Apa Itu Tax Treaty?

Setiap hal tentunya memiliki permasalahannya masing-masing, terlebih dalam dunia perpajakan yang dalam skala internasional. Dalam perpajakan internasional bukan suatu hal yang baru lagi apabila terjadi suatu permasalahan yang kemungkinan menjadi rumit, karena berkaitan dengan hak pemajakan (taxing right) dalam suatu negara.

Seperti yang kita ketahui, bahwa setiap masing-masing negara memiliki skala kepentingan tersendiri terhadap kebijakan perpajakan internasional, sehingga terciptalah suatu perjanjian perpajakan yang hanya disepakati oleh semua pihak dimana perjanjian tersebut menguntungkan semua pihak yang terlibat.

Perjanjian tersebut dikenal sebagai Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda, disingkat P3B atau dalam pajak internasional lebih di kenal sebagai Tax Treaty. Perjanjian ini merupakan sebuah kesepakatan atas pajak antara dua negara yang mengatur semua hal yang berhubungan dengan penggunaan hak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak dari masing-masing negara terkait.

Perjanjian ini dilakukan guna menghindari terjadinya pengenaan pajak berganda serta menarik investasi modal asing ke dalam negeri. Tax treaty ini biasanya digunakan untuk menentukan alokasi dari hak pemajakan suatu transaksi yang terjadi di antara negara sumber dengan negara domisili. Dalam hal ini, pada intinya perjanjian tesebut dilakukan atas dasar keuntungan bersama. Lantas, apa sebenarnya Tax Treaty itu? Mari, simak informasinya di bawah ini.

 

Definisi Tax Treaty

Tax treaty atau perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) merupakan istilah yang dibahas dalam undang-undang pajak penghasilan (UU PPh). Perjanjian tersebut dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara lainnya sebagai persetujuan dalam penghindaran pajak berganda serta meminimalisir penghindaran pajak dalam suatu penerapan dari UU PPh dalam Pasal 32A.

Peraturan ini berisikan bahwa pemerintah memiliki wewenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah di negara lainnya sebagai bentuk penghindaran pajak berganda serta meminimalisir adanya pengelakan pajak.

Setiap tax treaty memiliki prinsip-prinsip dasar yang hampir sama. Menjadi bagian dari perjanjian internasional, yang mana di setiap negara yang terlibat dalam suatu tax treaty sudah pasti merancang treaty-nya berdasarkan dari model-model perjanjian yang tentunya telah diakui secara internasional.

Dalam hal ini, treaty sendiri memiliki arti sebagai kontrak yang mengikat antara kedua negara tersebut dalam hal perlakuan perpajakan. Sebagaimana yang dimaksud dengan kontrak, maka tax treaty harus dibuat dan disertai oleh dasar klausul-klausul, pasal-pasal hingga ayat-ayat yang berhubungan dengan berbagai aspek transaksi dan pihak tertentu dalam pengerapannya.

Baca juga: Sesuaikah Perpajakan Indonesia Dengan Global Taxation?

 

Tujuan Tax Treaty

Setiap perjanjian tentunya memiliki tujuan, sama halnya dalam penerapan tax treaty. Secara umum, tujuan dari tax treaty atau P3B ini ialah sebagai sarana atau wadah yang memfasilitasi pendagangan internasional hingga arus investasi antar negara.

Penerapan perjanjian ini tentunya dinilai sangat menguntungkan bagi setiap pebisnis. Terlepas dari terbebasnya pajak berganda, terdapat juga sebuah aturan yang jelas dan memiliki kekuatan hukum mengenai perjanjian dua negara tersebut. Dengan demikian, pengusaha bisa langsung mengetahui berapa besaran beban pajak yang harus dibayarkan.

Dalam hal ini, adapun beberapa tujuan pemerintah dalam menerapkan Tax Treaty, yakni sebagai berikut:

  • Mencegah adanya pengenaan pajak berganda
  • Memberikan pengurangan atas besaran tarif pajak di negara sumber atas penghasilan tertentu ataupun dalam pembagian hak pemajakan
  • Memberikan kedudukan yang sama rata (setara) dalam hal perpajakan
  • Menarik investasi modal asing
  • Digunakan sebagai salah satu cara lain negara dalam menerapkan aturan-aturan domestiknya. Seperti tax avoidance (pengelakan pajak), EoI (Exchange Of Information), hingga Mutual Agreement Procedure (MAP)
  • Kedudukan tax treaty terhadap UU Pajak dalam negeri akan diperlakukan sebagai lex specialis terhadap UU dalam negeri yang bersifat lex generalis.

 

Model Tax Treaty

Di setiap transaksi yang melibatkan antara dua negara, kebijakan tax treaty akan menjadi acuan dalam penerapannya lantaran memiliki kekuatan hukum yang jelas. Dalam hal ini, setiap negara memiliki hak dalam menyusun seperti apa perjanjian Tax Treaty sesuai dengan model yang digunakan dan tentunya diakui secara internasional. Model yang dimaksud tersebut terdapat setidaknya 2 (dua) model yang dapat digunakan sebagai perjanjian penghindaran pajak berganda. Dimana model tersebut terdiri dari:

  • Model UN (PBB)

Model ini dilatarbelakangi oleh tingginya arus modal dari negara maju ke negara berkembang. Dalam hal ini, Sekretaris Jendral (Sekjen) PBB yang mengesahkan adanya model UN (PBB). Sejauh ini ada beberapa negara yang telah menerapkan model UN dalam tax treatynya.

