Haruskah Beralih ke Pembukuan Pasca Pajak UMKM Berlalu?

Peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dalam perekonomian nasional tak dapat disangkal. Untuk mendukung pertumbuhan dan kepatuhan perpajakan sektor ini, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2018 yang memberikan kemudahan melalui penerapan tarif PPh Final sebesar 0,5% atas omzet bruto. Kebijakan ini disambut baik oleh pelaku usaha karena menyederhanakan administrasi dan beban pajak.

Namun, skema tarif final tersebut bersifat sementara, dengan masa berlaku yang berbeda tergantung bentuk badan usaha. Setelah periode tersebut berakhir, pelaku UMKM diwajibkan untuk beralih ke sistem pembukuan penuh. Transisi ini menghadirkan konsekuensi baru yang memerlukan kesiapan administratif, teknologi, dan pemahaman akuntansi yang memadai.

Tinjauan Regulasi: PP No. 23 Tahun 2018

PP 23/2018 menggantikan PP 46/2013 dan bertujuan mendorong kepatuhan sukarela melalui skema pajak yang sederhana. Berikut masa berlaku tarif final 0,5%:

  • 7 tahun untuk Wajib Pajak Orang Pribadi
  • 4 tahun untuk Koperasi, Firma, dan CV
  • 3 tahun untuk Perseroan Terbatas (PT)

Setelah masa berlaku berakhir, wajib pajak tidak lagi dapat menggunakan tarif final dan harus menghitung pajak berdasarkan penghasilan neto melalui sistem pembukuan, sesuai tarif progresif dalam Pasal 17 UU PPh, yakni mulai dari 5% hingga 35%.

Konsekuensi Habisnya Masa Tarif Final

Berakhirnya masa tarif final mengharuskan UMKM untuk menyusun pembukuan formal. Hal ini meliputi:

  • Pencatatan seluruh transaksi usaha secara sistematis
  • Penyusunan laporan keuangan
  • Penghitungan penghasilan kena pajak berdasarkan laba bersih

Sistem ini menuntut pemahaman lebih terhadap akuntansi, perpajakan, dan penggunaan perangkat digital, yang sebelumnya tidak menjadi fokus UMKM pengguna skema tarif final.

Baca juga: Strategi Perpajakan UMKM di Tahun 2025: Pilihan Antara NPPN dan Pembukuan

Tantangan Transisi Pembukuan bagi UMKM

Transisi ke sistem pembukuan bukan tanpa hambatan. Beberapa tantangan umum yang dihadapi pelaku UMKM antara lain:

  1. Kurangnya Literasi Akuntansi
    Banyak pelaku UMKM belum memahami prinsip akuntansi dasar, sehingga kesulitan menyusun laporan keuangan yang sesuai standar.
  2. Keterbatasan SDM
    UMKM umumnya tidak memiliki staf khusus keuangan. Pemilik usaha merangkap sebagai pencatat transaksi tanpa keahlian akuntansi.
  3. Biaya Tambahan
    Investasi dalam pelatihan, tenaga ahli, atau pembelian perangkat lunak akuntansi dapat menjadi beban tambahan.
  4. Kebiasaan Lama
    Pelaku UMKM terbiasa menggunakan pencatatan manual dan informal. Perubahan ke sistem digital memerlukan waktu adaptasi.
  5. Keterbatasan Akses Teknologi
    UMKM di wilayah terpencil belum tentu memiliki infrastruktur dan perangkat yang mendukung pembukuan berbasis digital.
  6. Efisiensi Operasional
    Kewajiban pembukuan dinilai menyita waktu dan mengganggu operasional harian usaha berskala kecil.
  7. Ketakutan terhadap Pemeriksaan Pajak
    Pembukuan yang terstruktur sering dikaitkan dengan risiko pemeriksaan pajak, yang menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi pelaku usaha.

Peluang dan Manfaat Pembukuan bagi UMKM

Meskipun menantang, sistem pembukuan menyimpan banyak manfaat jangka panjang:

Peluang yang Dihasilkan

  • Akses Pembiayaan Lebih Mudah: Pembukuan rapi menjadi syarat utama dalam pengajuan kredit perbankan atau investor.
  • Meningkatkan Kredibilitas Usaha: Memberikan kesan profesional dan transparan dalam hubungan bisnis.
  • Dukungan Ekspansi Usaha: Data keuangan yang akurat memudahkan evaluasi dan strategi ekspansi.
  • Arah Menuju Digitalisasi UMKM: Pembukuan mempercepat adopsi sistem keuangan berbasis digital.

Manfaat Praktis

  • Mengontrol Arus Kas: Pelaku usaha lebih mudah memantau pengeluaran dan pemasukan.
  • Meningkatkan Akurasi Pelaporan Pajak: Mengurangi risiko salah hitung dan denda administrasi.
  • Mencegah Kecurangan Internal: Transparansi transaksi membantu menghindari penyimpangan dana.
  • Dasar Pengambilan Keputusan: Laporan keuangan dapat digunakan sebagai bahan evaluasi dan perencanaan usaha.

Baca juga: Ketahui Aturan Pembukuan dengan Stelsel Kas dalam PMK 81/2024

Rekomendasi dan Strategi Adaptasi

Agar proses transisi berlangsung efektif, dibutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak:

  • Pemerintah perlu memperkuat sosialisasi tentang berakhirnya masa PP 23/2018 serta menyediakan pelatihan akuntansi dasar secara luas.
  • DJP dan Kementerian Koperasi dapat menggandeng universitas, organisasi profesi, atau lembaga keuangan untuk mengadakan program edukasi berkelanjutan.
  • Pelaku UMKM disarankan mulai menggunakan aplikasi akuntansi sederhana, baik versi gratis maupun berbayar, untuk memperkenalkan sistem pembukuan secara bertahap.
  • Konsultasi dengan profesional pajak atau pendamping UMKM juga menjadi langkah bijak agar proses adaptasi tidak menimbulkan kesalahan administratif.
  • Kebijakan transisi seperti insentif tarif pajak yang lebih rendah atau relaksasi pemeriksaan perlu dipertimbangkan pemerintah untuk mendorong kepatuhan sukarela.

Kesimpulan

PP 23 Tahun 2018 telah memberikan stimulus penting bagi UMKM melalui penerapan PPh Final sebesar 0,5%. Namun, skema tersebut bersifat sementara dan mewajibkan UMKM beralih ke sistem pembukuan penuh setelah masa berlakunya habis. 

Perubahan ini membawa tantangan dari sisi literasi keuangan, SDM, biaya, dan kesiapan teknologi. Di sisi lain, sistem pembukuan juga menawarkan berbagai manfaat, mulai dari peningkatan kredibilitas hingga kemudahan akses ke pembiayaan.

Untuk memastikan transisi berjalan lancar dan UMKM tidak tertinggal dalam ekosistem perpajakan digital, perlu adanya dukungan menyeluruh dari pemerintah dan masyarakat. Dengan pendekatan yang tepat, perubahan ini dapat menjadi momentum transformasi UMKM menuju tata kelola usaha yang lebih profesional dan berkelanjutan.

*) Penulis merupakan penerima beasiswa dari Pajakku. Seluruh isi tulisan ini disusun secara mandiri oleh penulis dan sepenuhnya merupakan opini pribadi. 

Baca juga Berita dan Artikel Pajakku lainnya di Google News