Di tengah era globalisasi dan terbukanya perekonomian internasional, kompleksitas perpajakan antarnegara semakin meningkat. Salah satu isu yang sering menjadi sorotan dalam konteks perpajakan internasional adalah praktik yang dikenal sebagai treaty shopping. Istilah ini merujuk pada strategi yang digunakan oleh perusahaan multinasional atau individu untuk memanfaatkan perjanjian pajak antara dua negara demi mendapatkan keuntungan pajak yang lebih besar, meskipun mereka tidak memiliki aktivitas ekonomi yang signifikan di negara tersebut. Praktik ini sering kali dipandang sebagai penyalahgunaan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) dan menjadi perhatian serius bagi otoritas pajak di berbagai negara.
Apa Itu Treaty Shopping?
Secara sederhana, treaty shopping adalah praktik di mana suatu entitas atau individu memilih yurisdiksi tertentu sebagai perantara untuk mendapatkan manfaat dari perjanjian pajak yang lebih menguntungkan antara negara tersebut dengan negara asal penghasilan.
Misalnya, perusahaan A yang berbasis di Negara X ingin berinvestasi di Negara Z, tetapi tidak terdapat perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B atau tax treaty) antara Negara X dan Z. Namun, jika Negara Y memiliki tax treaty dengan Negara Z yang menawarkan tarif pajak lebih rendah atas dividen, bunga, atau royalti, perusahaan A dapat mendirikan anak perusahaan di Negara Y sebagai perusahaan perantara. Dengan cara ini, perusahaan A dapat menikmati tarif pajak yang lebih rendah berdasarkan perjanjian antara Negara Y dan Z, meskipun aktivitas bisnis nyata tidak terjadi di Negara Y.
Baca Juga: Peran Penting Tax Treaty Dalam Mendorong Investasi Asing
Alasan di Balik Praktik Treaty Shopping
Beberapa faktor utama yang mendorong praktik treaty shopping meliputi:
1. Penghindaran Beban Pajak
Tujuan utama treaty shopping adalah untuk menghindari atau mengurangi pajak yang seharusnya dibayarkan di negara asal pendapatan.
2. Pemanfaatan Tax Haven
Banyak yurisdiksi yang dikenal sebagai tax haven menawarkan perjanjian pajak yang menguntungkan atau bahkan tidak mengenakan pajak sama sekali. Negara-negara ini sering dijadikan perantara dalam skema treaty shopping.
3. Ketidakseimbangan Perjanjian Pajak
Tidak semua negara menerapkan standar klausul anti-penyalahgunaan dalam P3B. Beberapa perjanjian lebih menguntungkan dibandingkan yang lain, mendorong entitas untuk mencari “celah” hukum.
4. Kurangnya Substansi Ekonomi
Dalam banyak kasus, negara perantara hanya berfungsi sebagai tempat pendaftaran formal (letter-box companies) tanpa aktivitas bisnis yang sesungguhnya.
Dampak Treaty Shopping
Praktik treaty shopping dapat menyebabkan berbagai dampak negatif, seperti:
- Kerugian Pendapatan Pajak
Negara sumber pendapatan berasal dapat kehilangan potensi pendapatan pajak karena tarif yang lebih rendah melalui perantara. - Ketimpangan Kompetisi
Perusahaan yang menggunakan treaty shopping memperoleh keuntungan kompetitif yang tidak adil dibandingkan perusahaan lokal yang harus membayar pajak penuh. - Pencitraan Negatif dan Ketidakadilan
Praktik ini memperburuk persepsi publik mengenai keadilan pajak dan meningkatkan ketidaksetaraan ekonomi global. - Memicu Perlombaan ke Dasar (Race to the Bottom)
Negara-negara saling bersaing dengan menawarkan tarif pajak yang rendah atau perjanjian yang lebih longgar untuk menarik investasi. Namun, hal ini dapat berdampak negatif pada sistem perpajakan secara global.
Upaya Internasional untuk Mengatasi Treaty Shopping
Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), bersama dengan negara-negara anggota G20, meluncurkan proyek Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) sebagai langkah respons terhadap praktik penghindaran pajak, termasuk treaty shopping.
Salah satu upaya nyata dalam kerangka proyek ini adalah Multilateral Instrument (MLI). MLI memungkinkan perubahan serentak terhadap banyak perjanjian pajak bilateral untuk memasukkan ketentuan anti-penyalahgunaan seperti Principal Purpose Test (PPT) dan Limitation on Benefits (LOB).
Baca Juga: Memahami Praktik Treaty Shopping yang Menjadi Ancaman Sistem Pajak Global
Contoh Kasus Treaty Shopping
Salah satu contoh nyata praktik treaty shopping yang pernah mencuat adalah kasus yang melibatkan perusahaan multinasional di sektor teknologi dan farmasi. Beberapa dari perusahaan ini mendirikan entitas di negara-negara seperti Belanda, Luksemburg, atau Irlandia dengan tujuan memanfaatkan perjanjian pajak yang menguntungkan, meskipun sebagian besar kegiatan bisnis mereka berlangsung di negara lain.
Di Indonesia, pemerintah telah memperhatikan berbagai indikator yang menunjukkan praktik treaty shopping. Dalam konteks ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menerapkan pendekatan substance over form dan memperketat proses permohonan Surat Keterangan Domisili (SKD) sebagai syarat untuk memanfaatkan perjanjian pajak tersebut.
Langkah Indonesia dalam Mengatasi Treaty Shopping
Indonesia telah mengambil langkah konkret untuk membatasi praktik treaty shopping, antara lain:
- Implementasi Principal Purpose Test (PPT)
DJP berhak menolak permohonan manfaat perjanjian pajak jika tujuan utama transaksi adalah untuk mendapatkan manfaat pajak. - Penerapan Konsep Beneficial Ownership
Pihak yang menerima penghasilan harus membuktikan bahwa mereka adalah pemilik manfaat yang sesungguhnya. - Ratifikasi Multilateral Instrument (MLI)
Melalui MLI, Indonesia dapat mengubah banyak P3B secara serentak untuk memasukkan ketentuan anti-penyalahgunaan tanpa perlu negosiasi bilateral.
Penutup
Treaty shopping adalah fenomena kompleks yang melibatkan berbagai aspek: hukum, ekonomi, etika, dan keadilan pajak. Meskipun tidak selalu ilegal dari sudut pandang teknis, praktik ini sangat rentan disalahgunakan dan dapat menimbulkan ketidakadilan dalam sistem perpajakan internasional.
Oleh karena itu, kerja sama antarnegara, penegakan regulasi domestik yang tegas, serta kesadaran etis dari para pelaku usaha sangat penting untuk memastikan bahwa perjanjian pajak digunakan secara tepat—yakni untuk mendorong investasi dan mencegah pemajakan berganda, bukan untuk menghindari kewajiban pajak secara tidak sah.
*) Penulis merupakan penerima beasiswa dari Pajakku. Seluruh isi tulisan ini disusun secara mandiri oleh penulis dan sepenuhnya merupakan opini pribadi.









