Pertanyaan “bolehkah Wajib Pajak merekam pertemuan dengan petugas pajak?” kembali ramai dibicarakan usai seorang kuasa Wajib Pajak, Fungsiawan, mengajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Gugatan tersebut menyoroti Pasal 34 ayat (1) dan (2) UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang selama ini ditafsirkan sebagai larangan bagi Wajib Pajak untuk merekam pertemuan dengan fiskus.
Isi Pasal 34 UU KUP sendiri berbunyi:
- Pejabat dilarang memberitahukan informasi Wajib Pajak kepada pihak lain dalam rangka jabatan atau pekerjaannya.
- Larangan yang sama berlaku bagi tenaga ahli yang ditunjuk Direktur Jenderal Pajak.
Larangan tersebut memang kerap menjadi dilema di lapangan. Saat proses klarifikasi, tanggapan atas SP2DK (Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan), hingga pemeriksaan pajak, tidak sedikit petugas pajak yang menolak perekaman dengan alasan tidak ada aturan yang secara eksplisit memperbolehkannya. Namun, benarkah demikian?
Tidak Ada Larangan Eksplisit dalam UU
Fungsiawan dalam gugatannya menegaskan, tidak ada satu pun ketentuan dalam UU KUP yang melarang Wajib Pajak merekam audio atau video selama berinteraksi dengan pejabat pajak.
Ia menilai, tafsir DJP yang melarang perekaman merupakan penafsiran berlebihan terhadap pasal yang sejatinya hanya mengatur soal kerahasiaan Wajib Pajak oleh pejabat pajak, bukan pembatasan hak wajib pajak sendiri.
Secara hukum, penafsiran ini memang menimbulkan pertanyaan. Pasal 34 ayat (1) UU KUP melarang pejabat pajak memberitahukan rahasia Wajib Pajak kepada pihak lain, sedangkan ayat (2) memperluas larangan tersebut kepada tenaga ahli yang ditunjuk DJP. Tidak ada kalimat yang menyebutkan larangan perekaman oleh wajib pajak atau kuasanya.
Dengan kata lain, sang Pemohon menilai larangan tersebut tidak bersumber dari norma hukum, melainkan dari praktik administratif DJP yang belum memiliki dasar peraturan perundang-undangan yang kuat.
Baca Juga: Bukan Kesalahan Petugas, Ini Biang Kerok Tak Tercapainya Target Pajak
Justru DJP Wajibkan Perekaman dalam Proses Tertentu
Di sisi lain, DJP justru memiliki aturan internal yang mewajibkan petugas pajak untuk melakukan perekaman dalam kondisi tertentu. Hal ini tertuang dalam Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-12/PJ/2016.
Melalui aturan tersebut, DJP secara tegas mengatur bahwa dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan (PAHP):
- Petugas harus melakukan perekaman audio dan/atau visual.
- Petugas wajib memberitahu wajib pajak bahwa pertemuan tersebut direkam.
- Rekaman menjadi bagian tidak terpisahkan dari berita acara pembahasan.
Selain itu, PER-07/PJ/2017 juga menegaskan bahwa pertemuan antara pemeriksa dan Wajib Pajak harus dilakukan di ruangan yang dilengkapi dengan alat perekam suara dan gambar.
Namun dalam praktiknya, banyak Wajib Pajak melaporkan bahwa rekaman pertemuan tak selalu tersedia. Bahkan, beberapa fiskus berdalih rekaman telah terhapus otomatis akibat sistem overwriting pada CCTV, padahal rekaman tersebut merupakan bagian dari alat bukti resmi sesuai ketentuan DJP sendiri.
Mengapa Beberapa Petugas Masih Melarang Perekaman?
Meski tidak ada larangan eksplisit, sebagian petugas masih menolak perekaman dengan beberapa alasan:
- Kerahasiaan Data. Pertemuan pajak sering membahas informasi sensitif. Petugas khawatir rekaman tersebut melanggar UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).
- Risiko Penyalahgunaan. Rekaman dikhawatirkan bisa dipotong, disebarkan tanpa konteks, atau digunakan untuk pemerasan dan pencemaran nama baik.
- Etika dan Suasana Diskusi. Perekaman dianggap dapat membuat pihak yang direkam menjadi tidak nyaman atau kurang terbuka saat berdiskusi.
- Prosedur Internal KPP
Beberapa kantor pajak juga merujuk pada surat dinas seperti Nota Dinas Nomor ND-1/PJ/PJ.09/2024, yang menekankan perlunya izin sebelum melakukan perekaman, meskipun surat tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat publik.
Baca Juga: DJP Periksa Eksportir CPO yang Diduga Lakukan Under-Invoicing
Apakah Wajib Pajak Berhak Merekam?
Secara prinsip, ya, Wajib Pajak berhak merekam. Tidak adanya larangan eksplisit dalam UU KUP menandakan Wajib Pajak bisa melakukannya, selama hal itu tidak mengganggu jalannya diskusi, dilakukan dengan itikad baik, serta tidak melanggar hukum lainnya.
Bahkan, jika mengacu pada beberapa peraturan perundang-undangan lain, posisi hukum wajib pajak cukup kuat:
- UU KUP menjamin hak wajib pajak untuk memperoleh penjelasan dan mengajukan keberatan. Rekaman bisa menjadi alat bantu dokumentasi dan pembuktian.
- UU Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) mengandung semangat transparansi antara warga negara dan institusi publik.
- UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menyebutkan bahwa rekaman elektronik dapat menjadi alat bukti sah, selama diperoleh secara legal.
- Prinsip audi alteram partem dalam hukum acara mengharuskan adanya kesempatan bagi semua pihak untuk mengajukan bukti dan pembelaan.
Manfaat Rekaman dalam Pertemuan Pajak
Jika dilakukan dengan cara yang benar, perekaman bisa membawa manfaat besar, antara lain:
- Akuntabilitas dua arah: Wajib Pajak dan petugas sama-sama terlindungi.
- Dokumentasi teknis: Membantu mengingat detail pembahasan yang kompleks.
- Alat bukti saat sengketa: Rekaman bisa digunakan dalam proses keberatan atau banding.
- Mencegah kesalahpahaman: Semua pihak bisa merujuk pada bukti objektif.
- Mendorong transparansi institusi: Meningkatkan kepercayaan publik terhadap DJP.
Bagaimana Cara Melakukannya Secara Etis dan Aman?
Meskipun hak merekam itu ada, etika komunikasi tetap harus dijaga. Berikut beberapa langkah yang disarankan:
- Minta izin terlebih dahulu kepada petugas dan jelaskan tujuannya secara sopan.
- Tanyakan dasar hukum jika permintaan ditolak, agar tidak menimbulkan salah paham.
- Gunakan rekaman secara terbatas, hanya untuk dokumentasi pribadi atau pembuktian hukum.
- Jangan sebarkan rekaman tanpa izin karena bisa melanggar hukum pidana maupun perdata.
- Bawa konsultan pajak atau kuasa hukum sebagai pendamping resmi agar proses lebih terjamin.









