Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui PER-1/PJ/2025 memberikan panduan teknis tentang perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah. Aturan ini relevan bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang beroperasi di sektor barang mewah, karena memiliki ketentuan khusus yang berbeda dari barang/jasa lainnya, terutama selama masa transisi tarif PPN hingga 31 Maret 2025. Berikut penjabaran lengkap ketentuan tersebut berdasarkan pasal-pasal dalam PER-1/PJ/2025.
Definisi BKP Mewah
BKP mewah mencakup barang-barang berwujud yang tergolong eksklusif berdasarkan aturan perpajakan, seperti:
- Kendaraan bermotor (mobil, motor, pesawat terbang, kapal pesiar).
- Properti (tanah dan bangunan).
- Senjata api dan peluru.
Definisi ini merujuk pada Pasal 3 ayat (3) PER-1/PJ/2025 yang mengatur tentang jenis BKP yang memerlukan faktur pajak dengan penghitungan khusus.
Penghitungan PPN untuk BKP Mewah
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) PER-1/PJ/2025, selama masa transisi (1 Januari–31 Maret 2025), BKP mewah dikenai PPN dengan ketentuan:
- PPN dihitung menggunakan tarif 12% terhadap harga jual penuh.
- Tidak diperbolehkan menggunakan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) nilai lain (11/12 dari harga jual) sebagaimana berlaku untuk barang/jasa lainnya.
Baca juga: Implementasi PMK 131/2024: Tarif Baru PPN untuk Barang Mewah di 2025
Contoh Penghitungan:
- Harga jual mobil: Rp500.000.000.
- DPP (harga jual penuh): Rp500.000.000.
- PPN terutang: 12% × Rp500.000.000 = Rp60.000.000.
Pembuatan Faktur Pajak untuk BKP Mewah
PKP wajib mematuhi ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) PER-1/PJ/2025 tentang elemen faktur pajak yang harus dicantumkan. Faktur pajak untuk BKP mewah harus memuat:
- Nama, alamat, dan NPWP penjual dan pembeli.
- Jenis barang, harga jual, dan jumlah PPN yang dipungut.
- Kode transaksi yang sesuai.
- Tanggal pembuatan faktur dan tanda tangan pihak berwenang.
Kesalahan dalam elemen ini dapat membuat faktur pajak dianggap tidak sah dan berisiko terhadap pengakuan pajak.
Penggunaan Kode Transaksi
Dalam Pasal 6 ayat (1), kode transaksi yang relevan untuk BKP mewah mencakup:
- Kode 01: Penyerahan BKP dengan PPN normal.
- Kode 07: Penyerahan BKP dengan fasilitas PPN ditanggung pemerintah.
- Kode 08: Penyerahan BKP yang dibebaskan dari PPN.
Contoh:
- Penjualan mobil kepada konsumen akhir tanpa fasilitas khusus: Kode 01.
- Penjualan kapal pesiar dengan fasilitas PPN ditanggung pemerintah: Kode 07.
Aturan Khusus bagi Pedagang Eceran
Berdasarkan Pasal 6 ayat (2), PKP pedagang eceran dapat membuat faktur pajak tanpa mencantumkan identitas pembeli dan tanda tangan penjual untuk penjualan langsung kepada konsumen akhir. Namun, aturan ini tidak berlaku untuk BKP mewah, seperti:
- Kendaraan bermotor.
- Tanah dan bangunan.
- Senjata api.
Untuk BKP mewah, faktur pajak tetap harus lengkap sesuai dengan Pasal 3 ayat (1).
Manfaat dan Implikasi Kebijakan
Aturan khusus untuk BKP mewah dalam PER-1/PJ/2025 memberikan kepastian hukum dan menyederhanakan administrasi perpajakan bagi PKP. Beberapa manfaat dan dampaknya:
- Kepastian Hukum
- Penghitungan PPN dengan tarif 12% pada DPP penuh memastikan kejelasan bagi PKP selama masa transisi.
- Efisiensi Administrasi
- Pedoman teknis yang jelas memudahkan PKP dalam membuat faktur pajak dan melaporkan kewajiban PPN.
- Pengawasan yang Lebih Ketat
- Tidak diperbolehkannya DPP nilai lain untuk BKP mewah memastikan tidak ada pengurangan kewajiban pajak yang tidak sesuai.
Baca juga: Ketahui BKP JKP Tidak Dipungut PPN di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
Contoh Kasus Penyerahan BKP Mewah
Penjualan Mobil Mewah
- PT A menjual mobil senilai Rp800.000.000 kepada Tuan B.
- DPP: Rp800.000.000.
- PPN: 12% × Rp800.000.000 = Rp96.000.000.
- Faktur pajak dibuat dengan kode transaksi 01.
Penyerahan dengan Fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah
- PT B menjual kapal pesiar senilai Rp5.000.000.000 kepada pembeli yang mendapat fasilitas PPN ditanggung pemerintah.
- Faktur pajak dibuat dengan kode transaksi 07.
Ketentuan khusus untuk BKP mewah dalam PER-1/PJ/2025 memberikan panduan yang tegas dalam penghitungan dan pembuatan faktur pajak, terutama selama masa transisi penerapan tarif PPN 12%. PKP wajib memastikan kepatuhan terhadap aturan ini untuk menghindari risiko administrasi atau penalti. Dengan memahami ketentuan dalam Pasal 3, 4, dan 6 PER-1/PJ/2025, PKP dapat menjaga kepatuhan pajak dan mengelola kewajiban perpajakan dengan lebih efektif.









