Awal tahun 2022, sektor pajak Indonesia memberi kabar positif. Setoran pajak berhasil tumbuh positif mencapai 59,39% atau sekitar Rp109,11 triliun. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati membenarkan fakta tersebut dengan menyatakan hal ini dapat menjadi bentuk pemulihan ekonomi Indonesia, masih berlanjut dan akan menjadi cukup kuat. Hal ini ia nyatakan sebagai prestasi yang sangat baik.
Penerimaan negara tumbuh 54,9% atau Rp156 triliun (year on year/yoy) dan bea cukai mencapai Rp24,9 triliun atau tumbuh 99,4%. Sementara itu data belanja negara mencapai kontraksi 13% atau Rp127,2 triliun. Penurunan ini disebabkan oleh rendahnya belanja negara, karna kecilnya realisasi dari belanja Kementerian Lembaga (KL) dan dana desa.
Pada Januari 2022, APBN mengalami surplus atas keseimbangan primer maupun total. Hal ini merupakan pembalikan luar biasa dengan adanya keseimbangan primer surplus Rp49,4 triliun. Atas pencapaian tersebut, APBN pada Januari 2022 mencatat surplus 0,16% atau Rp28,9 triliun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Keseimbangan primer mencapai surplus Rp49,4 triliun, kemudian SILPA masih tersisa Rp25,9 triliun. PPh 21 atau PPh karyawan memberi kontribusi sebesar 16,7% pada penerimaan pajak tahun 2022 dan tumbuh 27,9%.
Dengan segala capaian ini, Sri Mulyani mengakui hal ini dipengaruhi oleh rendahnya basis pajak di tahun sebelumnya akibat dari pandemi Covid-19. Namun, di sisi lain, masih ada yang menopang penerimaan negara dan membantu pemulihan ekonomi, seperti PPN dan PPnBM yang menampilkan kegiatan ekonomi tumbuh tinggi. Pertumbuhan penerimaan terjadi di hampir semua jenis di sektor pajak. Pajak Penghasilan Non-minyak dan gas (PPh non-migas) sebagai kontribusi terbesar dalam pertumbuhan tinggi perpajakan, secara persentase, kenaikan PPh Migas merupakan penyumbang peningkatan pajak terbesar.
Sri Mulyani menilai kenaikan penerimaan pajak terjadi karena pemulihan ekonomi, ditambah dengan Purchasing Managers Index (PMI) yang membaik, kenaikan harga komoditas, dan aktivitas ekspor impor. Peningkatan luar biasa tinggi ini menurutnya patut disyukuri, namun perlu diwaspadai, karena kenaikan tidak terus menerus berlangsung. Akan terdapat faktor-faktor lain yang memengaruhi profil penerimaan negara. Salah satu faktornya ialah low–based effect, yaitu catatan penerimaan pajak yang rendah di Januari 2021 akibat adanya pandemi Covid-19.
Hal ini juga menandakan adanya perbaikan dari pemanfaatan tenaga kerja. Terlihat dari sisi tingkat unemployment atau pengangguran yang menurun, serta adanya pembayaran bonus akhir tahun karyawan.
Kemudian, tingginya harga komoditas tidak akan selalu berlangsung, terdapat kemungkinan perubahan kondisi penerimaan pada beberapa waktu mendatang. Tingginya harga migas membuat penerimaan PPh migas melonjak tinggi dan tidak akan terus terjadi. Meskipun begitu, ia tetap iptumu penerimaan pajak tahun ini akan tetap positif karna adanya implementasi dari Undang-Undang Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).









