Konsolidasi Fiskal: Definisi, Dampak, dan Penerapannya

Jika melihat ke belakang, mengingat adanya pandemi Covid-19 yang melanda hampir seluruh dunia dan menjadi bencana nasional di Indonesia. Tentunya banyak dampak yang diakibatkan, khususnya di bidang perekonomian.

Pandemi ini membuat banyak negara terdorong untuk mengambil kebijakan fiskal yang bersifat ekspansif termasuk di dalamnya negara Indonesia. Dengan memberikan relaksasi fiskal serta peningkatan belanja, tentunya diharapkan dapat merangsang pertumbuhan ekonomi negara.  

Perlu diketahui, bahwa terdapat dampak dari pemberian sejumlah relaksasi fiskal, hal itu mengakibatkan penerimaan negara terutama pajak ikut menurun. Terlebih lagi pada saat yang bersamaan, aktivitas ekonomi yang sebelumnya selama ini menjadi sumber penerimaan pajak juga melemah.

Tak hanya demikian, pada saat itu peningkatan belanja harus dilakukan untuk mendukung penanganan pandemi Covid-19 beserta pemulian ekonomi. Hal tersebut juga mengakibatkan terjadinya pelebaran defisit anggran yang tidak bisa dihindari. Contohnya, pada Tahun 2020 terjadi realisasi defisit anggran sebesar 6,3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).  

Berdasarkan Peraturan Pusat No. 1 Tahun 2020 yang kini telah ditetapkan sebagai Undang-Undang dengan UU No. 2 Tahun 2020 terkait ruang pelebaran defisit APBN ini telah diberikan pada pemerintah. Dalam aturan tersebut, memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk menetapkan defisit anggaran yang melampaui 3% dari Produk Domestik Bruto hingga pada tahun 2022 lalu.

Kebijakan fiskal hendaknya harus diperketat, sehingga defisit anggaran kembali dapat maksimal sebesar 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) mulai di tahun 2023. Perlu dipahami, bahwa pelebaran defiisit anggaran memberikan dampak pada peningkatan resiko hutang, sehingga mengakibatkan adanya potensi untuk mengganggu solvabilitas dana kredibilitas fiskal yang merupakan jangka perekonomian negara.  

Dalam rangka mitigasi resiko seperti di atas, pemerintah telah menempuh serangkaian kebijakan dalam konteks konsolidasi fiskal yang secara bertahap. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan konsolidasi fiskal? bagaimana penerapannya? Mari, kita simak pada pembahasan berikut.  

 

Definisi Konsolidasi Fiskal  

Secara umum, konsolidasi fiskal merupakan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dengan tujuan untuk menurunkan defisit anggaran dan akumulasi hutang. The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam publikasinya yang bertajuk Fiscal Consulidation Targets, Plants and Measures (2011) memberi pernyataan, bahwa defisit anggaran bisa diturunkan seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang mengarah pada pendapatan yang jumlahnya lebih besar sekaligus belanja atau pengeluaran yang jumlahnya lebih sedikit.  

Namun demikian, tak ada definisi yang seragam dan jelas mengenai peningkatan pendapatan dan pemangkasan belanja. Biasanya, langkah yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan dan memangkas belanja tersebut memiliki kaitan dengan anggaran di tahun terakhir atau perkiraan (forecasted) dengan asumsi kebijakan yang tidak mengalami perubahan.  

Di sisi lain, konsolidasi fiskal dapat didefinisikan berdasarkan pada KEM-PPKF 2022, konsolidasi fiskal tersebut dapat diartikan sebagai upaya unduk mendisiplinkan fiskal yang dilakukan dalam rangka menjaga keberlangsungan dan keberlanjutan fiskal. Perlu diketahui, untuk fiskal itu sendiri adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan keuangan negara.  

Baca juga: Mengenal SPT Masa Bea Meterai: Persyaratan, Batas Lapor, hingga Tata Cara

 

Bagaimana Penerapan Konsolidasi Fiskal?  

Konsolidasi fiskal dapat diterapkan melalui 2 pendekatan, sebagai berikut:  

  • Pendekatan berupa pemotongan belanja, seperti belanja operasional maupun penundaan berbagai proyek yang sifatnya tidak mendesak atau dengan kata lain dapat ditunda.  
  • Pendekatan berupa penyesuaian pendapatan yang dilakukan dengan cara meringankan penerimaan dalam bidang perpajakan. 

