Belakangan, siang terasa makin terik, malam tak lagi sejuk, bahkan pendingin ruangan pun terasa kurang membantu. Fenomena ini bukan sekadar perasaan, melainkan jelas terbukti dengan data.
Data menunjukkan suhu udara di berbagai kota di Indonesia terus meningkat, bahkan sudah mencapai rata-rata 33°C di beberapa wilayah. Kondisi ini menjadi bukti nyata bahwa pemanasan global semakin dirasakan masyarakat.
Di tengah meningkatnya suhu udara, pemerintah pun telah menyiapkan kebijakan yang bisa menjadi salah satu solusi jangka panjang, yakni pajak karbon. Meski terdengar tak berkorelasi, kebijakan ini bisa memengaruhi fenomena tersebut.
Pemanasan global terjadi karena meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca, terutama karbon dioksida (CO₂), di atmosfer. Gas ini dilepaskan dari aktivitas manusia, seperti pembakaran bahan bakar fosil, pembangkit listrik, dan kendaraan bermotor.
CO₂ yang terperangkap di atmosfer membuat panas matahari tidak bisa dipantulkan kembali ke luar angkasa, sehingga suhu bumi meningkat. Fenomena ini dikenal sebagai efek rumah kaca.
Baca Juga: Uni Eropa Bakal Terapkan Pajak Karbon CBAM, Apa Dampaknya bagi Indonesia?
Pajak Karbon sebagai Instrumen Pengendalian
Untuk menahan laju pemanasan global, pemerintah telah menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada 2030, menuju net zero emission (NZE) paling lambat tahun 2060. Sektor energi, transportasi, dan kehutanan menjadi prioritas utama karena menyumbang sekitar 97% dari total target penurunan emisi nasional.
Salah satu instrumen utama yang digunakan adalah pajak karbon, yaitu pajak atas emisi karbon dioksida ekuivalen (CO₂e) yang berdampak negatif bagi lingkungan. Pajak ini dikenakan pada orang atau badan usaha yang membeli barang mengandung karbon (misal bahan bakar fosil) atau melakukan kegiatan yang menghasilkan emisi karbon, termasuk dari sektor industri, transportasi, energi, dan pertanian.
PP 40/2025: Memperkuat Kebijakan Energi dan Pajak Karbon
Presiden Prabowo Subianto juga telah menandatangani Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (PP 40/2025), yang mengatur arah kebijakan energi nasional untuk mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca dan NZE 2060.
Salah satu poin penting PP 40/2025 adalah pengenaan pajak karbon terhadap pemanfaatan energi tak terbarukan, seperti batu bara, bahan bakar minyak, dan gas alam. Pengenaan pajak dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup (Pasal 83 ayat 1).
PP 40/2025 juga menekankan pemberian insentif atau pembayaran berbasis kinerja (mekanisme nilai ekonomi karbon/NEK) bagi pihak yang berupaya mengurangi emisi GRK di sektor energi.
Insentif ini bisa diberikan kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun badan usaha yang melakukan kegiatan penyediaan energi dan pemanfaatan energi dengan memperhatikan efisiensi dan rendah karbon.
Baca Juga: Pengaruh Kebijakan Pajak Karbon Terhadap Industri Manufaktur
Selain itu, PP 40/2025 mengatur pemberian insentif fiskal bagi penyedia dan pengguna energi, termasuk keringanan Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), kepabeanan, retribusi, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Insentif ini bertujuan mendorong:
- Diversifikasi sumber energi;
- Pengembangan energi baru dan energi terbarukan;
- Efisiensi dan konservasi energi;
- Penerapan teknologi rendah karbon; serta
- Penyediaan energi di wilayah tertinggal, terdepan, terluar, terpencil, dan pulau kecil berpenduduk.
PP 40/2025 mulai berlaku sejak 15 September 2025, sekaligus mencabut Peraturan Presiden No. 79 Tahun 2014. Dengan demikian, kebijakan pajak karbon kini terintegrasi dalam strategi energi nasional yang lebih komprehensif.
Mekanisme Pelaksanaan, Pelunasan, dan Pelaporan Pajak Karbon
Tarif pajak karbon ditetapkan sama atau lebih tinggi dari harga karbon di pasar domestik, dengan nilai minimum Rp30 per kilogram CO₂e. Pajak dikenakan pada pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.
Pelunasan pajak karbon bisa dilakukan langsung oleh wajib pajak atau melalui pemungut pajak karbon, yaitu orang pribadi atau badan yang ditunjuk untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak karbon terutang. Wajib pajak dan pemungut pajak karbon diwajibkan menyelenggarakan pencatatan atas aktivitas yang menghasilkan emisi karbon atau penjualan barang yang mengandung karbon.
Untuk pelaporan, wajib pajak yang menghasilkan emisi karbon wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan Pajak Karbon) paling lambat empat bulan setelah akhir tahun kalender. Pemungut pajak karbon, di sisi lain, wajib menyampaikan SPT Masa Pajak Karbon paling lambat 20 hari setelah masa pajak berakhir. Kedua jenis laporan ini wajib disampaikan dalam bentuk dokumen elektronik.









