Sembako Ingin Dijadikan Objek Pajak?

Baru-baru ini dikabarkan bahwa pemerintah Indonesia berencana untuk menjadikan sembako sebagai objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang artinya sembako akan dikenakan atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Rencana ini berdasarkan dengan adanya draf Revisi Undang-Undang (RUU) Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Kabarnya, pengenaan pajak atas sembako ini diatur dalam Pasal 4A draf Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 6.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan sebuah pungutan yang dibebankan atas adanya transaksi jual beli barang atau jasa yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) kepada pihak yang menerima barang atau jasa tersebut, yaitu konsumen akhir.

Dalam draf Revisi Undang-Undang (RUU) KUP Pasal 4A tersebut, dikatakan bahwa pemerintah akan menghapus beberapa jenis barang yang tadinya dianggap tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Beberapa kelompok barang yang dimaksudkan tersebut diantaranya adalah barang hasil pertambangan atau dari hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya. Selain itu, barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak juga akan dihapuskan dan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sebelumnya, kebijakan yang mengatur dan menegaskan bahwa sembako atau yang termasuk ke dalam jenis kebutuhan pokok tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 116/PMK.010/2017.

Barang-barang pokok tersebut meliputi:

  1. Beras dan gabah
  2. Jagung
  3. Sagu
  4. Kedelai
  5. Garam untuk dikonsumsi
  6. Daging
  7. Telur
  8. Susu
  9. Buah-buahan
  10. Sayur-sayuran
  11. Ubi-ubian
  12. Bumbu-bumbuan
  13. Gula untuk dikonsumsi

Sedangkan yang dimaksudkan dengan hasil pertambangan dan pengeboran meliputi:

  1. Emas
  2. Batu bara
  3. Minyak dan gas bumi
  4. Hasil mineral bumi lainnya

Untuk jenis-jenis barang yang termasuk sembako tersebut, pemerintah rencananya akan menetapkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% (dua belas persen).

Dalam draf Revisi Undang-Undang (RUU) KUP, selain sembako ternyata pemerintah juga berencana untuk menambah jenis jasa yang sebelumnya dikecualikan atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Berikut merupakan jenis jasa yang dimaksudkan, yaitu:

  1. Jasa pelayanan kesehatan media
  2. Jasa pelayanan sosial
  3. Jasa pelayanan pengiriman surat dan perangko
  4. Jasa pelayanan keuangan
  5. Jasa pelayanan asuransi
  6. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan
  7. Jasa angkutan umum yang berada di darat, air, dan udara di dalam dan di luar negeri
  8. Jasa tenaga kerja
  9. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam
  10. Jasa pengiriman uang dengan menggunakan wesel pos

Dan berdasarkan dengan draf Revisi Undang-Undang (RUU) KUP tersebut, pemerintah juga menjabarkan terkait tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dikenakan. Rencananya, pemerintah akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang tadinya 10% (sepuluh persen) menjadi 12% (dua belas persen). Hal ini sebagaimana tertulis pada Pasal 7 ayat (1) draf Revisi Undang-Undang (RUU) KUP.

Perubahan pada tarif atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dimaksudkan tersebut nantinya akan diatur dengan Peraturan Pemerintah setelah Pemerintah menyampaikannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk dibahas dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Beragamnya rencana perubahan yang dilakukan dalam kebijakan perpajakan di Indonesia ini berupaya untuk mengadopsi praktik terbaik internasional. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menanggulangi dampak akibat pandemic COVID-19 agar tidak lagi memperburuk keadaan ekonomi negara.