Bukti potong/pungut PPh merupakan dokumen berupa formulir atau dokumen lain yang dipersamakan dan dibuat oleh pemotong/pemungut PPh. Formulir atau dokumen tersebut dibuat sebagai bukti atas pemotongan/pemungutan PPh yang telah dilakukan oleh pemotong/pemungut. Selain itu, bukti pemotongan/pemungutan juga menunjukkan besaran PPh yang telah dipotong/dipotong.
Dalam dunia perpajakan, pemotongan dan pemungutan memiliki penggunaan dan arti yang berbeda. Istilah pemotongan dipakai untuk pengenaan PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4 ayat (2). Sedangkan, pemungutan digunakan untuk pengenaan PPh Pasal 22.
Lebih lanjut, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2021 menetapkan 2 (dua) format standar bukti potong/pungut unifikasi. Kedua format tersebut terdiri dari Formulir BPBS dan Formulir BPNR. Lantas, apa sebenarnya Formulir PPh BPBS dan BPNR itu? Yuk, mari kita simak informasi selengkapnya.
Formulir PPh BPBS dan BPNR dalam PER-24/PJ/2021
Terkait dengan penerbitan peraturan baru oleh Pemerintah mengenai penggunaan bukti potong/pungut unifikasi Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2021.
Dalam Pasal 2 ayat (2) PER-24/PJ/2021 disebutkan bahwa terdapat 2 (dua) bentuk bukti potong unifikasi, yaitu bukti pemotongan/pemungutan unifikasi berformat standar dan dokumen yang dipersamakan dengan bukti pemotongan/pemungutan unifikasi.
Kemudian, merujuk pada Pasal 4 ayat (1) PER-24/PJ/2021 terdapat 2 (dua) bentuk bukti pemotongan/pemungutan unifikasi berformat standar. Pertama, berupa bukti pemotongan/pemungutan PPh Pasal 15, PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 22, dan PPh Pasal 23 (Formulir BPBS). Kedua, berupa bukti pemotongan PPh Pasal 26 dan PPh Pasal 4 ayat (2) bagi Wajib Pajak Luar Negeri (BPNR).
Satu bukti potong/pungut berformat standar yang dibuat oleh pemotong/pemungut hanya bisa digunakan untuk satu pihak yang dipotong/dipungut, satu kode objek pajak, dan satu masa pajak saja.
Jika dalam satu masa pajak terdapat dua transaksi atau lebih dengan pihak yang sama dan dengan kode objek yang sama, maka pemotong/pemungut pajak cukup membuat satu bukti potong/pungut unifikasi berformat standar.
Ringkasnya, bukti pemotongan/pemungutan unifikasi berformat standar yang menggunakan Formulir BPBS ditunjukkan untuk PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasa 15, PPh Pasal 22, dan PPh Pasal 23. Sedangkan, Formulir BPNR ditunjukkan untuk PPh Pasal 26 dan PPh Pasal 4 ayat (2) bagi WPLN. Adapun, Formulir BPBS dan Formulir BPNR tercantum dalam Lampiran A PER-24/PJ/2021.
Baca juga Apa Itu Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda?
Informasi Tercantum Dalam Bukti Potong/Pungut Berformat Standar
Merujuk pada Pasal 4 ayat (2) PER-24/PJ/2021, secara umum bukti potong/pungut berformat standar harus memuat informasi berikut ini:
- Nomor bukti potong/pungut unifikasi berformat standar
- Jenis pemotongan/pemungutan PPh
- Identitas pihak yang dipotong meliputi NIK, NPWP, atau TIN beserta nama pihak tersebut
- Kode objek pajak
- Dasar pengenaan pajak, tarif, dan jumlah PPh yang dipotong/dipungut/ditanggung pemerintah
- Masa dan tahun pajak
- Dokumen yang digunakan menjadi dasar pemotongan/pemungutan PPh
- Identitas pemotong/pemungut PPh meliputi NPWP, nama pemotong/pemungut, dan nama penandatangan
- Tanggal bukti potong/pungut unifikasi berformat standar yang ditandatangani
- Kode verifikasi.
