Dampak Kenaikan Rasio Utang Terhadap Perekonomian Nasional

Tahun 2024 menjadi tahun yang penting bagi perkembangan politik Indonesia. Hal ini terjadi karena pada tahun 2024 telah berlangsung peristiwa akbar yang berkaitan dengan perkembangan demokrasi di Indonesia, yaitu Pemilu 2024. Pemilu yang digelar tidak hanya dilakukan untuk memilih anggota legislatif di setiap tingkatan daerah, namun juga memilih presiden dan wakil presiden. Seperti yang sudah diketahui, pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka berhasil memenangkan pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2024.

 

Dengan terpilihnya presiden dan wakil presiden baru, tentunya akan diikuti dengan kebijakan baru yang akan diimplementasi. Salah satu yang santer disebut adalah kebijakan untuk mengubah beberapa indikator dalam bidang perekonomian, seperti peningkatan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB).

 

Kebijakan ini disebut-sebut akan dilaksanakan demi memenuhi janji program makan siang gratis atau yang saat ini disebut sebagai makanan gizi gratis bagi anak sekolah. Biayanya sekitar Rp15.000 per siswa dengan total kebutuhan anggaran sekitar Rp450 triliun per tahun. 

 

Pada rancangan awal defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang dirancang oleh pemerintahan saat ini sudah mencapai batas atas 2,82% PDB atau sudah mendekati batas 3% PDB seperti yang diatur dalam Undang-Undang Keuangan Negara Pasal 12 ayat 3. Dalam aturan tersebut, disebutkan maksimal defisit anggaran adalah sebesar 3% dari PDB dengan jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari PDB. Rencana inilah yang disebut akan diubah pada masa pemerintah yang baru.

 

Proses perubahan ini disinyalir dapat berlansung dalam waktu yang relatif cepat, yaitu sekitar 2 pekan, meskipun dalam beberapa pembahasan, ada yang memerlukan waktu hingga tahunan. Media internasional juga telah menyoroti kemungkinan melonjaknya defisit dan rasio utang pemerintahan Prabowo, seperti yang ditulis Bloomberg dalam artikel berjudul “Prabowo Aims to Raise Indonesia Debt-to-GDP Ratio Toward 50%”. Dalam artikel tersebut, rasio utang akan ditingkatkan selama lima tahun ke depan hingga mendekati 50%. 

 

Baca juga: Ekonom Peringatkan Pemerintah Hati-hati Memberi Target Rasio Pajak 2025

 

 

Dampak Bagi Perekonomian Nasional

 

Ryan Kiryanto, Ekonom Senior & Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) menilai, sentimen untuk lonjakan defisit rasio utang diperburuk dengan munculnya keputusan Morgan Stanley yang menurunkan peringkat investasi di pasar modal Indonesia menjadi underweight karena salah satu pertimbangan yaitu defisit APBN 2025 yang membengkak. Morgan Stanley menilai janji Prabowo saat kampanye tentang program makan siang gratis akan menibulkan beban fiskal yang besar. Beban tersebut juga diperparah oleh nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang terus melemah beberapa pekan ini. 

 

Ryan menambahkan, pelemahan nilai tukar rupiah yang semakin dalam ini tidak hanya dipicu oleh sentimen negatif terhadap defisit rasio utang, namun juga dipengaruhi faktor eksternal seperti The Fed (Bank Sentral Amerika Serikat) yang kembali mempertahankan suku bunga acuan tetap tinggi di level 5,25%-5,50% yang menyebabkan indeks dolar AS ikut menguat. 

 

Ryan juga mengingatkan pemerintah untuk merespon laporan Morgan Stanley. Hal ini karena Morgan Stanley dinilai kompeten dengan pengalamannya yang sudah bertahun-tahun dan menjadi acuan pelaku pasar modal di seluruh dunia. Perlu ada tindak lanjut dari pemerintah terkait analisis Morgan Stanley tersebut.

 

Hal yang sama disampaikan oleh ekonom Universitas Diponegoro, Wahyu Widodo. Wahyu menilai, persoalan terkait defisit anggaran lebih berpengaruh kepada faktor psikologis dan kepercayaan pasar. Jika muncul spekulasi liar, investor akan bergerak keluar seperti yang terjadi di pasar modal.

 

Wahyu mengungkapkan, secara teoritis defisit APBN masih aman karena masih di bawah 3%, namun jika dilihat dari tahun sebelumnya, kenaikan target defisit tahun 2025 menimbulkan banyak spekulasi pasar terutama APBN di pemerintahan yang baru. Apalagi, Morgan Stanley telah merespon penurunan peringkat pasar modal Indonesia yang sudah tentu akan menjadi sentiment negatif terhadap perekoniman. 

 

Berdasarkan catatan Bank Indonesia, transaksi sepanjang 2024 hingga 13 Juni, aliran modal asing secara neto telah keluar Rp35,09 triliun di pasar SBN (Surat Berharga Negara), demikian juga di pasar saham telah keluar sebesar Rp10,40 triliun, dan aliran yang masuk senilai Rp108,90 triliun hanya ke SRBI (Sekuritas Rupiah Bank Indonesia).

 

Kepala Ekonom Bank BCA, David Sumual, mengatakan sejak awal Juni memang ada tekanan di pasar modal Indonesia yang menyebabkan dolar keluar dari Indonesia. Salah satu pemicunya adalah banyaknya investor yang mengurangi porsi kepemilikan saham di Indonesia dengan memindahkan porsi sahamnya ke negara lain. Hal inilah yang menyebabkan Morgan Stanley menurunkan peringkat pasar saham Indonesia menjadi underweight.

 

Tanggapan Pemerintah atas Peningkatan Rasio Utang

 

Pemerintah melalui Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa menyatakan pihaknya sudah memberikan pernyataan terkait Keputusan Morgan Stanley tersebut. Suharso menekankan sentiment tersebut harusnya tidak muncul karena pemerintahan Prabowo lebih mengarahkan belanja negara untuk program-program yang bersifat investasi, bukan belanja untuk memenuhi kebutuhan belanja barang yang akan menambah beban belanja rutin. 

 

Suharso menegaskan, program yang menjadi andalan presiden terpilih Prabowo ke depan sudah masuk ke dalam rentang defisit yang telah dirancang pemerintah dalam APBN 2025, seperti program makan siang gratis untuk anak sekolah dan keberlanjutan pembangunan infrastruktur di Ibu Kota Nusantara (IKN).

 

Baca juga Berita dan Artikel Pajakku lainnya di Google News