Mengenal Force Majeure Dalam Perpajakan

Istilah force majeure kerap ditemui semenjak pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Istilah itu di antaranya terdapat dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-178/PJ/2020 yang mengatur penetapan force majeure akibat penyebaran Covid-19.

Istilah force majeure juga sempat tercantum dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-209/PJ/2018. Melalui keputusan tersebut, Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) menetapkan force majeure bencana alam gempa bumi di Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat (NTB).

Sebenarnya, istilah force majeure sendiri bukan hal yang asing dalam dunia perpajakan. Istilah tersebut sudah lama tercantum dalam sejumlah aturan perpajakan. Lantas, seperti apa sebenarnya force majeure dan penerapannya dalam perpajakan? Yuk, kita simak artikel berikut ini!

 

Definisi Force Majeure

Force majeure sendiri merupakan istilah Perancis yang secara harafiah artinya adalah kekuatan yang lebih besar. Hal ini terkait dengan konsep Act of God, yakni peristiwa yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban oleh pihak manapun, seperti angin topan atau angin puting beliung. Selain itu, force majeure juga mencakup tindakan manusia, seperti konflik bersenjata.

Secara umum, suatu peristiwa yang masuk dalam kategori force majeure ini harusnya tidak terduga dan tidak dapat dihindari. Adapun, konsep force majeure tersebut didefinisikan dan diterapkan secara berbeda tergantung yuridiksi.

Sementara itu, Cambridge Dictionary mengartikan force majeure sebagai peristiwa tak terduga, seperti perang, kejahatan, atau gempa bumi yang menghalangi seseorang untuk melaksanakan sesuatu yang tertulis dalam perjanjian hukum.

Sementara dalam Bahasa Indonesia, force majeure diartikan sebagai keadaan kahar. Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), keadaan kahar berarti kerjadian yang secara rasional tidak bisa diantisipasi atau dikendalikan oleh manusia.

 

Force Majeure Dalam Hukum Indonesia

Ketentuan mengenai force majeure di Indonesia bisa dijumpai dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

Pasal 1244 KUH Perdata menyebutkan, debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian, dan bunga, jika ia tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu yang disebabkan oleh suatu hal tidak terduga dan tidak dapat dipertanggungjawabkan meskipun tidak ada niatan buruk kepadanya.

Sementara, pada Pasal 1245 KUH Perdata disebutkan bahwa tidak ada penggantian biaya kerugian dan bunga, jika keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang dalam memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melaksanakan sesuatu yang terlarang baginya.

Merujuk pada pasal di atas, unsur utama yang dapat menimbulkan force majeure adalah adanya kejadian yang tidak terduga, adanya halangan yang mengakibatkan suatu prestasi tidak mungkin dilakukan, ketidakmampuan tersebut di luar kesalahan debitur, dan ketidakmampuan tersebut tidak dapat dibebankan risiko kepada debitur.

Baca juga: Perbedaan Faktur Pajak dan e-Faktur

 

Force Majeure Dalam Perpajakan Indonesia

Selain itu, istilah force majeure (keadaan kahar) juga dikenal pada bidang lain, seperti pajak. Pengertian force majeure (keadaan kahar) dalam perpajakan, di antaranya tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2012.

Merujuk pada memori penjelasan Pasal 12 ayat (2) PP Nomor 1 Tahun 2012, force majeure (keadaan kahar) merupakan suatu kejadian yang terjadi di luar kemampuan manusia dan tidak bisa dihindarkan sehingga suatu kegiatan tidak bisa dilaksanakan atau tidak bisa dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Adapun, peristiwa yang termasuk kategori force majeure (keadaan kahar), antara lain peperangan, kerusuhan, bencana alam, revolusi, pemogokan, kebakaran, dan bencana lainnya yang harus dinyatakan oleh instansi yang berwenang.

Lebih lanjut, penjelasan force majeure (keadaan kahar) juga tertuang dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-33/PJ/2017, yakni suatu keadaan yang terjadi di luar kemampuan manusia dan diketahui secara luas, seperti kurusuhan sipil, perang, pemberontakan, gempa bumi, banjur, epidemi, kebakaran dan bencana alam.

Baca juga: Mengenal Pembukuan Ganda

 

Contoh Force Majeure untuk Kepentingan Perpajakan di Indonesia

Direktur Jenderal Pajak pernah menetapkan periode force majeure (keadaan kahar) untuk kepentingan perpajakan pada tanggal 21 Agustus hingga 29 September 2019. Periode force majeure itu berlaku untuk Provinsi Papua dan Papua Barat yang sedang mengalami ganguan keamanan.

Force majeure (keadaan kahar) juga pernah berlaku saat terjadi bencana alam tsunami Selat Sunda di wilayah Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, dan Kabupateng Lampung Selatan pada tanggal 22 Desember 2018 hingga 31 Januari 2019.

Lebih lanjut, akibat penyebaran Covid-19 pemerintah menetapkan force majeure (keadaan kahar) melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-178/PJ/2020 tentang Jangka Waktu Penyelesaian Pelayanan Administrasi Perpajakan Dalam Keadaan Kahar Akibat Pandemi Covid-19.

Merujuk pada diktum kedua Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-178/PJ/2020, pemerintah menetapkan perpanjangan jangka waktu penyelesaian pelayanan administrasi perpajakan dalam keadaan kahar (force majeure), sebagai berikut:

  1. Bagi pelayanan administrasi perpajakan sesuai dengan Peraturam Menteri Keuangan, Peraturan Direktur Jenderal Pajak, atau Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak yang mengatur mengenai jangka waktu penyelesaian paling lama 1 hari kerja atau paling lama 7 hari kerja, maka jangka waktu penyelesaian diperpanjang menjadi paling lama 15 hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap
  2. Bagi pelayanan administrasi perpajakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Direktur Jenderal Pajak, atau Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak yang mengatur jangka waktu penyelesaian lebih dari 7 hari kerja namun kurang dari 1 bulan, maka jangka waktu penyelesaian diperpanjang menjadi paling lama 1 bulan sejak permohonan diterima secara lengkap
  3. Bagi pelayanan administrasi perpajakan sesuai dengan Peraturam Menteri Keuangan, Peraturan Direktur Jenderal Pajak, atau Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak yang mengatur jangka waktu penyelesaian 1 bulan atau lebih, maka jangka waktu penyelesaian sejak permohonan diterima secara lengkap tidak diberikan perpanjangan.

Adapun, merujuk pada diktum ketiga Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-178/PJ/2020, perpanjangan jangka waktu penyelesaian pelayanan administrasi perpajakan pada diktum kedua tidak berlaku untuk pelayanan dalam rangka pemberian fasilitas dibebaskan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor dan fasilitas tidak dipungut atau dibebaskan dari PPN atas impor BKP.

Dengan demikian, isitilah force majeure sebenarnya juga tercantum dalam sejumlah peraturan perpajakan, baik pusat maupun daerah. Umumnya, force majeure (keadaan kahar) tersebut membuat Wajib Pajak tidak dikenakan sanksi administrasi atau diberikan suatu keringanan tertentu.