Adapun, yang menjadi pembeda ialah pada bukti potong/pungut unifikasi untuk PPh Pasal 15, PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 22, dan PPh Pasal 23 (Formulir BPBS) harus memuat setidaknya identitas Wajib Pajak yang dipotong/dipungut berupa NPWP, NIK, beserta nama.
Sedangkan, pada bukti potong/pungut unifikasi untuk PPh Pasal 26 dan PPh Pasal 4 ayat (2) bagi WPLN (Formulir BPNR) harus memuat setidaknya identitas penerima penghasilan berupa TIN, taxepayer’s name, address, country, passport number, date of birth, dan KITAS/KITAP number.
Kondisi Tertentu Pembuatan Bukti Potong/Pungut PPh
Jika tidak terdapat pemotongan/pemungutan PPh, maka bukti potong/pungut tidak perlu dibuat. Namun, terdapat beberapa kondisi transaksi yang meskipun tidak dipotong/dipungut PPh, tetap harus dibuatkan bukti potong/pungut.
Kondisi-kondisi tersebut antara lain PPh yang dipotong/dipungut nihil karena adanya Surat Keterangan Bebas (SKB), transaksi dilakukan dengan Wajib Pajak yang mempunyai Surat Keterangan PP No. 23 Tahun 2018, PPh Pasal 26 dipotong nihil, karena adanya Surat Keterangan Domisili, PPh yang dipotong/dipungut ditanggung pemerintah, dan PPh yang dipotong/dipungut memperoleh fasilitas PPh sesuai ketentuan perpajakan.
Selain itu, bukti potong/pungut juga harus dibuat atas pemotongan atau pemungutan PPh yang dilakukan dengan menggunakan BPN, SSP, atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan SSP.
Baca juga Kewajiban SPT Masa PPN bagi Pengusaha Kena Pajak
5 Dokumen yang Dipersamakan dengan Bukti Potong/ Pungut Unifikasi
Selain menggunakan bukti potong/pungut yang sudah terstandar, terdapat 5 (lima) dokumen yang dipersamakan dengan bukti potong/pungut unifikasi. Pertama, dokumen yang digunakan pemotong/pemungut untuk memotong PPh berupa penghasilan bunga deposito, tabungan, diskonto SBI, dan jasa giro.
Kedua, dokumen yang digunakan pemotong/pemungut untuk memotong PPh atas diskonto Surat Perbendaharaan Negara (SPN) dan bunga SBN berjangka waktu lebih dari 12 bulan. Ketiga, dokumen yang digunakan untuk memotong PPh atas surat berharga jangka pendek yang diperdagangkan dalam pasar uang.
Keempat, dokumen yang digunakan untuk memotong PPh atas transaksi penjualan bukan saham pendiri di bursa efek, penjualan saham milik perusahaan modal ventura tidak di bursa efek, serta tambahan PPh atas kepemilikan saham pendiri saat penawaran umum perdana.
Kelima, penghasilan lain yang menggunakan dokumen yang dipersamakan dengan bukti potong/pungut PPh.
Adapun, dokumen yang dipersamakan dengan bukti potong/pungut unifikasi bisa berupa dokumen buku tabungan, rekening koran, rekening efek, rekening custodian, dan dokumen-dokumen lainnya yang setara. Dokumen yang dipersamakan juga bisa berupa dokumen kertas atau elektronik.
Dokumen-dokumen tersebut bisa dipersamakan dengan bukti potong-pungut unifikasi apabila memuat nama pihak yang dipotong, nomor unik transaksi terkait dengan penghasilan yang dilakukan pemotongan/pemungutan, serta jumlah PPh yang dipotong/dipungut.
Kemudian, dalam membuat bukti potong/pungut unifikasi, pihak yang dipotong/dipungut harus mencantumkan identitas berupa NIK atau NPWP untuk Wajib Pajak Dalam Negeri. Sementara, bagi Wajib Pajak Luar Negeri dapat mencantumkan Tax Identification (TIN) atau identitas perpajakan lainnya.









