Tantangan utama bagi otoritas pajak di manapun mereka berada adalah praktik penghindaran pajak. Banyak kegiatan yang dilakukan mereka untuk memanfaatkan celah hukum demi meminimalkan kewajiban pajaknya, terutama perusahaan multinasional. Salah satu cara yang sering digunakan perusahaan multinasional untuk menghindari pajak adalah dengan mengalihkan keuntungan ke negara-negara dengan tarif pajak yang lebih rendah. Untuk melawan praktik penghindaran pajak tersebut, banyak negara memberlakukan aturan Controlled Foreign Corporation atau CFC Rules. Yuk, ketahui apa itu CFC Rules dalam artikel ini!
Mengenal CFC Rules
CFC rules adalah sebuah aturan pengendalian perusahaan asing sebagai bagian dari kebijakan anti-penghindaran pajak. Secara umum, CFC rules mengatur bahwa keuntungan atau penghasilan pasif seperti bunga, dividen, dan royalti yang diperoleh perusahaan asing yang dikendalikan oleh Wajib Pajak (WP) dalam negeri akan dianggap sebagai penghasilan kena pajak di negara asal pengendali, meskipun secara fisik dihasilkan di negara lain dan belum dikirim kembali ke negara asal. Tujuan dari aturan ini adalah untuk mencegah praktik penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional melalui pendirian perusahaan anak atau entitas di yurisdiksi dengan tax havens.
Di Indonesia, CFC rules diadopsi dalam rangka memperkuat upaya penegakan pajak. Hal ini tertuang dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), dimana dikatakan bahwa penyertaan modal WP dalam negeri paling rendah 50% dari jumlah saham yang disetor atau secara bersama dengan WP dalam negeri lainnya dengan penyertaan modal paling rendah 50% dari jumlah saham yang disetor. Kini, ketentuan teknik CFC Rules diatur lebih lanjut pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomo 107 Tahun 2017 jo. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022. Dalam PP Nomor 55 Tahun 2022 pada Bab VII juga dituliskan bahwa CFC rules menjadi salah satu dari 8 Specific Anti-Avoidance Rule (SAAR) atau Instrumen Khusus Anti-Penghindaran Pajak.
Baca juga: Controlled Foreign Company: Pengertian dan Implementasi di Indonesia
Tujuan CFC Rules
1. Mencegah Erosi Basis Pajak (Base Erosion and Profit Shifting)
Salah satu tujuan utama dari CFC rules adalah mencegah perusahaan mengalihkan keuntungan mereka ke negara-negara dengan pajak yang lebih rendah untuk menghindari pajak. Dengan adanya aturan ini, penghasilan dari anak perusahaan di luar negeri yang tidak dikenakan pajak atau dikenakan pajak rendah dapat ditarik ke negara asal dan dikenakan pajak sesuai ketentuan yang berlaku.
Dengan menjaga basis pajak, negara juga dapat mempertahankan stabilitas penerimaan pajak dan dapat melindungi pendapatan negara dari praktik penghindaran pajak yang pasti akan diperlukan untuk pembiayaan program pembangunan maupun layanan publik.
2. Meningkatkan Keadilan
Dengan CFC rules, semua WP baik perusahaan multinasional maupun dalam negeri dapat dikenakan pajak atas penghasilan yang mereka peroleh secara adil. Perusahaan besar yang memiliki kemampuan untuk mengalihkan keuntungan ke banyak negara harus dikenakan pajak secara adil dengan tidak menggunakan tax havens dibandingkan dengan perusahaan yang hanya beroperasi di satu negara dan membayar pajak penuh di negara tersebut. Dengan begitu, akan menciptakan lapangan persaingan yang lebih sehati bagi semua pelaku usaha.
3. Menjaga Integritas dan Kerja Sama Internasional
CFC rules juga membantu menjaga integritas sistem pajak dengan mencegah distorsi akibat praktik penghindaran pajak. Selain itu, CFC rules mendukung upaya kerja sama internasional dalam mencegah terjadinya pajak berganda atau tidak kena pajak sama sekali serta menjaga keseragaman dalam penerapan aturan pajak di berbagai negara yang ditetapkan oleh organisasi internasional seperti OECD.
Baca juga: Cegah Penghindaran Pajak Korporasi, OECD Sarankan Indonesia Pakai Pemeriksaan Silang Biaya Operasional
Tantangan dalam Implementasi CFC Rules
Ada kebijakan, pasti ada tantangan. Implementasi CFC rules ini memerlukan pengetahuan hukum yang mendalam dan koordinasi yang baik dengan banyak negara lain. Hal inilah yang sering kali menyulitkan otoritas pajak di negara berkembang yang mungkin belum memiliki sumber daya yang memadai.
Selain itu, ramainya praktik transfer pricing yang agresif sering menyulitkan dalam pengidentifikasian keuntungan yang sebenarnya dihasilkan oleh CFC. Perbedaan tarif pajak antarnegara juga memberikan celah bagi perusahaan multinasional untuk terus melakukan perencanaan pajak agresif. Meskipun CFC rules efektif dalam mengurangi penghindaran pajak, perusahaan masih dapat memanfaatkan perbedaan kebijakan pajak antar negara.
Menentukan batasan yang jelas mengenai maksud dari sebuah “kendali”, yang mana sering menjadi perdebatan tentang pengendalian cukup pada kepemilikan saham mayoritas atau termasuk juga dengan pengaruh tidak langsung melalui jaringan perusahaan. Terakhir, tantangan yang akan selalu dihadapi adalah penambahan beban administrasi, baik bagi otoritas pajak maupun wajib pajak. Bagi WP, CFC rules harus menambah biaya pelaporan yang lebih rinci, yang mungkin saja WP tersebut tidak berniat melakukan penghindaran pajak, sementara otoritas pajak perlu memeriksa dan mengaudit laporan tersebut dengan hati-hati.
Kesimpulan
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, salah satu instrumen penting dalam kebijakan anti-penghindaran pajak adalah CFC Rules. Aturan ini dapat mengurangi praktik pengalihan keuntungan ke negara-negara dengan tarif pajak lebih rendah dengan menargetkan penghasilan pasif dari perusahaan asing yang dikendalikan oleh perusahaan dalam negeri.
Namun, efektivitas CFC Rules sangat bergantung pada kemampuan otoritas pajak dalam menerapkan aturan ini dan kerjasama internasional dalam mengatasi perbedaan kebijakan perpajakan antarnegara. Bagi negara seperti Indonesia, penerapan CFC Rules menunjukkan komitmen pemerintah dalam menjaga basis pajak dan menciptakan sistem perpajakan yang adil dan efisien.









