Pengenaan Pajak Untuk Obligasi Syariah

Penanaman investasi baik melalui reksadana, pasar modal, hingga sukuk ataupun investasi berbasis syariah, tengah mengalami kenaikan tren. Isu terkait ‘melek’ finansial memang tengah dibedar di generasi saat ini. Setelah sebelumnya kita pernah membahas terkait pengenaan pajak atas reksadana, saat ini kita akan membahas mengenai pajak untuk investasi berbasis syariah. 

Mengenal Investasi Berbasis Syariah

Salah satu jenis investasi berbasis syariah yang paling awam terdengar adalah sukuk atau obligasi syariah. Seperti obligasi pada umumnya, sukuk adalah surat berharga yang menjadi bentuk kepemilikan aset atas investor dengan cara menerbitkan surat utang berbasiskan Syariah.  

Dewan Syariah Nasional no.32/DSN MUI/IX/2002, mendefinisikan obligasi syariah atau sukuk sebagai surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah dan mewajibkan emiten untuk membayar pendapat kepada pemegang dalam bentuk bagi hasil, margin, atau fee dan juga membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo. Obligasi Syariah ini bisa diterbitkan oleh pihak swasta, BUMN, maupun negara.

Beberapa keunggulan sukuk yang menjadikannya banyak diminati adalah fixed return yang ditawarkannya, bisa diperjualbelikan sebelum jatuh tempo, resiko minim membuatnya aman untuk investasi. Sukuk sendiri terdiri dari lima jenis:

  •       Sukuk Musyarakah
  •       Sukuk Mudharabah
  •       Sukuk Ijarah
  •       Sukuk Istishna

Perpajakan atas Sukuk

Perpajakan terkait sukuk diatur dalam peraturan Pemerintah 55 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Obligasi terlebih dahulu.

Beleid tersebut menyatakan bahwa PPh atas obligasi terbagi menjadi 4 kategori asal penghasilannya:

1. Bunga dari obligasi

  1. 15% untuk wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT)
  2. 20% atau tarif yang disepakati untuk menghindari pajak ganda bagi WP luar negeri selain BUT, dari jumlah bruto bunga sesuai masa obligasi

2. Diskonto dari obligasi

  1. Kupon 15% untuk wajib pajak dalam negeri dan BUT
  2. 20% atau tarif yang disepakati bagi menghindari pajak ganda untuk WP luar negeri selain BUT, dari selisih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi. Dengan catatan bunga berjalan tidak termasuk

3. Diskonto dari obligasi tanpa bunga

  1. 15% untuk wajib pajak dalam negeri dan BUT
  2. 20% atau tarif yang disepakati untuk menghindari pajak ganda bagi WP luar negeri selain BUT, dari selisih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi.

4. Bunga dan atau diskonto dari obligasi yang didapatkan dan atau diperoleh wajib pajak reksa dana dan wajib pajak dana investasi infrastruktur bentuk kontrak investasi kolektif, dana investasi real estat berbentuk kontrak investasi kolektif dan efek beragun aset berbentuk kontrak investasi kolektif yang terdaftar OJK

  1. 5% sampai 2020
  2. 10% 2021 dan seterusnya

Kita bisa melihat bahwa dalam PP tersebut memang tidak dijelaskan apakah obligasi yang dimaksud merupakan obligasi konvensional atau syariah. Namun, PP Nomor 25 Tahun 2009 menyatakan bahwa kegiatan berbasiskan syariah adalah mutatis mutandis yang artinya sukuk tercakup dalam PP 5 Tahun 2019.

Sukuk juga mendapatkan pemangkasan diskon karena menerapkan prinsip syariah. Sukuk yang mendapatkan keringanan pajak yaitu sukuk yang diperuntukan untuk kontrak investasi kolektif. dengan insentif yang setara dengan surat utang negara konvensional.