Secara lebih khusus, terdapat berbagai cara dan strategi yang ditempuh dalam pelaksanaan konsolidasi fiskal. Pada intinya, kebijakan-kebijakan yang dibuat tersebut dimaksudkan guna untuk menyeimbangkan antara upaya peningkatan pendapatan negara beserta efisiensi pengeluaran maupun belanja negara.  

Mengacu Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal di tahun 2022, secara umum terdapat beberapa langkah-langkah konsolidasi fiskal yang dapat dilakukan. Pemerintah berfokus pada 3 sisi, yakni dari sisi peningkatan pendapatan, penguatan kualitas belanja atau spending better  dan sisi pembiayaan. Apa contoh atau realisasi dari 3 sisi yang dimaksud tersebut?  

Jika dilihat dari sisi peningkatan pendapatan, salah satu langkah yang dapat dilakukan yakni dengan cara memperluas basis perpajakan. Contohnya, dengan melakukan optimalisasi penerimaan pajak dari sektor e-commerce atau perdagangan online dan menaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN).

Dengan naiknya tarif PPN akan memberikan dampak berupa tax savings bagi perusahaan maupun rumah tangga yang nantinya dapat digunakan untuk menambah konsumsi dan meningkatkan tabungan masyarakat yang nantinya juga diharapkan berimplikasi pada peningkatan tabungan nasional yang dapat memenuhi kebutuhan investasi.  

Adapun dari sisi pengutan kualitas belanja, pemerintah dapat menempuh langkah dengan menerapkan zero base budgeting yang penerapannya dengan melakukan efisiensi belanja kebutuhan dasar, hanya berfokus pada program prioritas, dengan berorientasi pada hasil serta memastikan memiliki daya tahan yang kuat.  

Sementara itu jika melihat dari sisi pembiayaan, langkah yang dapat ditempuh oleh pemerintah dengan cara dapat menjadikan hutang sebagai instrumen untuk counter cylical yang dikelola dengan hati-hati dan bersifat berkelanjutan dan berkesinambungan. Selain itu, upaya mendorong efektivitas pembiayaan investasi, antara lain dengan cara pemberian suntikan atau insentif modal kepada BUMN secara ketat dan selektif.  

Baca juga: Apa Itu PPh Bunga Obligasi?

 

Dampak Penerapan Konsolidasi Fiskal

Dengan diterapkannya, konsolidasi fiskal akan membantu memperbaiki kondisi fikal negara ke arah positif. Namun, pada sisi lainnya kebijakan memangkas belanja serta menaikan pajak akan menambah beban bagi masyarakat, sehingga berakibat adanya potensi penolakan publik.

Tak hanya demikian, konsolidasi yang dilaksanakan terlalu cepat dan dipaksakan akan menghambat pemulihan ekonomi, namun apabila konsolidasi yang diterapkan terlalu lambat akan berdampak pada hilangnya kepercayaan dari investor yang berakibat tidak stabilnya pasar keuangan.  

Berkenaan dengan penerapan konsolidasi fikal, tampaknya pemerintah tidak akan menunda hal tersebut. Hal itu dikarenakan DPR bersama dengan Kemenkeu telah menyepakati target defisit APBN di tahun 2023 dengan persentase sebesar 2,85% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Pendapatan negara pada tahun 2023 ditargetkan sebesar Rp2.519 triliun dengan kata lain meningkat sebesar 10,77% jika dibandingkan dengan proyeks pendapatan negara di tahun 2022 yang mencapai Rp2.226 triliun. Perlu diketahui, bahwa penerimaan dari sektor pajak masih menjadi andalan dengan perkiraan sebesar Rp1.967 triliun yang setara 78,8% dari total pendapatan negara di tahun 2023.  

Kebijakan berupa pemangkaan pengeluaran atau belanja yang terbatas yang diiringi dengan kenaikan pajak, hal tersebut sejalan dengan apa ytelah disampaikan Jacques dan Haffert (2020) yang mengatakan bahwa pemangkasan belanja pemerintah cenderung memperoleh penolakan secara politis, terutama ketika terjadi resesi ekonomi.

Sementara, kenaikan pajak hanya memunculkan dampak yang minimal. Hal tersebut berarti konsolidasi fiskal lebih bisa diterima melalui kenaikan tarif pajak dibandingkan dengan pemangkasan belanja atau pengeluaran negara. Hal ini dikarenakan, belanja pemerintah saat ini masih dibutuhkan untuk menjaga kepercayaan dari sektor swasta supaya berkenan membelanjakan uangnya dan menambah investasi guna menjaga tren pemulihan ekonomi negara.