Bank Indonesia secara resmi kembali mempertahankan suku bunga cuan BI-Rate pada level 6%. Dengan kata lain, BI sudah menahan suku bunga acuan 6% ini selama empat bulan terturut-turut sejak Oktober 2023.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyatakan, keputusan untuk menahan suku bunga acuan itu sebagai langkah konsistensi Bank Indonesia menjaga stabilitas ekonomi dan keuangan di tengah masih bergejolaknya ketidakpastian ekonomi secara global.
Upaya tersebut juga mejadi bentuk upaya lain yang dilakukan untuk menjaga kinerja ekonomi domestik pada tahun ini. Perry menambahkan, Keputusan untuk mempertahankan BI-Rate di level 6% berfokus pada kebijakan moneter penguatan stabilisasi nilai tukar rupiah serta langkah untuk memastikan inflasi tetap terkendali pada tahun 2024.
Baca juga: Target Pertumbuhan Ekonomi dan Tax Ratio dalam RPJMN 2025-2029 dan RKP 2025
Ketidakpastian global masih perlu direspon dengan kebijakan moneter, karena pertumbuhan ekonomi dunia masih cenderung melambat meski ketidakpastian pasar keuangan yang mereda. Secara global, ekonomi diperkirakan akan tumbuh sebesar 3% pada 2023 dan melambat menjadi 2,8% pada tahun 2024.
Kondisi ekonomi Amerika Serikat dan India menurut Perry masih tetap kuat, karena didukung dengan konsumsi rumah tangga dan investasi. Akan tetapi, salah satu negara mitra dagang Indonesia yaitu China sedang melambat seiring dengan tetap lemahnya konsumsi rumah tangga dan investasi sebagai dampak lanjutan dari pelemahan kinerja di sektor properti dan terbatasnya stimulus fiskal.
Inflasi di negara maju seperti Amerika Serikat masih terus berlanjut walaupun masih berada di atas sasaran. Sementara itu, China sudah mulai menurun, karena dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi yang melambat.
Siklus kenaikan suku bunga kebijakan moneter negara maju, termasuk Fed Funds Rate (FFR) di Amerika Serikat dinilai telah berakhir walaupun masih bertahan tinggi pada semester I 2024 dengan kemungkinan akan mulai menurun pada semester II 2024.
Untuk yield obligasi pemerintah termasuk US Treasury, menurun secara gradual tapi masih berada pada level yang tinggi sejalan dengan premi risiko yang panjang (term-premia) terkait besarnya pembiayaan fiskal dan utang pemerintah Amerika Serikat. Selain itu, tekanan penguatan nilai tukar dolar Amerika Serikat terhadap berbagai mata uang di dunia juga mulai berkurang.
Perry menekankan ke depan masih ada beberapa risiko global yang tetap perlu dicermati, karena bisa memengaruhi ketidakpastian perekonomian dunia, seperti berlanjutnya ketegangan geopolitik, pelemahan ekonomi di sejumlah negara utama, termasuk China, serta kepastian waktu dan besarnya penurunan suku bunga moneter negara maju, khususnya Fed Funds Rate.
Menurut Perry, di dalam negeri prospek pertumbuhan ekonomi masih baik dan perlu dijaga trennya. Perry memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2023 dalam kisaran 4,5-5,3%, didorong oleh konsumsi dan investasi sejalan dengan akselerasi belanja pemerintah pada akhir tahun dan percepatan penyelesaian beberapa Proyek Strategis Nasional (PSN).
Sementara itu, untuk tahun 2024 pertumbuhan ekonomi akan meningkat pada kisaran 4,7-5,5% yang didukung oleh pertumbuhan konsumsi, termasuk dampak positif penyelenggaraan pemilu, peningkatan investasi khususnya bangunan yang sejalan dengan berlanjutnya pembangunan PSN termasuk Ibu Kota Nusantara (IKN).
Salah satu faktor pendorong pertumbuhan yaitu kinerja ekspor masih belum akan menguat sebagai dampak perlambatan ekonomi global dan penurunan harga komoditas. Akan tetapi, surplus neraca perdagangan masih berlanjut pada Desember 2023 yang tercatat 3,3 miliar dolar Amerika Serikat dipengaruhi oleh kinerja ekspor komoditas utama Indonesia yang tetap kuat, seperti batu bara, biji besi, dan baja.
Baca juga: Pengaruh Kredit Perbankan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Nilai tukar rupiah hingga 16 Januari 2024 menurut Perry relative stabil, meskipun melemah 1,24% pada akhir Desember 2023. Perkembangan nilai tukar rupiah tersebut relative lebih baik dibandingkan dengan mata uang regional lainnya di Asia seperti Ringgit Malaysia, Baht Thailand dan Won Korea Selatan 1,95%, 2,83%, dan 3,24%.
Angka inflasi juga telah menurun pada Desember 2023 menjadi 2,61% (year on year) dari tahun sebelumnya sebesar 5,51 (year on year). Inflasi pada 2023 juga dinilai akan terus terjaga rendah sesuai dengan target 2,5% plus minus 1% dari sasaran target 2023 sebesar 3% plus minus 1%.
Dengan melihat kondisi yang demikian, selain mempertahankan kebijakan moneter di level 6%, Bank Indonesia juga akan terus memperkuat stabilisasi nilai tukar rupiah melalui intervensi di pasar valas pada transaksi spot, Domestric Non-Deliverable Forward (DNDF), dan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.
Akselerasi digitaliasi sistem pembayaran dan perluasan kerjasama antar negara juga akan tetap dilakukan untuk mendorong inklusi ekonomi keuangan dan memperluas Ekonomi Keuangan Digital (EKD). Selain itu, penguatan dan perluasan kerja sama internasional dengan bank sentral dan otoritas negara mitra, khususnya di area bank sentral termasuk mempercepat konektivitas pembayaran dan Local Currency Transactions (LCT), serta memfasilitasi promosi investasi, perdagangan, dan pariwisata di sektor prioritas dengan bekerja sama dengan instansi terkait.









