Penanggung Pajak Bisa Dicegah ke Luar Negeri jika Penuhi Kriteria Ini

Sekitar sepekan lalu, media sosial dihebohkan dengan berita pencekalan seorang bos perusahaan besar ke luar negeri. Kejaksaan Agung (Kejagung) melakukan hal ini dalam rangka mendalami dugaan kasus korupsi. 

Apa yang dilakukan oleh Kejagung itu tertuang dalam UU No. 19 Tahun 2000. Beleid tersebut mengatur larangan sementara bagi penanggung pajak tertentu untuk keluar dari Indonesia sebagai bagian dari rangkaian tindakan penagihan terhadap Wajib Pajak yang memiliki tunggakan. 

Baca Juga: Jurus DJP Tagih Utang Pajak, Kirim Surat Peringatan hingga Gijzeling

Bagian dari Rangkaian Penagihan Pajak Sesuai PMK 61/2023 

Pencegahan merupakan salah satu dari banyak tindakan penagihan dalam sistem perpajakan. Dalam tata cara terbaru yang diatur melalui PMK No. 61 Tahun 2023, penagihan pajak mencakup: 

  • Penyampaian Surat Teguran atau Surat Peringatan 
  • Penagihan Seketika dan Sekaligus 
  • Pemberitahuan Surat Paksa 
  • Penyitaan 
  • Usulan pencegahan (cegah) 
  • Penyanderaan (gijzeling) 
  • Penjualan barang sitaan 

Serangkaian tindakan tersebut merupakan bagian dari upaya intensifikasi penerimaan, terutama untuk wajib pajak yang masih memiliki utang pajak dan tidak melunasinya tepat waktu. 

PMK 61/2023 disusun untuk memberikan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan dalam proses penagihan, menggantikan aturan sebelumnya, PMK 189/PMK.03/2020, sekaligus mencabut tiga regulasi lama yang sudah tidak relevan. Penyempurnaan ini juga menjadi tindak lanjut perubahan ketentuan dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP)

Kriteria Penanggung Pajak yang Bisa Dicegah 

Aturan lebih teknis mengenai pencegahan tercantum dalam PMK No. 61 Tahun 2023. Dalam Pasal 55 ayat (1), disebutkan bahwa penanggung pajak bisa dikenai pencegahan apabila memenuhi dua kriteria akumulatif berikut: 

  • Memiliki utang pajak minimal Rp100 juta. Nilai tunggakan ini menjadi batas minimum yang memungkinkan otoritas pajak mengusulkan pencegahan. 
  • Diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak. Penilaian ini didasarkan pada dua indikator, yaitu: 
    • Tidak melunasi utang pajak meski telah menerima surat paksa, baik secara penuh maupun melalui skema angsuran. 
    • Menyembunyikan, memindahtangankan, atau berupaya mengalihkan aset setelah utang pajak timbul, termasuk rencana pembubaran badan. 

Jika kedua unsur tersebut terpenuhi, otoritas pajak dapat melanjutkan proses permintaan pencegahan. 

Baca Juga: DJP Kembali Gelar Lelang Barang Sitaan Pajak, Bagaimana Ketentuannya?

Proses Penetapan Pencegahan oleh Pemerintah 

Permintaan pencegahan diajukan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kepada Kementerian Keuangan. Setelah menelaah permohonan, Menteri Keuangan dapat menetapkan keputusan pencegahan dengan mencantumkan: 

  • Identitas lengkap penanggung pajak 
  • Alasan penerapan pencegahan 
  • Jangka waktu pencegahan, dengan durasi maksimal 6 bulan 

Keputusan tersebut kemudian disampaikan kepada kementerian yang menangani urusan hukum dan hak asasi manusia untuk dilaksanakan. Penyampaian dilakukan paling lambat 3 hari sejak tanggal penetapan. 

Selain ke instansi terkait, keputusan pencegahan juga dikirimkan ke alamat domisili penanggung pajak, keluarga penanggung pajak, atau perwakilan negara penanggung pajak di Indonesia, terutama jika menyangkut Wajib Pajak luar negeri. 

Baca Juga Berita dan Artikel Pajakku Lainnya di Google News