Sri Mulyani Hadapi Sektor Perpajakan yang Terdampak COVID-19

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa terdapat beberapa tantangan yang dihadapi pemerintah dalam menjaga perekonomian nasional pada tahun 2021. Adapun salah satu dari tantangan dalam menarik penerimaan negara yang berasal dari pajak. Hal tersebut menjadi sebuah tantangan, dikatakan Sri Mulyani karena pemerintah masih dapat menerapkan program pemulihan ekonomi dari dampak yang ditimbulkan oleh pandemi corona virus disease 2019 atau yang secara lebih umum dikenal dengan covid-19.

Dalam postur APBN 2021, penerimaan negara yang ditargetkan adalah 9,90 sampai dengan 11 persen terhadap PDB, penerimaan dari perpajakan sekitar 8,25 sampai dengan 8,69 persen. Sementara dari PNBP mencapai pada kisaran 1,60 sampai dengan 2,30 persen, dan hibah dengan kisaran antara 0,05 sampai dengan 0,07 persen terhadap PDB. Sedangkan belanja negara ditargetkan berada pada kisaran sebesar 13,11 sampai dengan 15,17 persen, dengan detil belanja pusat berada pada kisaran antara 8,81 sampai dengan 10,22 persen, sementara anggaran transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) berada pada kisaran 4,30 sampai dengan 4,85 persen terhadap PDB.

Sebelumnya, Kepala BKF Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan bahwa terdapat beberapa strategi yang direncanakan untuk dijalankan oleh pemerintah dalam mengejar target penerimaan perpajakan di tahun 2021. Ia menjelaskan bahwa dalam reformasi perpajakan tersebut, pemerintah akan menurunkan tarif PPh badan dari yang awalnya berada pada 25 persen, menurun menjadi 22 persen dan akan mengalami penurunan lagi menjadi 20 persen. Akan tetapi, keputusan tersebut dipastikan akan menurunkan penerimaan. Namun, dalam jangka panjang, langkah tersebut dapat menambah subjek pajak di Indonesia.

Adapun upaya pemerintah untuk menjaga keseimbangan di tengah masa pemulihan ekonomi yang terpukul dikarenakan pandemi corona virus disease 2019 atau yang lebih dikenal secara umum dengan sebutan covid-19. Adapun tujuan dari langkah tersebut adalah untuk menjaga keberlangsungan usaha. Terlepas dari hal-hal tersebut, walaupun Kementerian Keuangan telah menerima surat dari the United States Trade Representative, langkah untuk memberlakukan pajak pertambahan nilai pada perdagangan melalui sistem elektronik tetap dilakukan. Surat tersebut menjadi sebuah gambaran dari kegusaran Presiden Trump ketika mengetahui bahwa sejumlah negara termasuk Indonesia akan mulai melakukan pemungutan pajak pada perusahaan digital yang berasal dari Amerika Serikat.

USTR memberikan ungkapannya bahwa mereka akan menjalankan investigasi kepada para negara tersebut, seperti contohnya adalah Inggris, India, Indonesia, Brasil, dan Turki. Presiden Amerika Serikat, Donald J. Trump berpendapat bahwa pajak digital tersebut tidak adil dan memiliki sifat diskriminatif. Jika hasil dari investigasi USTR berhasil membuktikan kecurigaan Presiden Amerika Serikat tersebut, maka Donald J. Trump akan mengambil langkah pembalasan dengan melakukan penerapan tarif perdagangan tahun ini. Walaupun begitu, pada bulan Juni lalu, Sri Mulyani membantah bahwa penerapan dari Pajak Pertambahan Nilai sebagai sumber permasalahan yang disuarakan oleh pemerintah AS dan USTR, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan penegasan bahwa penerapan pajak digital yang dilakukan di Indonesia tidak dipermasalahkan oleh pemerintahan Amerika Serikat.