Model ini memiliki cakuan tujuan yang sangat luas, seperti sebagai sarana dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga sosial bagi negara berkembang. Tak hanya itu, model ini juga memiliki tujuan dalam meningkatkan investasi, sehingga perekonomian pada negara berkembang jadi lebih maju.

Jika diperingkas, model UN ini pada intinya dibuat supaya pemajakan menjadi lebih banyak diterapkan di negara berpenghasilan agar negara domisili memiliki lebih banyak peluang dalam mendapatkan investasi modal karena terkena tax treaty model ini.

  • Model OECD

Model ini dibentuk dan disahkan langsung oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Pembuatan model ini bertujuan guna memecahkan masalah perekonomian yang kerap terjadi di beberapa negara anggotanya, terutama yang berkaitan dengan perpajakan berganda. Sebanyak 26 negara yang menjadi anggota OECD.

Maka dari itu, perjanjian ini disusun oleh setiap komite dari berbagai negara anggota guna mencampai kesepakatan yang menguntungkan bersama. Dari tax treaty model ini memiliki tujuan utama dalam meningkatkan arus perdagangan antara negara yang menerapkan tax treaty dengan cara menghapus perpajakan berganda.

Berbeda dengan model UN (PBB) yang mana model tersebut menginginkan pemajakan pada negara yang berpenghasilan, justru sebaliknya. Model OECD ini menginginkan hak pemajakan lebih dibebankan kepda negara domisili, dengan demikian negara tersebut akan mendapatkan tambahan penghasilan dari pembayaran pajak tersebut.

Kedua model yang sudah disebutkan sebelumnya memanglang sudah banyak digunakan oleh beberapa negara yang menerapkan tax treaty di negaranya. Namun, dalam hal ini Indonesia menjadi salah satu negara yang menciptakan atau memodifikasi model dari tax treaty (P3B) sendiri. Model yang diterapkan Indonesia ialah menyesuaikan dengan kondisi perdagangan yang terjadi di dalam negeri.

Baca juga: Apa Itu International Tax Policy?

 

Prosedur Penerapan Tax Treaty

Merujuk dalam PER-10/PJ/2017 mengenai Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Dimana apabila terdapat ketentuan yang berbeda dengan ketentuan yang pada tax treaty, maka kebijakan yang berlaku tetap dalam perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) tersebut.

Sedangkan, untuk proses pembentukan tax treaty sendiri, diawali dengan proses pendekatan, perundingan, ratifikasi hingga pemberlakuannya yang disesuaikan dalam UU Nomor 24 Tahun 2000 mengenai Perjanjian Internasional.

Berdasarkan PER-15/PJ/2018 dalam Pasal 2, dijelaskan bahwa wajib pajak luar negeri yang memiliki hak dalam memperoleh penghasilan dari Indonesia dengan memanfaatkan perjanjian tax treaty ialah sebagai berikut:

  • WP yang memperoleh penghasilan bukanlah SPDN (subjek pajak dalam negeri) Indonesia
  • WP yang memperoleh penghasilan merupakan SPDN (subjek pajak dalam negeri) dari negara mitra atau yurisdiksi mitra yang telah mensetujui perjanjian tax treaty
  • Tidak terjadi penyalahgunaan perjanjian P3B (tax treaty)
  • WP yang memperoleh penghasilan merupakan beneficial owner, atau berdasarkan dengan persyaratan dalam tax treaty.

Dalam hal ini, bagi WPLN (wajib pajak luar negeri) yang sudah memenuhi syarat sesuai dengan yang diatur dalam aturan tersebut maka WPLN tersebut wajib memiliki memiliki serta mengisi SKD WPLN (Surat Keterangan Domisili Wajib Pajak Luar Negeri). Pada pengisiannya, harus dilakukan dengan form DGT dan diisi secara benar dan lengkap, lalu ditandatangai oleh WPLN yang bersangkutan dan telah disahkan oleh otoritas pajak atau pejabat pajak yang memiliki wewenang di negara mitra tax treaty tersebut.

Hal tersebut merupakan sebagai salah satu syarat dalam pemotongan/pemungutan pajak berdasarkan aturan dan ketentuan dari tax treaty yang berlaku. Adapun, periode atau jangka waktu untuk SKD tersebut, yakni dalam jangka waktu selambat-lambatnya 12 (dua belas) bulan atau setahun. Sedangkan, bagi pemotong atau pemungut pajak yang memiliki wewenang dalam memotong penghasilan WPLN diwajibkan untuk melapor pemotongan atau pemungutan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku atas SPT.

Terkait hal tersebut, jika dalam perjalanannya WPLN tidak mendapatkan PPh yang dipotong atau dipungut di Indonesia sesuai dengan ketentuan tax treaty yang berlaku, maka pemotong/pemungut pajak tetap diwajibkan melaporkan penghasilan yang diperoleh oleh WPLN tersebut. Selanjutnya, pemotong atau pemungut pajak tetap wajib menyampaikan tanda terima SDK WPLN, sebagai pengganti SDK WPLN. Surat tersebut nantinya harus dilampirkan pada saat melaporkan SPT Masa untuk masa terutang pajak bagi WPLN yang bersangkutan.