Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) merupakan dasar hukum yang mengatur peran, fungsi, serta pendanaan TNI dalam sistem pertahanan negara. Seiring dengan dinamika geopolitik dan tantangan pertahanan yang semakin kompleks, pemerintah mengusulkan revisi terhadap UU No. 34 Tahun 2004.
Revisi ini tidak hanya bertujuan meningkatkan efektivitas operasional TNI dan menyesuaikan peran militer dalam era modern, tetapi juga mengoptimalkan penggunaan anggaran pertahanan. Salah satu perubahan penting dalam revisi ini adalah penambahan jumlah kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh prajurit aktif, dari 10 menjadi 16 institusi.
Namun demikian, revisi UU ini tidak lepas dari implikasi fiskal. Karena sebagian besar anggaran pertahanan bersumber dari penerimaan pajak, kebijakan ini perlu dikaji lebih dalam dari sisi perpajakan dan keuangan negara.
Dampak Revisi UU TNI terhadap Penerimaan Pajak
1. Peningkatan Kebutuhan Anggaran Pertahanan
Revisi UU TNI berpotensi meningkatkan alokasi anggaran untuk:
- Modernisasi alutsista (Alat Utama Sistem Senjata),
- Kesejahteraan prajurit,
- Operasional dan penguatan kapasitas militer.
Menurut Indonesian Defense Review, lonjakan anggaran ini harus disertai strategi fiskal yang hati-hati agar tidak membebani APBN atau menekan sektor-sektor penting lainnya seperti pendidikan dan kesehatan.
Implikasi fiskal:
- Potensi penyesuaian tarif pajak di masa depan,
- Realokasi anggaran lintas sektor,
- Potensi munculnya defisit jika tanpa manajemen fiskal yang efisien.
Baca juga: Berapakah Pajak yang Dikenakan Atas Penghasilan Tentara?
2. Insentif Pajak bagi Industri Pertahanan
Pemerintah dapat memperluas insentif fiskal bagi industri pertahanan domestik guna mengurangi ketergantungan pada impor alutsista. Menurut Laporan Keuangan Negara 2024, pengurangan beban pajak di sektor ini dapat mendorong pertumbuhan industri strategis, meskipun berpotensi mengurangi penerimaan pajak dalam jangka pendek.
Namun, dalam jangka panjang:
- Pajak korporasi dari industri pertahanan berpotensi meningkat,
- Ekspansi industri pertahanan dapat menciptakan lapangan kerja dan mendorong basis pajak baru.
3. Pengaruh terhadap Pajak Penghasilan (PPh) Prajurit
Jika revisi mencakup peningkatan gaji dan tunjangan prajurit, maka:
- PPh dari prajurit akan meningkat,
- Kontribusi fiskal dari TNI menjadi lebih besar.
Sebaliknya, jika ada pembebasan pajak penghasilan bagi prajurit aktif sebagai bentuk insentif, maka akan ada pengurangan pendapatan negara dari sektor ini. Menurut Kemenkeu, setiap kebijakan pembebasan pajak bagi aparatur negara harus diimbangi dengan diversifikasi sumber pendapatan lain agar tidak mengganggu kestabilan fiskal dan keadilan antar ASN dan TNI.
Implikasi terhadap Struktur Anggaran Pertahanan
1. Perubahan Alokasi dalam APBN
Dengan meningkatnya kebutuhan pembiayaan TNI, alokasi APBN kemungkinan besar akan berubah. Hal ini bisa berdampak pada:
- Pemangkasan anggaran sektor lain (infrastruktur, sosial),
- Potensi inflasi jika pembiayaan dilakukan melalui utang negara.
Menurut Bappenas, belanja pertahanan yang berkelanjutan harus sejalan dengan kebutuhan pembangunan manusia dan daya saing ekonomi nasional.
2. Efisiensi Penggunaan Anggaran
Tujuan revisi UU TNI mencakup peningkatan efisiensi dan transparansi anggaran militer. Berdasarkan Jurnal Strategi Keuangan Publik, efisiensi bisa ditingkatkan melalui:
- Sistem audit digital,
- Pengawasan berbasis kinerja,
- Integrasi teknologi penganggaran.
Jika berhasil, efektivitas anggaran akan meningkat tanpa harus menaikkan pajak atau mengorbankan belanja strategis lainnya.
3. Peluang Pendapatan Tambahan dari Industri Pertahanan
Pengembangan industri pertahanan dapat membuka peluang penerimaan baru melalui:
- Pajak korporasi dari BUMN pertahanan,
- Dividen,
- Ekspor senjata dan komponen militer (dengan regulasi ketat).
Menurut World Bank 2023, negara dengan industri pertahanan kuat dan terkontrol cenderung mendapatkan manfaat ekonomi jangka panjang, baik dari sisi ekspor maupun ketahanan fiskal.
Baca juga: Strategi Prabowo-Gibran Tingkatkan Penerimaan Negara Tanpa Kenaikan Pajak
Tantangan Implementasi
1. Menjaga Keseimbangan Fiskal
Peningkatan anggaran pertahanan harus dikompensasi dengan:
- Optimalisasi penerimaan pajak (tanpa menaikkan tarif),
- Efisiensi pengeluaran,
- Ekspansi basis pajak melalui digitalisasi dan reformasi sistem perpajakan.
Menurut Kajian Ekonomi Makro 2024, penguatan kepatuhan dan pengenaan pajak yang lebih adil menjadi kunci menghindari tekanan fiskal jangka menengah.
2. Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran Pertahanan
Pengawasan terhadap pengelolaan dana militer harus diperketat untuk mencegah:
- Korupsi,
- Pengadaan alutsista tidak efisien,
- Penggunaan dana yang tidak akuntabel.
Menurut Transparency International, sektor pertahanan merupakan salah satu area dengan risiko korupsi tertinggi di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia.
Kesimpulan
Revisi UU TNI membawa konsekuensi fiskal yang nyata, baik dari sisi penerimaan pajak maupun struktur belanja negara. Pemerintah harus cermat menyeimbangkan antara:
- Kebutuhan pertahanan nasional,
- Stabilitas keuangan negara,
- Keadilan dalam sistem perpajakan.
Jika diterapkan dengan perencanaan fiskal yang matang dan transparan, revisi ini berpotensi memperkuat kemandirian pertahanan nasional sekaligus menjaga keberlanjutan pembangunan ekonomi Indonesia.
*) Penulis merupakan penerima beasiswa dari Pajakku. Seluruh isi tulisan ini disusun secara mandiri oleh penulis dan sepenuhnya merupakan opini pribadi. Tulisan ini tidak mencerminkan pandangan resmi Pajakku maupun institusi lain yang terkait.









