Secara umum, mekanisme pengkreditan atas PPN (Pajak Pertambahan Nilai) tidak terlepas dari pajak masukan ataupun pajak keluaran. Dalam hal ini, pajak masukan didefinisikan sebagai pajak yang dibebankan ketika PKP (Pengusaha Kena Pajak) melakukan transaksi/pembelian atas BKP (Barang Kena Pajak) serta melakukan pemanfaatan JKP (Jasa Kena Pajak). Sedangkan, pajak keluaran didefinisikan sebagai pajak yang dibebankan kepada PKP yang melakukan transaksi/penjualan BKP serta pemanfaatan JKP.
Dalam hal ini, PKP diperbolehkan megkreditkan atau mengurangi pajak masukan dalam suatu masa dengan pajak keluaran yang tentunya dalam masa pajak yang sama. Jika pada masa yang sama terdapat lebih besar pajak keluarannya, maka kelebihan pajak keluaran akan disetor ke dalam kas negara.
Begitupun sebaliknya, jika dalam masa pajak terdapat pajak masukan yang lebih besar dari pajak keluaran, maka kelebihannya akan dikompensasikan ke dalam masa pajak selanjutnya atau dilakukan restitusi. Lantas, apa hubungannya deemed tax dalam hal ini? Mari, simak informasinya berikut ini.
Mengenal Apa Itu Demed Tax
Transaksi atau kegiatan jual beli dalam perpajakan bukan suatu hal yang baru lagi. Dalam perpajakan pembelian atas BKP, penerimaan JKP, pengimporan BKP, orang/badan yang memanfaatkan BKP baik bewujud maupun tidak berwujud dari luar wilayah pabean, serta orang/badan yang memanfaatkan JKP dari luar pabean yang wajib membayar PPN dan berhak menerima keterangan baik dokumen atau kertas sebagai bukti atas pungutan yang terjadi.
Dalam hal ini, PPN yang telah dibayarkan akan merupakan pajak masukan bagi pihak yang membeli BKP, penerimaan JKP, pengimporan BKP, orang/badan yang memanfaatkan BKP baik bewujud maupun tidak berwujud dari luar wilayah pabean, serta orang/badan yang memanfaatkan JKP dari luar pabean.
Nantinya, kegiatan tersebut wajib dibayar oleh PKP dan dapat dikreditkan sebagai pajak keluaran yang waktunya dalam masa pajak yang sama. Meski demikian, jika terjadi suatu hal dimana pajak masukan seharusnya dapat dikreditkan, namun PKP justru tidak mengkreditkan, maka pajak masukan tersebut tetap akan dikreditkan di masa pajak berikutnya.
Dalam hal ini terdapat jangka waktu, yakni selambat-lambatnya 3 bulan setelah berakhir masa pajaknya dengan syarat pajak masukan yang terkait belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan oleh DJP. Pengkreditan yang dilakukan atas pajak masukan tentunya harus berdasarkan peraturan dan ketentuan yang berlaku, yakni UU Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN).
Baca juga Insentif Pajak Tahun 2022
Pengkreditan pun dapat dikecualikan apabila pengeluaran dilakukan atas hal-hal berikut:
- Perolehan BKP/JKP sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP
- Perolehan BKP/JKP yang tidak memiliki hubungan langsung dengan kegiatan usaha
- Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor baik sedan dan station wagon (kecuali barang dagangan atau disewakan)
- Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar wilayah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP
- Perolehan BKP/JKP yang faktur pajaknya tidak memenuhi syarat ataupun ketentuan seperti mencantumkan nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP
- Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKKP dari luar wilayah Pabean yang faktur pajaknya tidak memenuhi syarat/ketentuan
- Perolehan BKP/JKP yang pajak masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak
- Perolehan BKP/JKP yang pajak masukannya tidak dilaporkan dalam SPT masa PPN, yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan, serta perolehan BKP selain barang modal atau JKP sebelum PKP berproduksi.
Dalam hal pembayaran atau penyetoran, tentunya jumlah penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui secara pasti jumlahnya. Jumlah dari pada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan akan dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan PMK (Peraturan Menteri Keuangan).
Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan
Merujuk dalam PMK-74/PMK.03/2010 mengenai pedoman pengkreditan PM Bagi PKP yang peredaran usahanya tidak melebihi jumlah yang telah ditentukan. PKP yang dapat melakukan pedoman ini memiliki ketentuan dimana PKP harus mempunyai peredaran usaha yang 1 tahun buku tidak lebih dari Rp1,8 miliyar. Adapun, mekanisme yang akan dilakukan setelah memenuhi syarat, sebagai berikut:
- Memiliki peredaran usaha dalam 2 tahun buku sebelumnya tidak lebih dari Rp1,8 miliyar untuk setiap 1 tahun buku
- WP yang baru dikukuhkan sebagai PKP.
Bagi PKP OP (Orang Pribadi) yang dikecualikan dari kewajiban penyelenggaraan pembukuan, pengertian tahun buku di atas merupakan tahun kalender.
Adapun, besaran Pajak Masukan yang dikreditkan akan dihitung menggunakan pedoman penghitungan, yakni sebesar:
- 60% dari Pajak Keluaran untuk penyerahan JKP
- 70% dari Pajak Keluaran untuk penyerahan BKP.
