Program pengungkapan sukarela (Voluntary Disclosure Program) merupakan kesempatan langka yang ditunggu-tunggu oleh para wajib pajak (WP). Program pengungkapan sukarela atau digadang-gadang sebagai Tax Amnesty Jilid II merupakan suatu kebijakan pemerintah yang memberikan pilihan kepada wajib pajak untuk dapat mengungkapkan atau melaporkan harta dan kewajiban perpajakannya yang belum dipenuhi atau diungkapkan secara sukarela. Sesuai dengan namanya, program ini bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak. Program Pengungkapan Sukarela atau sering disebut dengan PPS dimuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dimana terdapat dua kebijakan yang berlaku dalam PPS ini.
Kebijakan pertama dengan peserta wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan peserta Tax Amnesty dengan basis pengungkapan harta per 31 Desember 2015 yang belum diungkapkan pada saat mengikuti Tax Amnesty dimana dikenakan tarif 11% untuk harta deklarasi luar negeri, 8% untuk harta luar negeri repatriasi dan harta dalam negeri, serta 6% untuk harta luar negeri repatriasi dan aset dalam negeri.
Sedangkan, kebijakan kedua dengan peserta wajib pajak orang pribadi dengan basis pengungkapan harta perolehan 2016-2020 yang belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) 2020 dimana dikenakan tarif 18% untuk harta deklarasi luar negeri, 14% untuk harta luar negeri repatriasi dan harta dalam negeri, serta 12% untuk harta luar negeri repatriasi dan aset dalam negeri.
Penerapan PPS di Indonesia menimbulkan berbagai perdebatan mengenai keadilan program ini. Secara umum, sistem pemungutan pajak dapat dikatakan adil apabila memenuhi dua prinsip yakni Ability to Pay Principle dan Benefit Principle. Dalam Ability to Pay Principle menyatakan pemungutan pajak dikatakan adil apabila pajak dibebankan kepada wajib pajak sesuai dengan kemampuan masing-masing wajib pajak dalam membayar pajak.
Sedangkan, dalam Benefit Principle, pemungutan pajak dikatakan adil apabila setiap wajib pajak yang membayar pajak mendapatkan hal yang sejalan dengan manfaat yang dirasakannya dari kegiatan pemerintah. Berbicara keadilan tentu tidak terlepas dari adanya perdebatan pro dan kontra. Keadilan PPS ini dapat dilihat dari berbagai sudut pandang yang berbeda sesuai dengan pemangku kepentingan yakni pemerintah dan masyarakat sebagai wajib pajak yang tergolong patuh.
Berdasarkan sudut pandang pemerintah, PPS merupakan program yang tepat untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak secara sukarela yang nantinya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Investasi atas harta yang diungkapkan dalam PPS dinilai mampu meningkatkan penerimaan pajak dalam menyongsong pemulihan ekonomi akibat adanya pandemi Covid-19. PPS menjadi ajang untuk mengejar wajib pajak yang selama ini tidak patuh dengan memberikan kesempatan untuk menuaikan kewajiban perpajakannya.
Selain itu, berkaitan dengan Benefit Principle, hasil penerimaan pajak untuk PPS digunakan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang nantinya dapat dirasakan oleh masyarakat luas. Melalui PPS, pemerintah juga menegakkan Ability to Pay Principle yang difokuskan pada wajib pajak orang pribadi yang memiliki harta di dalam maupun luar negeri serta belum diungkapkan pada SPT Tahunan. Dengan demikian jika dilihat dari sudut pandang pemerintah, PPS dapat dipandang adil dalam penerapannya.
Lain halnya apabila dipandang dari sudut pandang masyarakat sebagai wajib pajak yang tergolong patuh. Kebijakan PPS ini justru dirasa tidak adil bagi mereka yang memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap pemerintah dengan menuaikan kewajiban perpajakannya sehingga menjadi seorang wajib pajak yang patuh.
Adanya PPS yang merupakan kesempatan kedua setelah Tax Amnesty Jilid I pada tahun 2016 menunjukkan adanya keberpihakan kepada wajib pajak yang tidak patuh. Selain itu, pemerintah menunjukkan inkonsistensinya dalam menerapkan kebijakan karena pada tahun 2016 dikatakan bahwa pemerintah berkomitmen untuk menerapkan kebijakan Tax Amnesty sekali seumur hidup. Inkonsistensi pemerintah ini dapat berdampak pada menurunnya tingkat kepatuhan wajib pajak dalam jangka panjang. Hal tersebut dapat disebabkan karena kekecewaan karena merasa dikhianati serta rasa tidak percaya wajib pajak yang selama ini telah patuh melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Terlepas dari perdebatan yang timbul akibat adanya PPS, semua pihak wajib menyadari bahwa sesungguhnya adil atau tidak adilnya suatu kebijakan yakni PPS dapat diambil suatu benang merah yakni tetap memegang teguh prinsip kepercayaan. Pemerintah maupun masyarakat harus tetep konsisten dalam hal kepercayaan. Pemerintah harus menggencarkan sosialisasi terkait dengan urgensi dari kebijakan PPS agar dapat mengembalikan perspektif positif dari masyarakat yang merasa tidak adil akan kebijakan ini.
Di sisi lain, masyarakat dapat memberikan kepercayaan kepada pemerintah terkait dengan tujuan dari kebijakan pemerintah adalah untuk meningkatkan perekonomian negara. Dengan demikian, akan terbentuk keseimbangan dalam kebijakan PPS yang dapat memberikan peluang keberhasilan lebih tinggi, sehingga pemulihan ekonomi dapat tercapai dan menimbulkan dampak positif bagi seluruh masyarakat Indonesia.









