Optimalisasi Penerimaan Pajak di Sektor Pertambangan
Dalam rangka memperkuat regulasi perpajakan di sektor strategis, khususnya pertambangan, pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 menetapkan aturan baru terkait penunjukan pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk operasi produksi sebagai pemungut, penyetor, dan pelapor Pajak Pertambahan Nilai (PPN) serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, serta optimalisasi penerimaan pajak dari sektor pertambangan yang selama ini menjadi salah satu pilar utama perekonomian Indonesia.
Pemerintah menyadari bahwa sektor pertambangan memiliki kontribusi signifikan terhadap Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Namun, kompleksitas operasional di sektor ini sering kali menjadi tantangan dalam hal kepatuhan pajak. Oleh karena itu, regulasi ini diharapkan dapat mendorong kepatuhan pajak yang lebih baik, terutama dalam hal pemungutan dan pelaporan PPN serta PPnBM.
Baca juga: Ada Pengecualian PPh Natura di Sektor Pertambangan, Apa Saja?
Penunjukan Pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus sebagai Pemungut Pajak
Berdasarkan Pasal 305 dalam PMK Nomor 81/2024, pemegang IUPK ditunjuk sebagai pemungut pajak untuk transaksi yang melibatkan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP). Penunjukan ini berlaku bagi entitas yang:
- Merupakan perubahan bentuk usaha dari kontrak karya yang belum berakhir.
- Beroperasi di bidang usaha pertambangan mineral.
- Memiliki izin yang diterbitkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelum 31 Desember 2019.
Penunjukan ini mencakup seluruh unit usaha, baik kantor pusat maupun cabang, yang terlibat dalam kegiatan operasional pertambangan. Dengan adanya penunjukan ini, pemegang IUPK tidak hanya berperan dalam kegiatan eksplorasi dan produksi, tetapi juga memiliki tanggung jawab dalam pemungutan pajak atas barang dan jasa yang mereka peroleh dari rekanan.
Tanggung Jawab Pemungutan dan Penyetoran Pajak
Pasal 306 mengatur bahwa pemegang IUPK wajib memungut PPN dan/atau PPnBM atas setiap penyerahan BKP dan JKP yang diterima dari rekanan. Rekanan yang dimaksud di sini adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang telah terdaftar dan melakukan transaksi dengan pemegang IUPK.
Berikut beberapa tanggung jawab utama pemegang IUPK terkait pemungutan pajak:
1. Penghitungan Pajak yang Terutang
Jumlah PPN yang harus dipungut oleh pemegang IUPK harus dihitung sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Selain itu, jika barang yang diserahkan termasuk dalam kategori barang mewah, maka PPnBM juga harus dipungut sesuai aturan yang berlaku.
2. Pembebasan Pemungutan Pajak pada Kondisi Tertentu
Berdasarkan Pasal 308, terdapat pengecualian pemungutan pajak oleh pemegang IUPK untuk transaksi tertentu, antara lain:
- Jika total nilai pembayaran tidak melebihi Rp10 juta, termasuk pajak yang terutang, dengan catatan tidak ada pemecahan transaksi untuk menghindari batas nilai.
- Penyerahan barang atau jasa yang mendapat fasilitas pembebasan PPN, seperti bahan bakar yang disediakan oleh PT Pertamina (Persero) dan anak perusahaannya.
- Jasa telekomunikasi dan angkutan udara yang tidak dikenai PPN menurut peraturan yang berlaku.
3. Pembuatan Faktur Pajak oleh Rekanan
Berdasarkan Pasal 309, setiap rekanan yang menyerahkan BKP atau JKP kepada pemegang IUPK wajib membuat faktur pajak. Faktur ini harus diterbitkan pada saat:
- Penyerahan barang atau jasa.
- Penerimaan pembayaran sebelum penyerahan.
- Pembayaran termin pada setiap tahap pekerjaan.
Faktur pajak ini wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa (SPT) PPN oleh rekanan sesuai periode yang ditentukan.
Prosedur Penyetoran dan Pelaporan Pajak oleh Pemegang IUPK
Pemegang IUPK yang telah memungut pajak berkewajiban untuk menyetorkan jumlah pajak yang terutang ke kas negara melalui Surat Setoran Pajak (SSP) paling lambat akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir, sesuai dengan ketentuan pada Pasal 310. Penyetoran ini harus dilakukan secara terstruktur untuk menghindari kesalahan yang dapat berakibat pada sanksi administratif.
Selain itu, pemegang IUPK juga harus melaporkan seluruh pajak yang telah dipungut dan disetor melalui SPT Masa PPN sebelum akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Pelaporan yang tepat waktu dan sesuai prosedur akan membantu pemegang IUPK menghindari potensi denda atau sanksi yang dapat dikenakan jika terjadi keterlambatan.
Baca juga: Sah! 22 Komoditas Hasil Pertambangan Ini Masuk Daftar Mineral Strategis Indonesia
Sanksi Bagi Pemegang IUPK yang Tidak Memenuhi Kewajiban
Dalam Pasal 311, pemerintah menetapkan sanksi bagi pemegang IUPK yang tidak mematuhi kewajiban pemungutan, penyetoran, atau pelaporan pajak. Beberapa pelanggaran yang dapat dikenakan sanksi antara lain:
- Tidak melakukan pemungutan pajak sesuai ketentuan.
- Keterlambatan dalam penyetoran pajak yang sudah dipungut.
- Tidak melaporkan pajak terutang dalam periode yang ditentukan.
Sanksi yang dikenakan bisa berupa denda, bunga, atau bahkan pembekuan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) jika pelanggaran dianggap serius. Dengan demikian, pemegang IUPK perlu memastikan kepatuhan mereka terhadap peraturan yang berlaku untuk menghindari potensi penalti.
Peraturan baru yang tertuang dalam PMK Nomor 81 Tahun 2024 memberikan tanggung jawab yang lebih besar kepada pemegang IUPK dalam hal pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pertambangan, serta mendorong kepatuhan pajak yang lebih tinggi di industri yang sangat berperan dalam perekonomian nasional.
Dengan memahami dan mematuhi ketentuan yang diatur dalam PMK ini, pemegang IUPK dapat memastikan bahwa operasional bisnis mereka tetap berjalan lancar tanpa menghadapi masalah terkait perpajakan. Oleh karena itu, penting bagi para pelaku usaha di sektor ini untuk memperbarui pemahaman mereka tentang regulasi pajak yang berlaku.









