Pandemi Covid-19 telah mengakibatkan kondisi perekonomian global baik dari sisi penawaran maupun permintaannya di bawah bayang-bayang double economic shock. Seberapa dalam dampak pandemi ini bagi aktivitas sosial-ekonomi akan menentukan masa depan sektor perpajakan di Indonesia. Berkaca dari berbagai krisis keuangan yang sebelumnya sudah pernah terjadi mulai dari depresi besar pada tahun 1930 hingga krisis keuangan global pada tahun 2008, kebijakan fiskal yang cenderung ekspansif kerap kali menjadi pilihan yang diambil oleh tiap negara demi meningkatkan perekonomian dari keterpurukan.
Hal yang paling utama dilakukan adalah belanja yang besar dan relaksasi pemungutan pajak. Disini peran pajak menjadi penting sebagai kontribusi terbesar penerimaan negara. Penerimaan pajak terus ditingkatkan demi membiayai berbagai subsidi serta bantuan untuk masyarakat di kala pandemi Covid-19.
Lantas bagaimana prediksi pajak kedepannya pasca pandemi ini? Untuk menanggapi pertanyaan ini perlu ditegaskan bahwa langkah-langkah apapun yang diambil pemerintah sejatinya akan berpengaruh bagi postur fiskal jangka menengah maupun jangka panjang. Relaksasi saat ini bisa saja berimbas bagi pemungutan pajak di masa depan. Di samping itu, kondisi pajak kedepannya pasca pandemi Covid-19 dapat diprediksi dengan berkaca dari kondisi pajak pasca terjadinya krisis ekonomi global pada tahun 2008.
Pertama, dari defisit menuju konsolidasi fiskal. Dalam rangka mengatasi krisis ekonomi, biasanya pemerintah mengeluarkan kebijakan fiskal yang ekspansif yang berdampak pada defisit anggaran. Dengan berjalannya waktu, pemerintah akan mengeluarkan kebijakan konsolidasi fiskal. Hal ini ditunjukkan dengan pengelolaan belanja yang bijaksana serta optimalisasi penerimaan pajak.
Kedua, kebijakan pajak yang dikeluarkan pemerintah akan berfokus pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Di berbagai negara kebijakan perpajakan pasca krisis keuangan global pada tahun 2008 sebagian besar berkaitan dengan PPN baik dari segi peningkatan tarif, perluasan pemungutan, maupun pembenahan sistem Teknologi Informasi (TI) dalam menjamin kepatuhan. Hal yang sama kemungkinan besar akan terjadi pasca pandemi Covid-19, karena jika dibandingkan jenis pajak lainnya, PPN relatif stabil di berbagai negara. Sehingga, pembaharuan kebijakan PPN akan menjadi agenda penting kedepannya.
Ketiga, upaya pemerintah dalam mengidentifikasi penyebab dari krisis. Pada umumnya, pemerintah akan menelusuri penyebab dan mengantisipasi hal-hal yang sekiranya dapat mengakibatkan risiko yang sama di masa mendatang. Bukan tidak mungkin, isu mengenai instrumen fiskal, pajak lingkungan akan menjadi agenda di masa mendatang dalam rangka redesain kebijakan untuk sektor kesehatan dan pengendalian eksternalitas.
Keempat, volatilitas regulasi dan reformasi pajak. Guncangan untuk mengatasi defisit dan utang dalam upaya menjaga stabilitas ekonomi otomatis mendorong berbagai perubahan regulasi pajak. Urgensi reformasi perpajakan yang bersifat parsial maupun komprehensif akan meningkat drastis. Bercermin dari krisis keuangan global pada tahun 2008, pandemi Covid-19 juga sepertinya akan mengakibatkan suara kelompok masyarakat akan semakin diperhitungkan. Hal ini berakibat pada tuntutan para pemangku kepentingan untuk berpartisipasi dalam agenda reformasi pajak yang akan semakin banyak. Meskipun lebih menjamin akseptabilitas, reformasi pajak yang berupaya mengakomodasi berbagai kepentingan bisa menghasilkan sistem pajak yang lebih kompleks.
