Pajak Profesi: Pajak atas Perusahaan Penerbangan

Indonesia dengan berbagai kearifan lokal dan kekayaan alam yang dimiliki telah memikat hati para wisatawan mancanegara sejak awal tahun 1960-an. Pada saat itu, hanya satu destinasi wisata yang cukup populer di telinga para wisatawan asing, yaitu Pula Bali. Melihat besarnya prospek dari sektor pariwisata ini, Presiden Soeharto akhirnya menetapkan Inpres No. 9 Tahun 1969. Sejak saat itu jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan dan terus bertumbuh setiap tahunnya.

Destinasi wisata Indonesia yang dikenal pun semakin banyak, mulai dari Bunaken, Wakatobi, Lombok, Raja Ampat, Bromo, dan masih banyak lagi. Kini, dengan berbagai program yang dicanangkan pemerintah, seperti program Pesona Indonesia, kuantitas dan kualitas parawisata Indonesia pun semakin membaik setiap tahunnya. Hal ini dibuktikan dengan jumlah wisatawan asing yang mencapai angka 16.136.344 wisatawan pada tahun 2019 (data Kemenparekraf).

Di lain pihak, membaiknya kondisi ekonomi penduduk Indonesia, khususnya penduduk ekonomi menengah, dan maraknya model bisnis wisata dengan budget minim (seperti low-cost airline dan homestay) berhasil meningkatkan jumlah wisatawan Indonesia yang berkunjung ke luar negeri. Berdasarkan data dari Kemenparekraf, terdapat lebih dari 20 juta wisatawan Indonesia yang berwisata ke luar negeri pada tahun 2019.

Meningkatnya jumlah wisatawan yang keluar-masuk Indonesia pun pasti menimbulkan dampak yang cukup besar dalam perekonomian Indonesia. Mulai dari peningkatan devisa dan pendapatan dari cuka, hingga tumbuhnya UMKM dengan berbagai macam model bisnis (cinderamata, makanan, dan agen perjalanan). Namun, tahukah kalian sektor lain yang sangat menjanjikan dan juga berkontribusi cukup signifikan terhadap pendapatan pajak negara akibat tingginya jumlah wisatawan di Indonesia? Sektor usaha tersebut adalah usaha transportasi, khususnya transportasi udara.

Menurut PPh Pasal 15, terdapat pajak yang dikenakan pada perusahaan penerbangan baik pada penerbangan dalam negeri maupun penerbangan luar negeri. Berikut penjelasan yang perlu diperhatikan.

1. Penerbangan Dalam Negeri

Bagi pemilik usaha penerbangan yang berkedudukan di dalam negeri

  • Pihak penyewa akan melakukan pemotongan PPh Pasal 15 sebesar : 1,8% dari peredaran bruto
  • Meminta dan menyimpan bukti pemotongan PPh Pasal 15
  • Melaporkan seluruh penghasilan yang diterima dalam suatu tahun buku ke dalam SPT Tahunan PPh, dan mengkreditkan PPh Pasal 15 yang telah dipotong dalam SPT Tahunan PPh
  • Dalam hal pihak Penyewa tidak melakukan pemotongan atas PPh Pasal 15 atau bukan Pemotong Pajak, maka Anda harus melakukan penyetoran sendiri PPh Pasal 15 yang terutang dengan formula perhitungan seperti yang telah dijelaskan di atas, paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya, dan melaporkan SPT PPh Pasal 15 paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya

Bagi penyewa charter milik wajib pajak pribadi dan bertindak sebagai pemotong pajak

  • melakukan pemotongan PPh Pasal 15 sebesar 1,8% dari peredaran bruto yang dibayarkan ke perusahaan penerbangan dalam negeri
  • memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 15 kepada perusahaan jasa penerbangan dalam negeri untuk dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh nya
  • peredaran bruto dihitung dari perjanjian charter angkutan dari pelabuhan Indonesia ke pelabuhan lain di Indonesia dan dari pelabuhan Indonesia ke pelabuhan luar Indonesia. Dengan demikian, atas angkutan dari luar pelabuhan Indonesia ke pelabuhan di Indonesia tidak terutang PPh Pasal 15
  • menyetorkan PPh Pasal 15 yang telah dipotong ke kas negara paling lambat tanggal 10 bulan beikutnya, setelah sebelumnya membuat kode billing terlebih dahulu dengan Kode MAP 411129 dan kode jenis setoran 101

 

2.  Penerbangan Luar Negeri

Subjek pajak dari pengenaan PPh 15 atas penerbangan luar negeri adalah WP yang berkedudukan di luar negeri yang melakukan usaha melalui BUT di Indonesia.

Bagi perwakilan WP BUT di Indonesia yang memiliki pesawat untuk penerbangan

  • Pihak penyewa akan melakukan pemotongan PPh Pasal 15 sebesar : 2,64% dari peredaran bruto
  • Meminta bukti pemotongan PPh Pasal 15
  • Melaporkan seluruh penghasilan yang diterima dalam suatu tahun buku ke dalam SPT Tahunan PPh, dan melampirkan daftar pemotongan PPh Pasal 15 yang telah dipotong final
  • Dalam hal pihak Penyewa tidak melakukan pemotongan atas PPh Pasal 15 atau bukan Pemotong Pajak, maka Anda harus melakukan penyetoran sendiri PPh Pasal 15 yang terutang dengan formula perhitungan seperti yang telah dijelaskan di atas, paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya, dan melaporkan SPT PPh Pasal 15 paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya
  • Anda tidak perlu melakukan pembayaran PPh Pasal 25 setiap bulannya

 

Bagi pemilik pesawat atau perwakilannya, namun tidak memiliki BUT di Indonesia, maka pajak yang berlaku adalah PPh pasal 26.

 

Bagi penyewa penerbangan luar negeri

  • Melakukan pemotongan PPh Pasal 15 sebesar 2,64% dari peredaran bruto yang dibayarkan ke perusahaan pelayaran dalam negeri
  • Peredaran bruto dihitung dari perjanjian charter angkutan dari pelabuhan Indonesia ke pelabuhan lain di Indonesia dan dari pelabuhan Indonesia ke pelabuhan luar Indonesia. Dengan demikian, atas angkutan dari luar pelabuhan Indonesia ke pelabuhan di Indonesia tidak terutang PPh Pasal 15

Itulah penjelasan singkat mengenai pajak penerbangan. Masih banyak jenis pajak lain yang perlu kita ketahui untuk menumbuhkan kesadaran dan kepekaan kita terhadap pajak. Yuk, mulai sadar pajak dengan membaca artikel di Pajakku dan jangan lupa jadikan Pajakku sebagai mitra utama Anda dalam mengurus pajak!