World Bank Prediksi Potensi Pajak Karbon Indonesia Hanya 200 Milliar Rupiah, Benarkah?

World Bank memperkirakan bahwa implementasi pajak karbon di Indonesia pada tahun pertamanya hanya akan menghasilkan tambahan penerimaan pajak senilai Rp200 miliar. Indonesia, sebagai salah satu penghasil emisi karbon terbesar di dunia, memiliki potensi besar dalam pengelolaan emisi melalui pajak karbon. Implementasi pajak karbon diharapkan dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dan mendorong industri untuk lebih ramah lingkungan. Saat ini, pasar karbon di Indonesia masih dalam tahap awal pengembangan, namun diharapkan dapat menjadi salah satu pasar karbon terbesar di Asia. Urgensi penerapan pajak karbon semakin mendesak mengingat perubahan iklim yang semakin parah dan komitmen Indonesia dalam mencapai target iklim global.

 

Tarif Pajak Karbon yang Rendah

 

Tarif pajak karbon yang rendah ini diperkirakan hanya memberikan dampak kecil terhadap pendapatan negara dan pengurangan emisi dalam jangka pendek. Sebagai perbandingan, Singapura mengenakan pajak karbon dengan tarif USD25 atau sekitar Rp406.740 per ton CO2 ekuivalen. Di tahun pertama implementasinya, pajak karbon di Indonesia hanya akan dikenakan pada badan yang bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Namun, mayoritas batu bara diekspor ke luar negeri sehingga banyak yang lolos dari pengenaan pajak karbon ini.

 

Ekspor Batu Bara yang Mendominasi

 

Sekitar 80% batu bara Indonesia diekspor ke luar negeri, sedangkan sisanya digunakan oleh sektor energi dalam negeri. Meskipun pajak karbon belum sepenuhnya diimplementasikan, World Bank melihat bahwa adanya klausul pajak karbon dalam UU HPP menunjukkan komitmen Indonesia untuk mencapai nationally determined contribution (NDC) pada 2030 dan net zero emission pada 2060. Peraturan pelaksanaan pajak karbon telah disiapkan, menegaskan kembali komitmen Indonesia terhadap instrumen pajak karbon.

 

Baca juga: Ketentuan Pajak Karbon di Indonesia Beserta Contoh Penghitungannya

 

Roadmap Pajak Karbon

 

Pemerintah Indonesia telah memiliki roadmap untuk penerapan pajak karbon. Sektor pembangkit listrik menjadi sasaran utama penerapan pajak karbon, demikian disampaikan oleh Deputi Bidang Pengembangan Usaha BUMN, Riset, dan Inovasi Kemenko Perekonomian. Setelah itu, implementasi pajak karbon akan difokuskan pada sektor transportasi yang menggunakan bahan bakar fosil. Penggunaan pajak karbon di kedua sektor ini diharapkan dapat mencakup sekitar 71% jumlah emisi dari sektor energi, yaitu 48% dari pembangkit listrik dan 23% dari transportasi. Ini sekitar 39% dari total emisi di Indonesia.

 

Komitmen Terhadap Emisi Nol Bersih

 

Meskipun penerapan pajak karbon belum optimal, Indonesia menunjukkan keseriusannya dalam mengurangi emisi dengan menetapkan regulasi yang mendukung penggunaan instrumen pajak karbon. Dengan peraturan pelaksanaan yang telah disiapkan, Indonesia menegaskan kembali komitmennya untuk mengurangi emisi dan mencapai target iklim yang telah ditetapkan.

 

Sebagai tambahan informasi, perlu diketahui bahwa pajak karbon adalah salah satu instrumen ekonomi yang digunakan banyak negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Pajak ini bekerja dengan memberi harga pada emisi karbon dioksida, sehingga mendorong perusahaan untuk mengurangi emisi mereka atau membayar pajak tambahan. Dengan tarif pajak karbon yang lebih tinggi, dampaknya terhadap pengurangan emisi bisa lebih signifikan.

 

Baca juga Berita dan Artikel Pajakku lainnya di Google News