Kebakaran yang melahap sebuah gedung di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat, pada beberapa waktu lalu yang menawaskan puluhan orang masih meninggalkan duka. Tak berselang lama, si jago merah kembali menghebohkan warga ibu kota. Pada Senin (15/12/2025), giliran Pasar Induk Kramat Jati yang dilahap api.
Kejadian nahas yang terjadi berturut-turut ini mengingatkan bahwa dalam dunia usaha, risiko force majeure seperti kebakaran tak bisa sepenuhnya dihindari. Peristiwa itu dapat menyebabkan kerusakan atau hilangnya aset perusahaan yang berdampak pada kondisi keuangan serta kelangsungan operasional.
Untuk memitigasi risiko tersebut, banyak perusahaan yang melindungi asetnya melalui asuransi. Namun, ketika risiko benar-benar terjadi, perusahaan pun perlu memahami perlakuan perpajakan atas kerugian aset dan klaim asuransi agar pencatatan dan pelaporan pajak tetap sesuai ketentuan yang berlaku.
Kerugian Aset akibat Force Majeure
Dalam sistem perpajakan Indonesia, biaya yang dapat dibebankan secara fiskal adalah biaya yang digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Kerugian atas aset akibat force majeure termasuk dalam kategori tersebut sepanjang memenuhi persyaratan fiskal.
Sebagaimana diatur dalam PMK No. 72 Tahun 2023, kerugian aset dapat dibebankan dengan ketentuan:
- kerugian timbul karena pengalihan atau penarikan harta dari kegiatan usaha;
- harta tersebut sebelumnya digunakan untuk memperoleh penghasilan; dan
- terdapat nilai sisa buku fiskal atas aset yang bersangkutan.
Nilai sisa buku fiskal inilah yang pada prinsipnya dapat diakui sebagai kerugian fiskal.
Baca Juga: Mengenal Force Majeure Dalam Perpajakan
Klaim Asuransi Tetap Dianggap Sebagai Penghasilan
Apabila aset yang rusak atau hilang tersebut diasuransikan, maka penggantian klaim asuransi yang diterima perusahaan bukan merupakan objek bebas pajak.
Sesuai Pasal 8 ayat (1) PMK 72/2023, berlaku ketentuan sebagai berikut:
- nilai sisa buku fiskal atas harta yang dialihkan atau ditarik dibebankan sebagai kerugian; dan
- jumlah penggantian asuransi yang diterima atau diperoleh diakui sebagai penghasilan.
Pengakuan kerugian dan penghasilan tersebut dilakukan pada tahun pajak terjadinya penarikan atau pengalihan harta, yaitu tahun terjadinya peristiwa yang mendasari klaim asuransi.
Dasar Perhitungan Nilai Sisa Buku Fiskal
PMK 72/2023 juga menegaskan bahwa:
- nilai sisa buku fiskal adalah nilai sisa buku harta berwujud pada akhir bulan terjadinya peristiwa yang mendasari klaim asuransi.
Artinya, perusahaan perlu memastikan pencatatan penyusutan aset telah dilakukan dengan benar hingga bulan terjadinya kebakaran atau peristiwa force majeure tersebut.
Jika Nilai Klaim Asuransi Belum Diketahui
Dalam praktik, nilai penggantian asuransi sering kali baru dapat dipastikan di kemudian hari. Untuk kondisi ini, Pasal 8 ayat (3) PMK 72/2023 memberikan opsi penundaan pembebanan kerugian.
Ketentuannya:
- nilai sisa buku fiskal dibukukan sebagai beban pada tahun pajak diterimanya penggantian asuransi; dan
- pembukuan tersebut harus mendapat persetujuan Direktur Jenderal Pajak (DJP) terlebih dahulu.
Syarat Mengajukan Penundaan Pembebanan Kerugian
Agar memperoleh persetujuan DJP, wajib pajak harus mengajukan permohonan sesuai Pasal 23 PMK 72/2023, dengan ketentuan:
- diajukan paling lama 1 bulan setelah akhir tahun pajak diterimanya klaim asuransi;
- telah menyampaikan SPT Tahunan PPh untuk 2 tahun pajak terakhir; dan
- memenuhi ketentuan administrasi perpajakan lainnya.
Baca Juga: Masuk dalam Peta Jalan Bappenas, Ada Insentif Pajak bagi Industri Pesawat Nirawak
Dokumen yang Wajib Dilampirkan
Permohonan penundaan pembebanan kerugian harus dilengkapi dengan dokumen pendukung berikut:
- polis asuransi atas aset yang mengalami kerusakan;
- berita acara peristiwa yang mendasari klaim asuransi; dan
- surat keterangan atau bukti pembayaran penggantian asuransi dari perusahaan asuransi.
Dokumen tersebut menjadi dasar penelitian DJP untuk memastikan bahwa kerugian dan klaim benar-benar terjadi serta sesuai dengan ketentuan PMK 72/2023.
Mekanisme Pengajuan Permohonan
Permohonan dapat disampaikan melalui:
- Kantor Pelayanan Pajak (KPP) secara langsung;
- pos atau jasa ekspedisi; atau
- secara elektronik melalui sistem Coretax.
Jika diajukan secara elektronik, hasil keputusan DJP akan disampaikan langsung melalui akun Coretax wajib pajak, sehingga tidak memerlukan kehadiran fisik ke kantor pajak.
FAQ Seputar Aspek Perpajakan Aset Perusahaan yang Terbakar
1. Apakah kerugian aset akibat kebakaran bisa menjadi pengurang pajak?
Ya. Kerugian aset akibat kebakaran atau force majeure dapat dibebankan sebagai biaya fiskal sepanjang memenuhi ketentuan perpajakan, khususnya nilai sisa buku fiskal atas aset yang ditarik atau dialihkan.
2. Apakah klaim asuransi atas aset terbakar dikenakan pajak?
Ya. Berdasarkan PMK 72/2023, penggantian klaim asuransi yang diterima perusahaan merupakan penghasilan dan wajib dilaporkan dalam perhitungan Pajak Penghasilan.
3. Kapan kerugian dan klaim asuransi harus diakui dalam pajak?
Pada prinsipnya, kerugian dan penggantian asuransi diakui pada tahun pajak terjadinya peristiwa yang mendasari klaim. Namun, jika klaim baru diterima di tahun berbeda, pengakuannya dapat ditunda dengan persetujuan DJP.
4. Apakah perusahaan bisa menunda pembebanan kerugian aset?
Bisa. Perusahaan dapat mengajukan penundaan pembebanan kerugian ke Direktorat Jenderal Pajak apabila nilai klaim asuransi baru diketahui atau diterima di tahun pajak berikutnya.
5. Dokumen apa saja yang diperlukan untuk mengajukan penundaan pembebanan kerugian?
Wajib Pajak perlu menyiapkan polis asuransi, berita acara peristiwa yang mendasari klaim, serta surat keterangan atau bukti pembayaran penggantian dari perusahaan asuransi.









