Sesuaikah Perpajakan Indonesia Dengan Global Taxation?

Pajak global menjadi isu perpajakan terkini. Pasalnya dengan akan diadakannya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 2022 dimana Indonesia menjadi presidensi, tepatnya yang akan diselenggarakan pada bulan Oktober mendatang di Bali, Indonesia telah sepatutnya menjadi contoh bagi negara-negara lainnya guna mengimplementasikan mekanisme perpajakan Indonesia dengan ketentuan pada pajak global. 

Perpajakan global atau yang kerap disebut global taxation merupakan suatu mekanisme penentuan Pajak Penghasilan (PPh) yang memungut pajak atas segala jenis pendapatan tanpa mencermati karakteristik atau ciri-ciri, asal, ataupun jenis pendapatan yang wajib pajak dapatkan. Hal tersebut mengindikasi bahwa mekanisme perpajakan ini mengenakan PPh berdasarkan pada konsep akresi (accretion concept).  

Menurut Glossary of Tax Terms OECD, global income tax merupakan sistem PPh yang menyatukan seluruh penerimaan dari semua sumber pada tingkat individu (unit keluarga). Yang mana pendapatan tersebut akan dikenakan pajak berdasarkan pada tarif progresif.  

 

Proposal Pajak Global  

BEPS (Base Erosion and Profit Shifting) atau kerap disebut Proposal Pajak oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) dibentuk bersama dengan G20-Inclusive Framework dalam rangka membentuk payung hukum yang jelas dengan maksud guna menaikkan efektivitas, keadilan, dan meminimalisir penghindaran pemajakan terhadap perusahaan-perusahaan multinasional di dunia. Dimana proposal ini terdiri atas dua pilar dasar pemajakan atas ekonomi digital yang disepakati pada 1 Juli 2021. Salah satunya pada KTT G20 diterbitkan kesepakatan berupa penetapan pajak minimum global bagi perusahaan multinasional yaitu dengan tarif 15%. Kesepakatan ini per Oktober 2021 telah disepakati oleh 136 negara yuridiksi anggota IF dan akan mulai berlaku pada tahun 2023 mendatang.  

 

Pilar 1 OECD 

Jika dipaparkan lebih lanjut, pilar 1 OECD yaitu Unified Approach yang mengatur tentang pemajakan pada ekonomi digital. regulasi ini penting lantaran pada era serba digital saat ini telah banyak terjadi transaksi ekonomi berbasis digital yang kerap kali dengan mudah dapat menghindar dari perpajakan. Pilar ini memberikan manfaat berupa keadilan bagi negara, dimana hak pemajakan negara sumber tidak lagi terhalang regulasi terkait BUT. Sebelumnya berdasarkan OECD Model, ketentuan terkait keberadaan Bentuk Usaha Tetap (BUT), yaitu ditentukan dari apakah ada atau tidak tempat usaha (the place of business test) dan apakah tempat usaha dibangun fisiknya di suatu lokasi tertentu di negara sumber atau tidak (location test).  

Pilar 1 ini sudah diterapkan di Indonesia sejak 1 Juli 2020 lewat pemungutan PPN PMSE. Perpajakan terhadap perdagangan JKP dan BKP Tidak Berwujud pada Indonesia oleh BUT sudah dibuat regulasi nan mengikatnya. Dimana atas transaksi itu bisa dikenai PPN dan PPh. PPh dipungut atas pendapatan SPLN yang didapat di dalam daerah pabean. Regulasi  PPN PMSE tersebut diatur pada UU RI No. 2 Tahun 2020 yang disahkan pada 31 Maret 2020.  

 

Pilar 2 OECD 

Selanjutnya, pilar kedua OECD merumuskan terkait Global Minimum Tax atau penentuan besaran persentase tarif minimum yaitu sejumlah 15% untuk PPh Badan. Pilar 2 ini mempunyai manfaat penting dalam rangka mengurangi kompetisi tarif pajak (race on the bottom) dan juga melindungi dasar pajak dengan dibuatnya tarif PPh Badan minimum yang efektif secara global. 

Pilar 2 ini mengandung dua usulan kebijakan, yaitu Global anti-Base Erosion Rules (GloBE) dan Subject to Tax Rule (STTR).  

1. Global anti-Base Erosion Rules (GloBE) 

Kebijakan GloBE menetapkan tarif efektif terhadap pajak minimum untuk perusahaan multinasional sebesar 15% yang ditinjau dari negara domisili. Kebijakan ini membawa dampak ke arah yang lebih positif yaitu dapat menghindari perang tarif antar negara. 

Hal ini menguntungkan bagi Indonesia, sebab sejak tahun 2010-2019 Indonesia sudah menerapkan tarif  PPh Badan yaitu 25%. Selanjutnya, menurut UU No. 2 Thn. 2020, untuk tahun berikutnya yaitu 2020 dan 2021 diberlakukan pengurangan tarif untuk WP Badan DN dan BUT yaitu 22%, serta mengalami degradasi lagi sebanyak 20% untuk tahun berikutnya. Namun, pada regulasi teranyar yang disahkan 7 Oktober 2021 lalu, yaitu RUU HPP menetapkan tarif tahun 2022 PPh Badan sama seperti tahun sebelumnya, yaitu naik menjadi 22%. Angka-angka persentase tarif tersebut telah memenuhi angka minimum tarif yang disepakati dalam pilar 1.  

2. Subject to Tax Rule (STTR) 

Sementara itu, STTR menetapkan tarif efektif terhadap pajak minimum sebesar 15% yang ditinjau dari negara sumber serta tarif witholding penuh bisa dipakai di P3B tanpa mendapat reduce rate jika pemeroleh pendapatan di negara lain ternyata tidak membayar pajak di negara tempat tinggalnya. 

Sementara di Indonesia, masih dapat memberikan tax treaty atau P3B. Namun, pada PER-10/PJ/2017 yang mulai berlaku 1 Agustus 2017 membatasi terkait pemberian tax treaty atau P3B hanya jika sudah memenuhi 6 syarat terhadap Subjek Pajak Luar Negeri.