Per 1 Januari 2026, Uni Eropa (UE) bakal memberlakukan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM), sebuah pajak karbon lintas batas yang dikenakan pada produk impor beremisi tinggi.
Penerapan CBAM akan berdampak langsung pada sejumlah negara eksportir, termasuk Indonesia. Salah satu sektor yang paling berpotensi terdampak adalah industri besi dan baja, yang kini menjadi salah satu komoditas ekspor unggulan Indonesia ke pasar global.
Apa Itu CBAM?
CBAM adalah mekanisme penyesuaian karbon yang mewajibkan importir membayar biaya tambahan sesuai jejak emisi karbon dari produk yang mereka bawa ke Uni Eropa. Harga sertifikat CBAM akan mengikuti EU Emissions Trading System (ETS) dan setara dengan jumlah emisi yang terverifikasi.
Tujuan kebijakan ini adalah mencegah kebocoran karbon (carbon leakage), yaitu ketika industri berpindah ke negara dengan aturan karbon lebih longgar atau ketika produk UE tergantikan oleh produk impor beremisi tinggi. Dengan begitu, baik produsen dalam negeri maupun produk impor akan diperlakukan setara dari sisi beban karbon.
Pada tahap awal, CBAM akan berlaku untuk enam sektor utama, yaitu besi dan baja, aluminium, semen, pupuk, hidrogen, serta listrik. Periode transisi sudah dimulai sejak Oktober 2023 hingga akhir 2025, di mana importir hanya diwajibkan melaporkan emisi produk.
CBAM akan berlaku penuh mulai 1 Januari 2026, ketika sertifikat wajib dibeli dan diserahkan.
Bagaimana Posisi Indonesia?
Indonesia menempati peringkat ke-12 di antara negara G20 dengan ekspor produk yang berisiko terdampak CBAM. Produk paling rentan adalah besi dan baja dengan nilai ekspor sekitar USD 1 miliar serta aluminium senilai USD 60 juta.
Data Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA) mencatat bahwa pada 2022 Indonesia mengekspor 975 ribu ton baja ke Uni Eropa dengan nilai USD 1,04 miliar, atau hanya sekitar 4–7% dari total ekspor baja nasional.
Meski relatif kecil, pasar UE tetap strategis karena menjadi tujuan ekspor terbesar ke-3 berdasarkan volume dan ke-5 berdasarkan nilai, dengan pertumbuhan ekspor rata-rata 30–34% per tahun.
Dengan tren tersebut, UE sebenarnya adalah pasar menjanjikan bagi baja Indonesia. Namun, penerapan CBAM bisa mengubah peta persaingan.
Baca Juga: Pengaruh Kebijakan Pajak Karbon Terhadap Industri Manufaktur
Dampak CBAM bagi Indonesia
CBAM akan menambah biaya ekspor komoditas utama Indonesia, seperti besi, baja, dan aluminium. Berdasarkan simulasi IISIA, dengan data emisi produsen baja nasional tahun 2019 dan volume impor 2022, nilai sertifikat CBAM bisa mencapai €383 juta, atau sekitar €390 per ton baja.
Angka tersebut membuat produk baja Indonesia sulit bersaing dengan baja Eropa maupun negara lain yang sudah berproduksi rendah emisi. Ini terjadi karena mayoritas produsen baja nasional masih menggunakan proses berbasis batubara (coal-based ironmaking) yang menghasilkan emisi tinggi, terutama untuk produk pelat baja karbon dan stainless steel.
Lebih jauh, dampak CBAM tidak hanya dirasakan di pasar UE, tetapi juga bisa berimbas ke Tiongkok dan Taiwan yang menjadi pasar utama baja Indonesia. Pasalnya, sebagian produk baja Indonesia diolah lebih lanjut di kedua negara tersebut sebelum diekspor kembali ke Uni Eropa. Jika CBAM berlaku penuh, rantai ekspor ini juga akan terkena dampak.
Peluang Melalui Green Steel
Meskipun penuh tantangan, CBAM juga membuka peluang baru. Indonesia memiliki kapasitas produksi baja berbasis Electric Arc Furnace (EAF) berbahan baku scrap dengan emisi karbon jauh lebih rendah, hanya 0,4 ton CO₂ per ton baja, bahkan bisa ditekan hingga 0,1 ton CO₂ bila menggunakan energi bersih.
