Penerimaan pajak hingga Oktober 2025 tercatat mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyebut salah satu faktor utama yang menyebabkan kontraksi tersebut adalah lonjakan restitusi.
Dirjen Pajak Bimo Wijayanto mengungkap bahwa kebijakan Tarif Efektif Rata-Rata (TER) yang mulai diberlakukan sejak awal 2024 ternyata turut menyumbang lonjakan restitusi tersebut.
Penerimaan Pajak Melambat, Realisasi Baru 70,2% Target
Per Oktober 2025, realisasi penerimaan pajak neto mencapai Rp1.459,03 triliun, atau 3,86% lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun 2024. Angka tersebut baru memenuhi 70,2% dari target dalam APBN 2025. Kondisi ini menunjukkan perlambatan yang cukup signifikan pada kontribusi penerimaan negara dari sektor perpajakan.
Dari sisi per jenis pajak, hampir seluruh kelompok pajak besar mencatat penurunan.
- PPh Badan: Rp237,56 triliun, turun 9,6% (yoy).
- PPh Orang Pribadi & PPh 21: Rp191,66 triliun, turun 12,8% (yoy).
- PPh Final, PPh 22 & PPh 26: Rp275,57 triliun, turun 0,1% (yoy).
- PPN & PPnBM: Rp556,61 triliun, turun 10,3% (yoy).
Baca Juga: Ekonomi Tumbuh 5,04% pada Kuartal III/2025, Konsumsi Rumah Tangga Masih Terjaga
Lonjakan Restitusi Jadi Pemicu Kontraksi Penerimaan
Lebih lanjut, Bimo menjelaskan bahwa lonjakan restitusi merupakan salah satu penyebab utama melemahnya penerimaan pajak. Hingga Oktober 2025, nilai restitusi yang dibayarkan negara mencapai Rp340,52 triliun, melonjak 36,4% dari tahun sebelumnya.
Peningkatan restitusi tersebut didominasi oleh:
- PPh Badan: Rp93,80 triliun (tumbuh 80%).
- PPN Dalam Negeri: Rp238,86 triliun (tumbuh 23,9%).
- Jenis pajak lainnya: Rp7,87 triliun (tumbuh 65,7%).
Tingginya restitusi membuat penerimaan neto tergerus meskipun penerimaan bruto masih tumbuh. Hal ini menciptakan tekanan signifikan pada total setoran pajak nasional.
Kebijakan TER Ikut Tekan PPh Orang Pribadi dan PPh 21
Selain restitusi, kebijakan TER turut berkontribusi terhadap kontraksi penerimaan, khususnya pada PPh Orang Pribadi dan PPh Pasal 21. TER sebenarnya diberlakukan untuk menyederhanakan penghitungan pajak dibandingkan tarif progresif Pasal 17 UU PPh.
Namun, implementasinya pada awal 2024 justru memicu meningkatnya kasus lebih bayar. Hal ini lantas membuat DJP perlu mengembalikan kelebihan tersebut melalui restitusi.
Dampaknya terlihat jelas pada data Kemenkeu:
- Penerimaan PPh OP dan PPh 21 tercatat Rp191,66 triliun, turun 12,8% year on year.
Dengan demikian, TER tidak hanya menekan setoran pajak langsung, tetapi juga memperbesar nilai restitusi yang harus dibayarkan negara.
Baca Juga: Bakal Dievaluasi, Begini Skema Tarif Efektif Rata-Rata (TER) PPh 21 Saat Ini
DPR Minta Evaluasi TER, DJP Siap Lakukan Normalisasi
Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, meminta DJP untuk merasionalisasi kebijakan TER agar tidak terus menyebabkan kontraksi penerimaan. Ia menekankan perlunya penyesuaian agar efektivitas TER tetap terjaga tanpa mengurangi potensi penerimaan pajak.
Menanggapi hal tersebut, Bimo menjelaskan bahwa DJP akan melakukan tinjauan ulang atas data penerapan TER serta menyiapkan langkah normalisasi perhitungan. Selain itu, DJP juga akan mempelajari kemungkinan realokasi deposit per jenis pajak untuk menjaga stabilitas penerimaan.
Restitusi Tinggi Tetap Diharapkan Gerakkan Ekonomi
Meski menjadi faktor penekan penerimaan, restitusi tetap dipandang memiliki dampak positif terhadap perekonomian. Dana yang dikembalikan kepada Wajib Pajak akan menambah likuiditas di sektor swasta dan masyarakat, sehingga diharapkan dapat meningkatkan aktivitas ekonomi.
“Kas yang kembali ke masyarakat diharapkan membuat geliat ekonomi meningkat,” ujar Bimo.
Dengan evaluasi kebijakan TER, pengendalian restitusi, serta optimalisasi penerimaan dari berbagai jenis pajak, pemerintah diharapkan mampu menjaga keseimbangan antara penerimaan negara dan kelancaran aktivitas ekonomi nasional.









