​​​​Purbaya Effect, Harapan Baru Kebijakan Fiskal di Indonesia?

Purbaya Yudhi Sadewa, Mantan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan tengah menjadi sosok utama yang sedang tersorot dalam wajah perekonomian Negara. Kehadiran Purbaya sebagai Menteri Keuangan baru pengganti Sri Mulyani Indrawati membuat arah kebijakan perekonomian khususnya perpajakan menjadi berubah. Fenomena baru yang dikatakan sejumlah pengamat memunculkan ‘Purbaya Effect’, sebuah istilah dalam perubahan paradigma pengelolaan fiskal khususnya arah kebijakan perpajakan dan redistribusi ekonomi yang meluas.

Di bawah kepemimpinan Sri Mulyani, perpajakan sangat gencar diterapkan dengan banyaknya aturan yang diupdate mulai dari Undang-Undang, PMK serta PP yang menekankan pada reformasi struktural dan peningkatan kepatuhan pajak. Misalnya adalah munculnya Undang-Undang HPP Tahun 2021 yang memperkenalkan tarif PPh baru, PPN 11% dan berubah menjadi 12% di tahun 2025, PMK 54/2025 tentang Coretax Administration System yang menjadi fondasi transformasi digital DJP menuju sistem perpajakan terpadu dan berbasis big data, serta peraturan lain yang diterapkan. Fokus utama masa kepemimpinan Sri Mulyani adalah dengan cara perluasan basis pajak, peningkatan tax ratio sebagai upaya membangun transparansi publik dalam pengelolaan fiskal negara.

 

Refleksi Fiskal Era Purbaya, Mendorong Likuiditas dan Stabilitas Ekonomi

Masa kepemimpinan Purbaya menjadi ujung tombak refleksi fiskal di Indonesia, banyak langkah yang dilakukan Purbaya sebagai dampak dari fungsi anggaran Redistribusi Fiskal. Purbaya juga menegaskan komitmennya untuk tidak menaikan pajak untuk tahun ini karena akan mengoptimalisasi pengelolaan dana publik dan peningkatan perputaran ekonomi di tingkat nasional dan daerah. 

Salah satu kebijakan penting Purbaya adalah Penempatan dana nganggur 200 triliun ke 5 bank BUMN (HIMBARA) tujuannya untuk meningkatkan likuiditas keuangan perbankan secara nasional untuk mendorong ekonomi masyarakat bisa bangkit. Skema dilakukan dalam bentuk deposito on call baik konvensional/syariah dengan mekanisme tanpa lelang. Lima bank mitra yang menampung dana pemerintah wajib menyampaikan laporan penggunaan atas penempatan uang negara kepada Menteri Keuangan dan Direktur Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan setiap bulan.

Selain itu, pemerintah juga menempatkan dana sisa sebesar 200 miliar ke Bank Pembangunan Daerah (BPD) seperti Bank Jakarta dan Bank Jatim yang sama-sama bertujuan untuk meningkatkan likuiditas keuangan daerah sehingga dapat mendorong percepatan ekonomi lokal dan membawa arah perekonomian nasional menjadi lebih positif.

Namun, di sisi lain pemangkasan transfer ke daerah yang turun sampai 25% dari anggaran semula memicu keresahan bagi kepala daerah terbukti dengan adanya pertemuan audiensi 18 gubernur yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Profesi Seluruh Indonesia (APPSI) ke Menteri Keuangan untuk menanyakan kepastian hal tersebut. Adanya pemotongan tersebut memberatkan daerah dalam membayar biaya daerah seperti gaji untuk pegawai daerah dan memenuhi janji-janji kampanye seperti pembangunan infrastruktur dan jalan karena uang tersebut hanya mampu menutupi belanja rutin saja. Purbaya selaku Menteri Keuangan berjanji bisa mengembalikan TKD kepada daerah jika ada pertumbuhan bagus di daerah tersebut.

 

Sinyal Positif Perpajakan Indonesia 5 Tahun Kedepan

Kebijakan fiskal di bawah kepemimpinan Purbaya memberikan sinyal positif pada perekonomian nasional khususnya untuk 5 tahun ke depan karena menerapkan fiskal yang adaptif dan inklusif. Fokus utamanya bukan hanya meningkatkan penerimaan negara, tetapi digunakan untuk pemerataan dan pertumbuhan ekonomi secara nasional. Meskipun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 ditetapkan targetnya naik 9,8% hingga 3147 Triliun, Purbaya berjanji tidak akan ada pajak baru sepanjang tahun 2026 sebagai inovasi dalam penerimaan negara. Hal ini dimaksud agar tidak memberikan beban baru pada masyarakat.

Pajak yang dikenakan pada masyarakat tidak berubah masih sesuai dengan peraturan perpajakan kini. Contoh saja pajak penghasilan (PPh) yang masih menggunakan tarif sesuai Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP tahun 2021) dan  PMK 168 tahun 2023. PPh 21 pegawai tetap masih didasarkan pada penghasilan bruto dikalikan dengan TER bulanan untuk masa pajak selain masa pajak terakhir. Sedangkan untuk masa pajak terakhir menggunakan perhitungan PPh pasal 17 sehingga PPh Masa pajak terakhir adalah selisih pph terutang keseluruhan dikurangi PPh selain masa pajak terakhir. Untuk PPN, masih dengan tarif 12% yang tidak diterapkan secara umum, hanya untuk barang mewah mulai 1 Januari 2025, sisanya menggunakan perhitungan DPP nilai lain.

Selain itu, sebagai strategi yang mendorong APBN menjadi semakin sehat, Purbaya akan berfokus pada peningkatan iklim investasi di masyarakat, reformasi perpajakan berkelanjutan dan optimalisasi Coretax Administration System. Penerapan Coretax system kini adalah warisan dari kepemimpinan Ibu Sri Mulyani yang menjadi arah digitalisasi perluasan basis pajak karena mengintegrasikan sistem perpajakan di website tersebut. 

Optimalisasi peran Coretax menjadi instrumen kuat berbasis big data dan analitik untuk mendorong kepatuhan pajak dengan kemudahan sistem berbasis digital dan integratif. Walaupun pada prosesnya, banyak complain dari masyarakat terkait Coretax System karena website yang sering down dan sulit diakses. Hal ini tentu menyulitkan dalam pembuatan faktur pajak, penyetoran pajak pph, ppn sampai pembuatan laporan SPT. Masalah ini menjadi tantangan bagi Purbaya yang perlu cepat mengatasi hal-hal tersebut agar tidak berdampak serius pada penerimaan pajak secara nasional.

 

Era Fiskal Baru yang Humanis dan Adaptif

Purbaya Effect menjadi simbol perubahan arah kebijakan fiskal di Indonesia menjadi lebih humanis, adaptif dan berbasis keadilan ekonomi. Percepatan pertumbuhan ekonomi nasional lewat redistribusi fiskal dan mendorong iklim investasi memang menjadi tantangan yang tidak mudah karena akan dipengaruhi faktor eksternal seperti ketidakpastian global. Namun, sinergi antara kebijakan dan disiplin fiskal menjadi dorongan positif dalam babak baru khususnya lima tahun kedepan. Fiskal tidak sekedar mengatur penerimaan negara lewat pajak saja, tetapi juga menumbuhkan kepercayaan dan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

Penulis:
Retta Farah Pramesti, S.E., M.Ak.
Dosen Akuntansi Perpajakan Universitas Padjadjaran

 

Disclaimer: Artikel ini merupakan hasil karya dan pendapat pribadi penulis. Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.