement Procedure (MAP) adalah solusi efektif yang ditawarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk menyelesaikan sengketa perpajakan internasional. Prosedur ini tidak hanya membantu mencegah pajak berganda, tetapi juga memberikan perlindungan kepada wajib pajak dari perlakuan yang tidak adil di negara mitra.
Dengan memahami prosedur dan manfaat MAP, wajib pajak dapat memanfaatkan mekanisme ini untuk memastikan bahwa hak-hak perpajakan mereka terlindungi. Informasi lebih lanjut tentang MAP dapat diakses melalui laman resmi DJP di https://pajak.go.id.









