Akhir-akhir ini, maraknya isu tentang sulitnya memiliki rumah, khususnya bagi Generasi Z (Gen Z) membuat pemerintah mengeluarkan wacana untuk memberikan skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR) flat selama 35 tahun. Wacana ini menarik, karena di satu sisi ini menjadi salah satu cara untuk masyarakat kelas menengah agar bisa memiliki rumah. Akan tetapi, di sisi lain, wacana ini juga menuai kontra bagi yang menilai tenor yang terlalu panjang.
Wacana KPR flat selama 35 tahun itu dilontarkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Melalui Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum Kementerian PUPR, Herry Trisaputra Zuna, diketahui implementasi KPR flat 35 tahun rencana akan dimulai pada tahun 2024 ini. Herry mengatakan, tahun ini diharapkan sudah ada pilot project sebelum nantinya akan diusulkan ke Kementerian Keuangan.
Program KPR flat selama 35 tahun ini menurut Herry juga menjadi salah satu modifikasi dari penyaluran rumah subsidi melalui skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Herry menilai, KPR dengan tenor panjang ini dapat dievaluasi dalam proses implementasinya, termasuk menghimpun masukan dari penerima manfaat dan stakeholder terkait.
Baca juga: PMK 120/2023: Insentif PPN DTP untuk Rumah Tahun 2023 Beserta Simulasinya
KPR flat selama 35 tahun adalah jenis pinjaman yang disediakan oleh bank atau lembaga keuangan lainnya kepada individu dengan tujuan untuk memiliki rumah dengan tenor 35 tahun. Program ini memberikan jangka waktu pembiayaan yang lebih panjang dibandingkan dengan tenor KPR pada umumnya.
Bagi milenial dan generasi Z, skema pembiayaan KPR flat 35 tahun ini dapat memberikan keleluasaan dalam mengelola anggaran bulanan, khususnya bagi mereka yang baru memasuki dunia kerja atau memiliki keterbatasan finansial. Dengan tenor yang lebih panjang, angsuran bulanan KPR flat 35 tahun dapat menjadi lebih terjangkau bagi kaum muda yang masih dalam tahap memulai karir. Dengan angsuran yang lebih terjangkau, skema ini dapat memberikan stabilitas finansial dan memungkinkan mereka untuk mengalokasikan dana untuk kebutuhan yang lain.
Akan tetapi, ada hal yang perlu diwaspadai. Meskipun angsuran bulanan lebih terjangkau, total biaya bunga yang dibayarkan selama 35 tahun bisa jadi akan lebih tinggi. Selain itu, skema pembayaran dengan tenor yang panjang ini berimplikasi kreditur akan semakin lama menanggung beban kredit. Hal inilah yang menjadi tidak menguntungkan apalagi bagi yang baru mengajukan KPR di masa pensiun.
Baca juga: Ingin Beli Rumah? Ketahui Perbedaan KPR dan KTA Dahulu
Pengambilan Keputusan untuk tenor panjang seperti itu harus disertai dengan pemahaman mendalam tentang risiko serta tanggung jawab finansial jangka panjang. Pemerintah harus bisa memastikan program ini memang benar-benar memberikan solusi bagi kelas menengah yang ingin memiliki hunian pribadi. Skema KPR flat 35 tahun harus dibuat dengan fleksibel dan terjangkau agar masyarakat bisa menyesuaikan dengan kondisi keuangannya.
Wacana KPR flat 35 tahun ini pun menuai respon dari pengembang perumahan. Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (DPP REI) Joko Suranto menyatakan pada dasarnya regulasi KPR flat 35 tahun sangat realistis untuk dilaksanakan. Apalagi skema ini dapat mendongkrak akses kepemilikan rumah bagi masyarakat.
Akan tetapi, Joko menilai implementasi skema tersebut akan terganjal dengan payung hukum yang lemah, mengingat saat ini ketentuan mengenai Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) hanya berlaku selama 30 tahun. Menurut Joko, harus ada perubahan ketentuan perundang-undangan mengenai SHGB sebelum skema KPR flat 35 tahun itu diterapkan.
Selain itu, pemerintah juga harus memperhatikan sisi finansial perbankan selaku pemberi jasa pembiayaan. Pasalnya, panjangnya tenor KPR akan berdampak langsung pada kinerja industri keuangan nasional. Joko khawatir penerapan skema KPR flat 35 tahun akan berdampak pada lonjakan dana kelolaan jangka pendek yang dilakukan perbankan untuk menutupi pembiayaan jangka panjang (maturity mismatch).
DPP REI juga mengusulkan implementasi KPR flat 35 tahun akan lebih baik diikuti dengan penerapan alternatif pendampingan pembiayan, bukan hanya mengandalkan suntikan APBN yang selama ini dilakukan. Oleh karena itu, pemerintah sebagai pemangku kebijakan harus benar-benar mempertimbangkan wacana yang cukup penting ini dari berbagai aspek.