Kelima, kompetisi pajak. Peristiwa-peristiwa krisis keuangan global pada tahun 2008 maupun pandemi Covid-19 pada intinya kedua peristiwa tersebut berdampak buruk bagi perekonomian. Peran aktif sektor swasta dan aliran modal ke dalam negeri menjustifikasi kebutuhan mendorong daya saing di tingkat global, termasuk melalui instrumen pajak. Penurunan tarif pajak, perubahan sistem perpajakan, ataupun dikeluarkannya insentif-insentif pajak akan terus meningkat. Pada situasi pasca pandemi, kompetisi pajak akan turut melibatkan jargon kedaulatan fiskal. Sehingga, kedepannya, kebijakan pajak untuk melindungi kepentingan nasional dan bersifat uniteral akan tak terbendung.
Keenam, tren global tax governance. Krisis keuangan global pada tahun 2008 telah mendorong terbentuknya tata kelola pajak yang semakin baik di tingkat global. Di masa yang akan datang, pandangan secara global akan menuju fase baru yang berfokus kepada distribusi pajak yang lebih adil. Filosofi tersebut mulai tampak dari pilar 1 dan pilar 2 proposal pajak digital. Selain itu, seiring berjalannya waktu dominasi peran OECD akan berkurang dan bergeser kepada G20 dan emerging economies lainnya
Ketujuh, terobosan untuk meningkatkan penerimaan pajak. Berkaca dari krisis keuangan global pada tahun 2008, setelah pandemi Covid-19 ini akan banyak muncul diskusi mengenai terobosan dalam meningkatkan penerimaan pajak. Diskusi ini turut mempertanyakan siapa pihak yang selama ini belum patuh atau pun belum cukup berkontribusi dalam pembayaran pajak. Dahulu jawabannya ialah perusahaan multinasional. Ke depannya, jawabannya bisa jadi high net worth individual (HNWI). Dari krisis sebelumnya menunjukkan dampak bagi ketimpangan baik aset maupun penghasilan mulai melebar. Penyesuaian threshold bagi kalangan berpenghasilan rendah, pajak yang berbasis atas kekayaan, maupun tarif progresif PPh orang pribadi akan semakin dipertimbangkan.
Kedelapan, strategi otoritas pajak untuk meningkatkan kepatuhan. Pandemi Covid-19 memberikan tamparan bagi seluruh otoritas pajak mengenai kesiapan administrasi pajak berbasis digital. Kedepannya, penggunaan teknologi informasi akan lebih dikembangkan bukan hanya atas pelayanan dan pelaporan, tetapi juga melebar ke arah e-audit, e-access, dan penggunaan artificial intelligence. Prinsip administrasi pajak berbasis real-time, transparansi, dan efisiensi akan diikuti sepenuhnya oleh teknologi berbasis digital.
Kesembilan, adanya sengketa mengenai pajak. Tingginya kebutuhan penerimaan dan banyaknya perubahan regulasi diprediksi akan meningkatkan jumlah sengketa. Hal ini mengulang peristiwa yang terjadi pasca krisis keuangan global tahun 2008. Bagi wajib pajak, kondisi ini mewujudkan kebutuhan untuk pengelolaan risiko pajak dan tax assurance yang lebih baik. Permintaan mengenai mekanisme pencegahan maupun penyelesaian sengketa yang efisien dan efektif juga menjadi solusi bagi lanskap pajak di masa depan.
Peluang terjadinya prediksi-prediksi di atas tentu akan berbeda-beda tiap negara. Hal ini tergantung dari seberapa lama dan seberapa dalam dampak Covid-19 terhadap ekonomi. Dengan demikian, biarkan waktu menjawab prediksi ini.









