Penduduk Indonesia yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objek objektif sebagai wajib pajak menurut Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan serta aturan turunannya, wajib melaksanakan kewajiban perpajakannya. Seperti mendaftarkan diri memperoleh NPWP, menghitung, dan memperhitungkan kembali pajak terutang, membayar pajak terutang, dan melaporkan pajak yang sebelumnya telah disetorkan sebagai bentuk pertanggungjawaban dari wajib pajak.
Pajak yang disetorkan tersebut dialokasikan oleh negara sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, membantu pemulihan ekonomi Indonesia setelah masa pandemi Covid-19. Membiayai rumah tangga negara serta melaksanakan program pembangunan nasional yang berkesinambungan. Pembayaran pajak merupakan salah satu wujud implementasi pelaksanaan kewajiban perpajakan dari wajib pajak dengan tidak mendapatkan imbalan atau kontraprestasi secara langsung.
Pajak yang dibayarkan tersebut diklasifikasikan menjadi dua golongan, yang pertama pembayaran pajak yang berdasarkan pada subjeknya, yakni Pajak Penghasilan (PPh) serta yang kedua pembayaran pajak yang bergantung pada objeknya, seperti PPN dan PPnBM. Kedua hal tersebut merupakan suatu hal yang berbeda dari dasar pengenaannya.
Dalam hal wajib pajak memperoleh penghasilan dari usaha/pekerjaan bebas, undian, penghargaan atau kegiatan lain, maka akan dikenakan PPh berdasarkan pengelompokan PPh yakni PPh pasal 21/26, pasal 22, pasal 23/26, pasal 24, pasal 15, dan PPh Final 4 ayat (2) sedangkan, pembayaran pajak atas objek pajak dalam hal ketika melakukan transaksi penjualan dan/atau pembelian Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP). Jadi pengenaan pajak atas objek tersebut tidak melibatkan siapa yang menjadi subjek pajaknya.
Baca juga Mengenal Perbedaan Sanksi Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 13 UU KUP
Atas pembayaran pajak tersebut wajib dipertanggungjawabkan dalam bentuk pelaporan pajak melalui Surat Pemberitahuan masa ataupun tahunan untuk masing-masing jenis pajak yang telah disetorkan ke kas negara. SPT dikelompokkan untuk setiap jenis wajib pajak baik orang pribadi dan badan. Dimana masing-masing SPT memiliki fungsinya tersendiri.
Bagi wajib pajak badan menggunakan SPT Tahunan 1771 sedangkan wajib pajak orang pribadi menggunakan SPT Tahunan 1770 SS bagi wajib pajak orang pribadi yang memperoleh penghasilan bruto tidak lebih dari Rp 60 Juta setahun, 1770 S bagi wajib pajak yang memiliki penghasilan lebih dari satu pemberi kerja serta penghasilan bruto lebih dari Rp 60 Juta setahun dan 1770 diperuntukkan bagi wajib pajak yang memiliki usaha atau pekerja bebas.
Selain melaporkan SPT Tahunan wajib pajak juga wajib melaporkan SPT Masa untuk setiap masa pajak tujuannya untuk mempermudah pengawasan terhadap wajib pajak dalam jangka waktu tertentu. SPT masa terdiri dari SPT masa PPh, SPT masa PPN/PPnBM dan SPT masa Pemungut PPN.
Baca juga Solusi Tingkatkan Kepatuhan Pajak Tanpa Pemutihan Pajak
Seiring dengan perkembangan zaman berbagai upaya telah digencarkan pemerintah untuk memudahkan wajib pajak dalam melakukan pelaporan pajak untuk setiap masa pajak. Salah satunya pembaruan SPT masa PPh menjadi SPT masa PPh Unifikasi. SPT masa PPh Unifikasi adalah surat pemberitahuan yang digunakan untuk melaporkan 5 jenis PPh dalam satu formulir yakni PPh pasal 22, pasal 23, pasal 26, pasal 15 dan PPh final pasal 4 ayat (2).
Sehingga, mempermudah bagi pihak pemotong/pemungut pajak penghasilan, pihak pelapor pembayaran pajak yang dipotong/dipungut oleh pihak yang berkewajiban dan/atau bagi pihak yang melaporkan penyetoran sendiri PPh yang terutang serta meminimalkan biaya kertas dan biaya administrasi bagi wajib pajak dan fiskus.
Dimana implementasi dari SPT Masa Unifikasi secara nasional berlaku paling lambat masa April 2022 yang didukung oleh Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-20/PJ/2019 sebagaimana digubah menjadi PER-24/PJ/2021 tentang bentuk dan tata cara pembuatan bukti pemotongan atau pemungutan unifikasi dan penyampaian surat pemberitahuan masa pajak penghasilan unifikasi.
Pembaruan SPT Masa Unifikasi juga di ikuti dengan pembaruan bukti potong menjadi bukti potong/pungut unifikasi. Dimana pemotong/pemungut yang melakukan pemotongan/pemungutan PPh wajib membuat bukti pemotongan/pemungutan unifikasi, menyerahkannya kepada pihak yang dipotong/dipungut, dan melaporkannya kepada Direktorat Jenderal Pajak menggunakan SPT Masa Unifikasi.
Formulir bukti pemotongan/pemungutan berupa formulir kertas atau dokumen elektronik yang dibuat dan disampaikan melalui Aplikasi e-Bunifikasi. Anda dapat menggunakan e-Bunifikasi dari Pajakku. Dengan layanan pembuatan Bukti Potong Unifikasi Pasal 4(2), 15, 22, 23 dan 26 berdasarkan PER 23/PJ/2020. Anda dapat mengupload bukti potong secara bulk atau jumlah yang banyak.
e-Bunifikasi Pajakku memiliki berbagai fitur yang memudahkan wajib pajak dalam mengelola bukti potong di antaranya ialah aplikasi berbasis cloud, fitur multi NPWP, multi user, user role, import CSV, impor XLS, pembuatan bukti potong PPh unifikasi non-resident, pembuatan kode billing, pembayaran pajak, pelaporan SPT, summary, hingga cetak bukti potong dan kirim dalam jumlah yang banyak.
e-Bunifikasi Pajakku pun telah terintegrasi Angka Pengenal Impor (API). e-Bunifikasi Pajakku memiliki sejumlah keuntungan, yaitu
- Efisiensi waktu dan mudah dalam proses pengiriman Bukti Potong dari SPT ke DJP
- Mengurangi Human Error
- Verifikasi terhadap Bukti Potong dilakukan secara otomatis dan massal dalam 1 kali kirim
- Rekapitulasi-Rekonsiliasi-Monitoring data Bukti potong pajak atas transaksi yang dilakukan dengan cepat dan mudah
- Pembagian hak akses secara mendetail
- Mengelola bupot unifikasi secara mudah dan realtime
- Dapat digunakan di berbagai perangkat.
Dengan adanya e-Bunifikasi Pajakku, diharapkan mampu memberikan kemudahan bagi wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya serta mempermudah fiskus melakukan pengawasan pajak.