Saat ini, kapasitas nasional untuk jalur EAF mencapai 6 juta ton, namun utilisasinya masih rendah akibat keterbatasan pasokan scrap dan kelebihan kapasitas di segmen tertentu. Jika dioptimalkan, baja berbasis EAF berpotensi menjadi green steel yang sangat diminati pasar global, termasuk Uni Eropa pasca-CBAM.
Apa yang Bisa Dilakukan Indonesia?
Agar produk baja nasional tetap kompetitif, diperlukan langkah strategis:
- Mendorong transisi ke produksi rendah emisi melalui investasi teknologi bersih dan pemanfaatan EAF.
- Meningkatkan pasokan bahan baku scrap, yang menjadi kunci produksi green steel.
- Kolaborasi pemerintah dan industri untuk menyiapkan kebijakan pendukung, termasuk insentif fiskal, kemudahan impor scrap, serta dukungan pembiayaan transisi energi.
- Diversifikasi pasar ekspor agar tidak terlalu bergantung pada UE, sembari tetap mengembangkan pasar yang mulai mensyaratkan produk ramah lingkungan.
Pajak Karbon di Indonesia
Menariknya, Indonesia sendiri sejatinya juga sudah memulai penerapan pajak karbon sebagai bagian dari komitmen menekan emisi gas rumah kaca sesuai target Perjanjian Paris. Pajak karbon diatur dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Beberapa ketentuan utama pajak karbon di Indonesia, antara lain:
- Subjek pajak: badan atau pelaku usaha yang menghasilkan emisi karbon, misalnya di sektor energi, industri, dan transportasi.
- Objek pajak: emisi karbon dioksida (CO₂) atau setara CO₂ dari aktivitas ekonomi.
- Tarif pajak: Rp30 per kilogram CO₂e.
- Pelaporan & pembayaran: wajib pajak harus melaporkan emisi secara berkala dan membayar sesuai volume emisi yang dihasilkan.
Sebagai contoh, jika sebuah pembangkit listrik menghasilkan 10.000 ton emisi CO₂e per tahun, maka setelah dikonversi ke kilogram (10 juta kg) dan dikalikan tarif Rp30/kg, pajak yang harus dibayar mencapai Rp300 juta per tahun.
Penerapan pajak karbon ini bukan tanpa tantangan. Pemerintah perlu memastikan kepatuhan pelaku usaha, kesiapan infrastruktur pengukuran emisi, hingga menjaga daya saing industri. Namun di sisi lain, pajak karbon juga membuka peluang: mendorong investasi teknologi hijau, memperluas pasar produk ramah lingkungan, serta mendanai proyek lingkungan seperti reboisasi atau energi terbarukan.
Baca Juga: Ketentuan Pajak Karbon di Indonesia Beserta Contoh Penghitungannya
FAQ Seputar Pajak Karbon CBAM dan Dampaknya bagi Indonesia
1. Apa itu CBAM Uni Eropa?
CBAM (Carbon Border Adjustment Mechanism) adalah mekanisme pajak karbon lintas batas yang diterapkan Uni Eropa untuk produk impor beremisi tinggi. Kebijakan ini bertujuan menekan kebocoran karbon sekaligus mendorong industri global beralih ke produksi ramah lingkungan.
2. Kapan CBAM mulai berlaku penuh?
CBAM sudah memasuki masa transisi sejak Oktober 2023 hingga akhir 2025, di mana importir wajib melaporkan emisi produk. Penerapan penuh dimulai pada 1 Januari 2026, ketika importir harus membeli dan menyerahkan sertifikat CBAM.
3. Sektor apa saja yang terdampak CBAM?
Tahap awal CBAM mencakup enam sektor, yaitu: besi dan baja, aluminium, semen, pupuk, hidrogen, dan listrik.
4. Bagaimana dampak CBAM terhadap Indonesia?
Indonesia berisiko terdampak terutama pada sektor besi dan baja, dengan nilai ekspor ke UE mencapai lebih dari US$1 miliar. Biaya tambahan dari sertifikat CBAM bisa membuat produk Indonesia kalah bersaing dengan baja dari negara yang lebih ramah lingkungan.
5. Apakah Indonesia punya kebijakan pajak karbon sendiri?
Ya. Indonesia telah memperkenalkan pajak karbon melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sejak 2021. Pajak ini berlaku untuk emisi karbon di sektor energi, industri, dan transportasi dengan tarif Rp30 per kilogram CO₂e.









