Dalam kerangka regulasi pajak di Indonesia, terminologi pajak penjual dan pajak pembeli mungkin tidak secara resmi diakui, pernyataan ini dilansir dari situs Hukum Online pada (5/10). Meski tidak diakui, kedua terminologi ini telah menjadi bagian integral dari praktik bisnis di lapangan. Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2016, pajak penjualan tanah dapat didefinisikan sebagai pendapatan yang diterima dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, atau dari perjanjian jual beli tanah dan/atau bangunan yang memicu kewajiban pajak penghasilan (PPh) final.
Penting untuk memahami bahwa segala tambahan kemampuan ekonomis yang diterima merupakan objek pajak dan dapat dikenakan PPh. Namun, perlu diperhatikan apakah pendapatan tersebut akan dikenakan PPh final atau tidak, karena ini akan memengaruhi proses perhitungan dan pelaporan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) wajib pajak.
Pengenaan Tarif Pajak Jual Beli Tanah
Tarif pajak jual beli tanah bervariasi tergantung pada motif penjualan dan karakteristik properti yang terlibat. Sebagai contoh, pengalihan hak atas tanah dan bangunan kepada pemerintah, dalam hal ini BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang ditugaskan secara khusus, atau BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah akan dikenakan tarif 0%. Namun apabila pengalihan hak atas tanah dan bangunan dilakukan secara umum, bukan kepada pemerintah, maka tarif normal berlaku, yakni 1% dikenakan pada pengalihan hak atas rumah sederhana, dan tarif 2,5% dikenakan pada pengalihan hak atas properti lainnya.
Baca juga: Punya Tanah di Sekitar IKN? Ini Cara Menjualnya Langsung ke Investor
Contoh Perhitungan Pajak Jual Beli Tanah
Contoh kasus lebih lanjut yang dapat memperjelas pengenaan tarif pajak jual beli tanah, asumsikan bahwa A menjual sebuah rumah di Setiabudi, Jakarta Selatan seharga Rp10 miliar, maka PPh atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan dihitung sebagai berikut:
PPh = Tarif PPh Pengalihan atas Tanah dan/atau Bangunan × Jumlah Bruto/Harga Bruto
PPh = 2,5% × Rp10 miliar
PPh = Rp250 juta
Selanjutnya, pembeli tanah dan/atau bangunan akan dikenai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), yaitu pajak atas perolehan hak atas properti tersebut. BPHTB dikenakan pada perolehan hak atas tanah dan bangunan melalui berbagai transaksi, seperti jual beli, hibah, waris, dan sebagainya. Tarif BPHTB biasanya ditetapkan oleh pemerintah daerah, dengan batas maksimum tarif sebesar 5%.
Contoh perhitungan BPHTB
BPHTB = (Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) – Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)) × Tarif BPHTB
Sebagai contoh perhitungan, jika di Jakarta perolehan tanah dan bangunan senilai Rp1 miliar dengan NPOPTKP sebesar Rp60 juta, dan tarif BPHTB adalah 5%, maka BPHTB yang dikenakan adalah sebesar:
BPHTB = (Rp1 miliar – Rp60 juta) × 5%
BPHTB = Rp47 juta
Dalam keseluruhan transaksi jual beli tanah dan bangunan, kewajiban pajak dikenakan kepada kedua belah pihak, yaitu penjual dan pembeli. Penjual akan dikenakan PPh atas pengalihan hak atas properti, sedangkan pembeli akan dikenakan BPHTB. Oleh karena itu, dalam konteks pajak jual beli tanah, kewajiban pajak dibagi antara penjual dan pembeli.
Hal penting yang perlu diperhatikan adalah bahwa tarif pajak dan perhitungan yang disebutkan di atas dapat berubah sesuai dengan kebijakan pemerintah setempat. Sebelum melakukan transaksi jual beli tanah, baik penjual maupun pembeli disarankan untuk memahami secara detail ketentuan pajak yang berlaku dalam wilayah tersebut untuk menghindari masalah di masa mendatang. Dengan pemahaman yang baik tentang pajak penjual dan pembeli, transaksi jual beli tanah dapat dilakukan dengan lebih lancar dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.









