Marketplace Jadi Pemungut PPh 22: Strategi Perluasan Basis Pajak di Era Digital

Di tengah pesatnya pertumbuhan transaksi digital dan semakin banyaknya pelaku usaha daring, pemerintah dihadapkan pada tantangan besar dalam menjaga penerimaan pajak tetap optimal. Aktivitas jual beli kini tak lagi terbatas di pasar konvensional, melainkan berpindah ke layar ponsel dengan proses transaksi yang lebih cepat, jangkauan lebih luas, namun sering kali luput dari pengawasan. Karena itu, langkah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menunjuk marketplace sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 lewat PMK Nomor 37 Tahun 2025 patut diapresiasi sebagai strategi adaptif di tengah era digital. 

Peraturan Menteri Keuangan tersebut, yang ditetapkan pada 11 Juni 2025 dan diundangkan pada 14 Juli 2025, bukanlah bentuk pungutan baru. Sebelumnya, pedagang yang menjual barang di marketplace tetap memiliki kewajiban menyetor PPh 22 secara mandiri (self-assessment). Namun kini, tanggung jawab administratif itu dialihkan ke marketplace sebagai pemungut. Dengan kata lain, pemerintah tidak menambah beban pajak baru, melainkan menyempurnakan mekanisme pemungutan melalui pendekatan collect at the source, yakni dengan menunjuk platform digital sebagai pemungut pajak atas transaksi yang terjadi di dalamnya. Pendekatan ini memperkuat efisiensi administrasi sekaligus memperluas basis pajak di sektor digital. 

Marketplace seperti Tokopedia, Shopee, Bukalapak, Lazada, dan TikTok Shop bukan sekadar platform jual beli. Mereka merupakan simpul penting dalam ekosistem digital yang memiliki visibilitas atas data transaksi, mengelola escrow system, serta memiliki infrastruktur digital yang jauh lebih mumpuni dibandingkan pelaku usaha independen di platform tersebut. Dengan kapabilitas tersebut, marketplace dinilai layak menjadi pemungut pajak atas transaksi di platform mereka. Kebijakan ini bukan sekadar tepat, tetapi juga strategis dalam memperkuat kepatuhan dan transparansi perpajakan di era digital. 

Baca juga: PER-15/PJ/2025 Tegaskan Pengkreditan PPh 22 Marketplace

Secara global, Indonesia bukan satu-satunya negara yang mengadopsi pendekatan digital dalam pemungutan pajak. Uni Eropa, misalnya, melalui proposal VAT in the Digital Age (ViDA), mendorong agar platform digital turut bertanggung jawab dalam pemungutan dan penyetoran PPN atas transaksi yang mereka fasilitasi, bahkan oleh pelaku usaha kecil atau pihak luar Uni Eropa. Dalam konteks ini, baik PMK 37/2025 maupun ViDA menunjukkan arah kebijakan yang serupa, yakni platform digital tidak lagi hanya menjadi perantara, melainkan turut berperan sentral dalam proses pemungutan pajak. 

Jika ViDA menargetkan pajak konsumsi (PPN), maka PMK 37/2025 menyasar sisi penghasilan (PPh). Keduanya menunjukkan bahwa di era digital, strategi pemungutan pajak harus turut bertransformasi, dari yang semula menunggu pelaporan menjadi aktif sejak titik awal transaksi. 

Kebijakan ini juga hadir di saat yang tepat. Mengacu pada data Kementerian Perdagangan yang dikutip oleh DJP, jumlah uang yang beredar di marketplace pada tahun 2024 mencapai Rp450 triliun dan diperkirakan terus meningkat pada 2025. Namun ironisnya, menurut Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, Rosmauli, kepatuhan pajak di sektor ini masih tergolong rendah. Bahkan, pelaku usaha daring dengan omzet di atas Rp500 juta per tahun masih banyak yang belum memenuhi kewajiban perpajakannya. 

Kondisi ini menunjukkan bahwa shadow economy di sektor digital memang nyata. Banyak pelaku usaha yang tidak memiliki NPWP, tidak mencatat omzet secara akurat, bahkan tidak melaporkan penghasilan secara benar. Potensi penerimaan negara pun bocor di tengah geliat transaksi yang begitu besar. Di sinilah PMK 37/2025 memainkan peran penting, yakni dengan menggeser titik pungut ke hulu, sehingga pemungutan dilakukan langsung saat transaksi berlangsung di marketplace, bukan melalui pelaporan tahunan yang rawan manipulasi. 

Berdasarkan aturan ini, PPh 22 dipungut sebesar 0,5% dari nilai transaksi bruto (tidak termasuk PPN atau PPnBM), dan langsung dipotong saat dana masih berada di sistem escrow. Hal ini memungkinkan pungutan pajak berlangsung lebih cepat dan tepat waktu, bahkan sebelum penghasilan diterima oleh pedagang. Mekanisme ini bukan hanya efisien, tetapi juga mencerminkan sistem perpajakan modern yang berbasis teknologi.  

