Pemerintah tengah menyiapkan strategi untuk menghadapi penerapan pajak minimum global (global minimum tax/GMT) yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025. Salah satu opsi yang dipertimbangkan adalah pemberian insentif baru berupa subsidi tunai (cash subsidy), refundable tax credit, atau nonrefundable tax credit.
“Kita masih punya waktu untuk melihat mana yang paling simpel [dari ketiga opsi tadi] untuk implementasinya,” ujar Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal, Febrio Kacaribu, dikutip Selasa (23/9/2025).
Opsi insentif ini muncul karena skema yang berlaku saat ini, seperti tax holiday, tidak sesuai dengan aturan GMT sebagaimana diatur dalam PMK 136/2024. Selain itu, insentif yang dipilih nantinya diharapkan dapat selaras dengan kebijakan negara mitra dagang maupun mitra investasi.
“Jangan sampai pilihannya terlalu banyak. Kita pilih yang paling sederhana dan tetap terhubung dengan negara mitra perdagangan serta investasi,” tambah Febrio.
Sebagai informasi, cash subsidy merupakan subsidi tunai untuk investasi di sektor-sektor strategis. Sedangkan, refundable tax credit adalah kredit pajak yang dapat dikembalikan jika jumlahnya lebih besar dari kewajiban pajak.
Baca Juga: PMK 136/2024 Diakui OECD, Indonesia Resmi Terapkan IIR dan DMTT
Adapun nonrefundable tax credit merupakan kredit pajak yang hanya bisa digunakan untuk mengurangi pajak terutang, tapi tidak bisa dikembalikan. Ketiga subsidi tersebut bertujuan untuk mempertahankan daya saing.
Saat ini, Kementerian Keuangan tengah melakukan perbandingan dengan insentif yang sudah diterapkan di negara lain. Tujuannya agar Indonesia tetap kompetitif dalam menarik investasi.
Namun, Febrio menekankan bahwa insentif pajak bukanlah satu-satunya faktor utama. Iklim usaha yang sehat juga memegang peran penting.
“Kalau iklim usahanya tidak bersaing, insentif perpajakan saja tidak cukup,” jelasnya.
Untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif, pemerintah pun telah melakukan berbagai langkah, di antaranya:
- Penyederhanaan perizinan melalui PP 28/2025.
- Kemudahan pengurusan sertifikat tingkat komponen dalam negeri (TKDN) lewat Permenperin 35/2025.
Langkah ini diharapkan dapat membuat investasi lebih terprediksi dengan peta jalan (roadmap) yang jelas, khususnya untuk proyek berbasis TKDN.
Baca Juga: Perkembangan Pajak Minimum Global (GMT) di Indonesia
Latar Belakang Penerapan GMT di Indonesia
Sebagai informasi, Indonesia akan mulai mengenakan top-up tax berdasarkan income inclusion rule (IIR) dan domestic top-up tax (DMTT) pada awal 2025. Ketentuan ini berlaku bagi entitas dalam grup perusahaan multinasional dengan omzet tahunan minimal €750 juta dalam setidaknya dua dari empat tahun pajak terakhir.
Adopsi GMT menjadi tonggak baru dalam upaya memerangi praktik base erosion and profit shifting (BEPS), yaitu strategi perusahaan multinasional untuk mengalihkan keuntungan ke negara dengan tarif pajak rendah.
Sebelumnya, Indonesia sudah terlibat dalam penyusunan rencana aksi BEPS yang digagas OECD. Bahkan, sejumlah langkah sudah dilakukan, seperti:
- memperbarui perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) melalui Multilateral Instrument (MLI),
- mewajibkan dokumentasi transfer pricing berupa master file, local file, dan country by country reporting (CbCR),
- serta menerapkan anti abuse provision dalam aturan domestik.
Agar lebih mudah dipahami, berikut roadmap penerapan GMT di Indonesia:
- 2025: mulai dikenakan income inclusion rule (IIR) dan domestic top-up tax (DMTT).
- 2026: aturan undertaxed payment rule (UTPR) baru akan berlaku.
Selain insentif pajak, pemerintah juga menekankan pentingnya menciptakan iklim usaha yang sehat dan kompetitif. Berbagai kebijakan telah ditempuh, seperti penyederhanaan perizinan melalui PP 28/2025 serta kemudahan pengurusan sertifikat tingkat komponen dalam negeri (TKDN) lewat Permenperin 35/2025.









