Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan mengumumkan bahwa kebijakan ekstensifikasi barang kena cukai untuk tahun 2025 akan dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Kebijakan ini sebelumnya direncanakan untuk tahun 2024, namun ditunda dan baru akan dibicarakan lebih lanjut saat pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025.
Proses Pembahasan dengan DPR RI
Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Askolani, menyatakan bahwa pembahasan terkait kebijakan cukai tersebut akan dilakukan dengan DPR RI pada Agustus hingga September 2024. Presiden Joko Widodo akan menyampaikan terlebih dahulu RUU APBN 2025 beserta nota keuangannya pada 16 Agustus 2024 mendatang. Setelah itu, pembahasan lebih lanjut akan dilakukan bersama dengan DPR untuk memutuskan kebijakan cukai apa saja yang akan diimplementasikan pada tahun 2025.
Penundaan kebijakan ini sejalan dengan terbitnya dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) Tahun Anggaran 2025, di mana pemerintah memasukkan kembali kebijakan cukai plastik dan minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) sebagai bagian dari strategi untuk mendukung penerimaan negara.
Kebijakan Cukai Plastik dan Minuman Berpemanis dalam RAPBN 2025
Sebelumnya, Pemerintah telah mengesahkan target pendapatan negara dari cukai plastik dan minuman bergula dalam kemasan (MBDK) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2024 sebesar Rp6,24 triliun. Namun, karena kebijakan ini belum terealisasi, pemerintah harus mencari sumber lain untuk menutupi kekurangan pendapatan tersebut. Target ini sebelumnya sudah ditetapkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 130 Tahun 2022 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2023, di mana cukai MBDK diproyeksikan menyumbang sekitar Rp6,2 triliun. Namun, implementasinya ditunda dan nilai target tersebut dihapus melalui Perpres 75/2023.
Selain itu, dalam Perpres Nomor 76 Tahun 2023 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2024, pendapatan cukai produk plastik dipatok sebesar Rp1,85 triliun, sementara pendapatan dari cukai MBDK ditargetkan mencapai Rp4,39 triliun. Dengan demikian, kebijakan cukai ini akan menjadi salah satu topik penting dalam pembahasan RAPBN 2025.
Baca juga: Riset Dampak Pajak Minuman Manis di Indonesia
Pertimbangan Ekonomi dan Daya Beli Masyarakat
Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa dalam menentukan target penerimaan dari cukai baru ini, pemerintah tetap memperhatikan kondisi ekonomi nasional. Kebijakan cukai ini diharapkan dapat membantu mengurangi konsumsi barang-barang yang berdampak negatif, seperti plastik sekali pakai dan minuman berpemanis yang berkontribusi terhadap masalah kesehatan dan lingkungan.
Sri Mulyani juga menjelaskan bahwa penerapan cukai pada minuman berpemanis akan lebih kompleks karena melibatkan berbagai Kementerian dan Lembaga (K/L), termasuk Kementerian Kesehatan dan Kementerian Perindustrian. Aspek kesehatan, seperti kadar gula yang dianggap aman untuk konsumsi, menjadi perhatian utama dalam pembahasan ini.
Riset Akademik tentang Tarif Cukai Plastik
Pemerintah tidak hanya sekadar menetapkan kebijakan cukai tanpa dasar, melainkan juga melakukan riset akademik untuk mendukung keputusan tersebut. Sebagai contoh, pada 17 Mei 2024 lalu, Center for Sustainability and Waste Management (CSWM) Universitas Indonesia (UI) bersama Himpunan Polimer Indonesia (HPI) dan Plastic and Rubber Indonesia (PRI) mengadakan diskusi fokus tentang masalah sampah plastik di Indonesia. Diskusi yang diadakan di Fakultas Teknik UI ini membahas bagaimana cukai dapat digunakan sebagai alat untuk mengurangi penggunaan plastik, terutama jenis plastik yang tidak dapat didaur ulang.
Dalam diskusi tersebut, dibahas bahwa plastik konvensional dikenakan cukai sebesar Rp30.000 per kilogram. Plastik dengan kandungan prodegradant dikenakan 50% tarif cukai, sedangkan plastik biodegradable tidak dikenakan tarif cukai. Kebijakan ini diharapkan dapat menekan penggunaan plastik yang sulit didaur ulang dan berbahaya bagi lingkungan.
Baca juga: Pemerintah Beri Sinyal Terapkan Cukai Makanan Olahan Siap Saji
Tarif Cukai Minuman Berpemanis: Perspektif Ekonom
Sementara itu, Ekonom dari FEB UGM, Artidiatun Adji, M.Ec., Ph.D., menilai bahwa penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) sudah seharusnya diterapkan di Indonesia. Menurutnya, penerapan cukai pada komoditas dengan permintaan inelastis seperti MBDK dapat menghasilkan biaya kesejahteraan yang rendah. Berdasarkan teori ekonomi yang dirumuskan oleh Ramsey pada tahun 1927, tarif pajak atau cukai sebaiknya diterapkan lebih tinggi pada komoditas dengan permintaan inelastis dibandingkan dengan yang memiliki permintaan elastis.
Pendapat ini didasarkan pada asumsi bahwa elastisitas penawaran tetap konstan atau sama untuk kedua jenis komoditas tersebut. Oleh karena itu, tarif cukai yang lebih tinggi diusulkan untuk diterapkan pada komoditas dengan elastisitas yang rendah, seperti MBDK, demi efisiensi dan pengurangan dampak negatif yang lebih signifikan.
Penundaan kebijakan cukai plastik dan minuman berpemanis di tahun 2024 merupakan langkah yang dipertimbangkan dengan matang oleh pemerintah, mengingat kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat. Kebijakan ini, meskipun tertunda, akan menjadi fokus dalam RAPBN 2025, dengan harapan dapat membantu meningkatkan penerimaan negara serta mengurangi konsumsi produk-produk yang berpotensi merusak lingkungan dan kesehatan masyarakat.