Baca juga: Contoh Kasus Pemungutan Pajak PPh 22 ke Penjual Online

Tentu, pertanyaan dan tantangan tetap ada. Apakah seluruh marketplace siap secara sistem dan sumber daya? Bagaimana nasib pelaku UMKM yang belum familiar dengan sistem perpajakan? Apakah kebijakan ini akan dianggap menakutkan atau memberatkan oleh penjual kecil? 

Untungnya, PMK ini cukup akomodatif. Marketplace baru diwajibkan memungut setelah ditunjuk secara resmi oleh DJP dan memenuhi syarat tertentu seperti volume transaksi, trafik pengguna, serta kesiapan sistem. Selain itu, terdapat beberapa pengecualian penting bagi pedagang, yakni: pedagang dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun, penjual pulsa, mitra pengemudi ojek daring, serta pelaku UMKM yang sudah dikenai PPh Final 0,5%. Artinya, kebijakan ini bersifat selektif dan mempertimbangkan kapasitas pelaku usaha. 

Implementasi PMK 37/2025 bukan sekadar urusan teknis pemungutan, melainkan strategi jangka panjang untuk mereformasi struktur pemajakan di sektor digital. Pertama, kebijakan ini berpotensi menutup celah shadow economy yang selama ini sulit dijangkau. Kedua, pendekatan self-assessment yang rentan manipulasi mulai digantikan dengan pemungutan otomatis yang lebih transparan dan sistematis. Ini selaras dengan prinsip good tax governance yang menekankan keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas dalam sistem perpajakan. 

Namun agar kebijakan ini benar-benar efektif, ada dua aspek krusial yang perlu dikawal bersama, yaitu edukasi dan integrasi data. 

Pertama, edukasi pajak kepada pelaku usaha digital harus ditingkatkan secara masif. Banyak pelaku UMKM baru bahkan belum memahami perbedaan antara PPh 21, PPh 22, dan Final UMKM. Di sinilah peran marketplace bisa diperluas, tidak hanya sebagai pemungut pajak, tetapi juga sebagai mitra strategis dalam edukasi fiskal. Misalnya, melalui pengingat pop-up dalam aplikasi, infografik interaktif, hingga simulasi otomatis saat checkout. 

Kedua, integrasi data antara marketplace dan sistem perpajakan harus diperkuat. Jika data transaksi dapat terhubung secara real-time dengan sistem DJP, maka transparansi dan akurasi pelaporan pajak akan meningkat secara signifikan. Dalam konteks digitalisasi sistem perpajakan, langkah ini bukan hanya pelengkap, melainkan fondasi yang menopang penerimaan negara di masa depan.  

Sebagai bagian dari generasi muda yang tumbuh dalam ekosistem digital, saya memandang kebijakan ini sebagai langkah progresif. Tidak boleh ada lagi celah untuk menghindari pajak. Transparansi dan akuntabilitas harus menjadi nilai dasar dalam ekonomi digital demi mewujudkan keadilan fiskal. 

PPh 22 di tangan marketplace bukan sekadar pungutan, melainkan representasi modernisasi sistem perpajakan. Di tengah pesatnya arus transaksi digital, sistem perpajakan perlu bertransformasi seiring kemajuan teknologi dan perubahan pola transaksi. PMK 37/2025 hadir sebagai batu loncatan menuju sistem perpajakan digital yang adil, adaptif, dan berkelanjutan, dengan melibatkan peran aktif platform dalam proses pemungutan pajak. 

Melalui skema ini, pemerintah memperoleh penerimaan yang lebih optimal, pelaku usaha mendapat kepastian hukum dan kemudahan administrasi, sementara masyarakat luas merasakan manfaatnya melalui pembangunan yang lebih merata. 

SUMBER:  

https://pajak.go.id/id/artikel/pmk-372025-bukan-pajak-baru  

https://pajakku.com/tax-guide/per-menkeu/37-tahun-2025  

https://pajak.go.id/id/artikel/pajak-e-commerce-tidak-semua-pedagang-otomatis-dipungut-pph-pasal-22  

https://artikel.pajakku.com/target-penerimaan-pajak-2024-tak-tercapai-apa-yang-harus-dibenahi  

https://www.ssas.co.id/djp-akui-transaksi-toko-online-tembus-rp-450-triliun-tapi-setoran-pajaknya-rendah/  

https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/16062/5-Lima-Prinsip-Good-Governance-dalam-Pengurusan-Piutang-Negara.html  

https://www-pagero-com.translate.goog/blog/what-is-vida?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc&_x_tr_hist=true  

https://www.taxadvisermagazine.com/article/vat-digital-age-platform-economy-services  

https://www.antaranews.com/berita/4973733/esensi-pajak-e-commerce-dan-lompatan-perpajakan-digital-indonesia?page=all  

https://taxation-customs.ec.europa.eu/taxation/vat/vat-digital-age-vida_en#background  

 Baca juga Berita dan Artikel Pajakku lainnya di Google News