Jagat maya tengah dihebohkan dengan viralnya kasus tumbler milik penumpang Kereta Api Indonesia (KAI) yang hilang usai tertinggal di gerbong wanita. Ramai beredar kabar bahwa insiden tersebut berujung pada pemecatan seorang pegawai. Namun, KAI membantah informasi ini dan memastikan bahwa perusahaan masih menelusuri detail kejadian untuk mencari duduk perkaranya.
Di balik kehebohan ini, tumbler kembali menjadi simbol gaya hidup ramah lingkungan. Banyak orang memilih menggunakan tumbler untuk mengurangi sampah plastik, khususnya botol minuman sekali pakai.
Siapa sangka, jauh sebelum tumbler populer, botol plastik pernah mendominasi konsumsi harian masyarakat. Bahkan, air minum dalam kemasan sempat dikenai pajak barang mewah.
Baca Juga: Harga Internet Rakyat Hanya Rp100.000 per Bulan, Apakah Masih Kena Pajak?
Air Kemasan Pernah Masuk Daftar Barang Mewah
Air minum dalam kemasan (AMDK) pernah menjadi objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Sejak tahun 1991, air minum kemasan termasuk dalam kelompok barang mewah sesuai KMK 1183/KMK.04/1991.
Dalam beleid tersebut, penyerahan barang kena pajak yang tercantum pada Lampiran I dikenai PPnBM dengan tarif 10%. Salah satu kelompok barang yang masuk kategori mewah saat itu adalah minuman tanpa alkohol yang dibotolkan atau dikemas, termasuk air mineral alam maupun buatan.
Kebijakan ini berlaku hingga akhir 1990-an. Memasuki 2001, air minum kemasan secara resmi dikeluarkan dari daftar objek PPnBM sebagaimana tercantum dalam KMK 570/KMK.04/2000. Perubahan pola konsumsi masyarakat dan perkembangan ekonomi menjadi beberapa alasan pemerintah menyesuaikan kembali definisi barang yang tergolong mewah.
Saat ini, ketentuan barang mewah selain kendaraan bermotor mengacu pada PMK No. 96 Tahun 2021 yang telah disesuaikan dengan PMK No. 15 Tahun 2023. Barang yang dikenai PPnBM kini mencakup tujuh kelompok, antara lain:
- Hunian mewah senilai Rp30 miliar atau lebih.
- Balon udara, pesawat tanpa penggerak, serta helikopter tertentu.
- Senjata api untuk penggunaan non-negara.
- Kapal pesiar dan yacht di luar kepentingan negara, angkutan umum, atau usaha pariwisata.
Baca Juga: Implementasi PMK 131/2024: Tarif Baru PPN untuk Barang Mewah di 2025
Botol Plastik Sempat Diusulkan Menjadi Objek Cukai
Selain sempat dikenai PPnBM, botol plastik juga pernah diusulkan sebagai objek cukai. Inisiatif yang dicanangkan pada 2016 ini merupakan bagian dari strategi ekstensifikasi untuk memperluas basis penerimaan negara.
Kepala Kepabeanan dan Cukai BKF Kementerian Keuangan kala itu, Nasrudin Joko Suryono, menyampaikan bahwa pemerintah sempat mengkaji pengenaan cukai atas kemasan plastik berbentuk botol minuman.
Tarifnya belum ditentukan, namun skema yang dipertimbangkan adalah tarif spesifik, yakni nominal tertentu per botol. Ia menekankan bahwa tarifnya tidak akan terlalu tinggi.
Upaya ini muncul dengan berbagai alasan, di antaranya:
- Dampak lingkungan, mengingat sampah plastik membutuhkan waktu hingga 100 tahun untuk terurai, sehingga berpotensi mencemari lingkungan dalam jangka panjang.
- Konsumsi plastik meningkat, di mana kebutuhan plastik nasional kala itu diperkirakan naik 6,6%, dari 3 juta ton pada 2015 menjadi 3,2 juta ton. Angka ini bahkan lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi.
- Aspek kesehatan. Cukai pada botol plastik diharapkan dapat menekan konsumsi minuman manis dalam kemasan.
Beberapa negara seperti Ghana, Hungaria, dan India juga sempat menerapkan pungutan serupa. Ghana bahkan mengenakan tarif hingga 10% sebagai upaya menekan pencemaran lingkungan akibat plastik.