Dalam hal ini, PKP yang telah melakukan penyerahan JKP dan menggunakan metode ini hanya perlu menyetorkan PPN di setiap Masa pajak sebesar 4% dari DPP, dalam hal ini Peredaran Bruto. Sebaliknya, jika PKP yang melakukan penyerahan BKP dan menggunakan mekanisme ini, maka hanya wajib menyetorkan PPN di setiap Masa pajak sebesar 3% dari DPP dalam hal ini Peredaran Bruto.
Pedoman Pengkreditan PM Atas Kegiatan Usaha Tertentu
PKP yang melakukan Kegiatan Usaha Tertentu, dalam menghitung besaran Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, maka wajib menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan. Yang mana kegiatan usaha tertentu merupakan kegiatan yang semata-mata melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran, ataupun menyerahkan perhiasan secara eceran.
Dalam hal ini, besaran pajak masukan yang dapat dikreditkan akan dihitung menggunakan pedoman perhitungan pengkreditan Pajak Masukan yaitu sebesar 90% dari Pajak Keluaran, dalam hal PKP melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran.
Sehingga, untuk PKP Pedagang kendaraan bermotor bekas secara eceran setiap Masa pajak diharuskan melakukan penyetorkan PPN sebesar 1% dari DPP.
Contoh Perhitungan Pedoman Perhitungan PM
Adapun, langkah-langkah dalam pengkreditan PM, dimana PKP mengkreditkan Pajak Masukan dengan menggunakan pedoman, antara lain:
Dirumuskan: P = PM x Z
Keterangan:
P = total dari Pajak Masukan yang dikreditkan.
PM = total dari Pajak Masukan atas perolehan BKP/JKP.
Z = persentase yang selaras dengan jumlah penyerahan pajak terutang terhadap penyerahan seluruhnya.
Dalam kurun waktu akhir tahun buku atau masa, setelah diketahui berapa besaran jumlah total penyerahan yang sebenarnya atas penyerahan terutang PPN, tidak terutang PPN hingga dibebaskan PPN, maka PKP melakukan penghitungan kembali atas Pajak Masukan sesuai dengan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan, dimana perhitungan sebagai berikut:
- Atas BKP maupun JKP yang masa manfaatnya dalam kurun waktu lebih dari 1 tahun:
Dirumuskan: P’ = PM/T X Z’
Keterangan:
P’ = total dari Pajak Masukan yang dikreditkan dalam kurun waktu 1 tahun buku.
PM = total dari Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP.
T = masa manfaat BKP dan/atau JKP yang telah ditentukan atas BKP, yakni berupa tanah dan bangunan (10 tahun) atau untuk BKP selain tanah dan bangunan dan JKP (4 tahun).
Z’ = persentase yang selaras dengan jumlah penyerahan yang pajak terutang terhadap seluruh penyerahan dalam 1 tahun buku.
Baca juga Asas Pengenaan Pajak di Indonesia
- Atas BKP maupun JKP yang masa manfaatnya dalam kurun waktu 1 tahun atau kurang:
Dirumuskan: P’ = PM x Z’
Keterangan:
P’ = total dari Pajak Masukan yang dikreditkan dalam kurun waktu 1 tahun buku.
PM = total dari Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP.
Z’ = persentase yang selaras dengan jumlah Penyerahan yang pajak terutang terhadap seluruh penyerahan dalam kurun waktu 1 tahun buku.
Dari penjelasan mengenai deemed tax tentunya dapat dipastikan, saat ini sudah ada (deemed tax) dalam sistem perpajakan di Indonesia. Deemed tax itu sendiri telah berlandasan hukum yang tertuang dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) Pasal 9 Ayat (7), dimana dalam peraturan tersebut disebutkan besarnya pajak masukan yang diperbolehkan untuk dikreditkan (deemed pajak masukan/ PM) oleh PKP yang peredaraan usahanya dalam setahun tidak lebih dari jumlah tertentu atau kegiatan usaha tertentu.
Dengan gambaran tersebut, Pajak Keluaran tentunya dapat dikenakan sebasar 10% dan dapat dikurangkan dengan Pajak Masukan yang nilainya ditentukan (di-deemed) dengan persentase dari Pajak Keluaran. Secara sederhana, deemed Pajak Masukan digunakan untuk PKP yang tidak mempunyai Pajak Masukan, yang selama ini harus dibuktikan dengan faktur pajak.
Sehingga dalam aturan turunannya, sesuai PMK (Peraturan Menteri Keuangan) Nomor 74/PMK.03/2010 untuk peredaran usaha deemed PM dapat digunakan untuk PKP yang peredaraan usahanya tidak melebihi Rp1,8 miliar. Untuk penyerahan JKP besaran deemed PM-nya 60% dari pajak keluaran. Atau dapat diartikan, PPN final terutangnya sebesar 4% dari peredaran usaha tiap bulannya. Sementara, untuk barang kena pajak (BKP), 70% dari PK merupakan deemed PM, sehingga PPN final terutangnya sebesar 3%.
Sementara untuk pengenaan yang dilihat dari sisi jenis usaha, sesuai dengan PMK Nomor 79/PMK.03/2010, deemed Pajak Masukan dapat digunakan untuk PKP yang melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran dan emas perhiasan, masing-masing dengan persentase 90% dari Pajak Keluaran dan 80% dari Pajak Keluaran. Nantinya, jika jadi diterapkan, kebijakan tersebut tidak akan memberikan batas pendapatan/omzet tertentu. Terkait dengan perlunya tambahan pembagian setiap sektor.









