Industri hiburan, khususnya perfilman, memainkan peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Pemutaran film, baik di bioskop maupun melalui platform digital, tidak hanya memberikan hiburan tetapi juga menjadi sumber pendapatan pajak yang signifikan. Pendapatan ini berasal dari berbagai aspek—mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi film oleh masyarakat.
Artikel ini mengupas dampak pemutaran film terhadap penerimaan pajak negara dan menjelaskan bagaimana sektor ini dapat berkontribusi terhadap kas negara melalui mekanisme perpajakan yang berlaku.
Apa Itu Industri Film?
Industri film merupakan sektor yang mencakup seluruh proses produksi, distribusi, dan komersialisasi film, baik untuk pasar domestik maupun internasional. Proses ini melibatkan banyak elemen, mulai dari aktor, kru produksi, hingga perusahaan distribusi dan penyiaran.
Baca juga: Catat! Ini Barang dan Jasa yang Tidak Terkena Tarif PPN 12% Tahun 2025
Film sebagai karya seni dan produk ekonomi memiliki siklus yang unik dari sudut pandang perpajakan. Pajak dapat timbul di setiap tahap siklus tersebut:
1. Pajak dari Produksi Film
- Pajak Penghasilan (PPh): Dikenakan kepada aktor, kru, dan pekerja lainnya sesuai UU PPh No. 36 Tahun 2008.
- Pajak Pertambahan Nilai (PPN): Dikenakan atas pembelian alat produksi dan jasa terkait, sesuai UU PPN No. 42 Tahun 2009.
- Pajak Korporasi: Dikenakan kepada perusahaan produksi film berdasarkan UU PPh No. 36 Tahun 2008.
2. Pajak dari Pemutaran Film
- Pajak Hiburan: Dikenakan atas penjualan tiket bioskop, diatur melalui Peraturan Daerah (Perda) setempat.
- PPh atas pendapatan bioskop: Mengacu pada UU PPh No. 36 Tahun 2008.
- Pajak Digital: Berlaku untuk layanan streaming seperti Netflix dan Disney+, sesuai PMK No. 48/PMK.03/2020.
3. Pajak atas Royalti dan Hak Cipta
- PPh atas royalti: Dikenakan kepada pembuat film dan studio produksi, mengacu pada UU PPh No. 36 Tahun 2008.
- Pajak atas hak distribusi: Berdasarkan UU Hak Cipta No. 28 Tahun 2014.
Baca juga: Panduan Praktis Menghitung PPN dengan Nilai Lain dan Besaran Tertentu
Dampak Pemutaran Film terhadap Penerimaan Pajak
1. Peningkatan Pendapatan dari Pajak Hiburan
Penjualan tiket bioskop berkontribusi besar pada pajak hiburan, yang dapat mencapai 10–20% dari harga tiket, tergantung kebijakan daerah. Film-film populer cenderung mendorong lonjakan penjualan tiket dan, otomatis, pendapatan pajak hiburan.
2. Pajak dari Platform Streaming Digital
Dengan pergeseran konsumsi film ke platform digital, negara kini memungut PPN atas langganan layanan digital seperti Netflix, Amazon Prime, dan Disney+. Kebijakan ini diatur dalam PMK No. 48/PMK.03/2020.
3. Kontribusi dari Industri Pendukung
- Makanan & Minuman: Penjualan di bioskop dikenakan PPN.
- Merchandise: Produk turunan film seperti mainan dan pakaian dikenakan pajak penjualan.
- Pariwisata: Film populer dapat meningkatkan kunjungan ke lokasi syuting, memberi kontribusi dari pajak hotel, restoran, dan jasa wisata.
4. Peningkatan PPh dan Pajak Korporasi
Semakin berkembang industri film, semakin besar jumlah tenaga kerja dan perusahaan yang berkontribusi pada PPh dan pajak badan. Hal ini memperkuat basis pajak negara secara langsung.
Baca juga: Cara Mudah Bayar Pajak Jasa Hiburan Tanpa Ribet
Faktor yang Mempengaruhi Kontribusi Pajak dari Film
1. Kebijakan Pajak Pemerintah
- Regulasi pajak digital, hiburan, dan royalti.
- Insentif fiskal untuk film lokal (PP No. 93 Tahun 2010).
2. Popularitas dan Performa Film
- Film laris (blockbuster) menghasilkan pajak lebih tinggi.
- Franchise populer menciptakan pemasukan jangka panjang.
- Perubahan Pola Konsumsi
- Pergeseran dari bioskop ke streaming mengubah struktur penerimaan pajak.
- Harga tiket dan biaya langganan memengaruhi pendapatan pajak.
- Pembajakan Film
- Mengurangi pendapatan resmi industri.
- Merugikan negara dari sisi pajak.
- Diatur dalam UU Hak Cipta No. 28 Tahun 2014.
Kesimpulan
Pemutaran film memberikan kontribusi nyata terhadap penerimaan pajak negara dari berbagai jalur: pajak hiburan, PPN digital, PPh individu dan korporasi, hingga pajak dari sektor pendukung.
Namun, perubahan pola konsumsi dan maraknya pembajakan memaksa negara untuk terus menyesuaikan regulasi agar tetap relevan dan responsif. Kolaborasi antara pemerintah dan pelaku industri menjadi kunci untuk memastikan bahwa ekosistem perfilman tumbuh sehat dan berkontribusi optimal terhadap kas negara.
*) Penulis merupakan penerima beasiswa dari Pajakku. Seluruh isi tulisan ini disusun secara mandiri oleh penulis dan sepenuhnya merupakan opini pribadi. Tulisan ini tidak mencerminkan pandangan resmi Pajakku maupun institusi lain yang terkait.









